Alih-alih Otak-atik Aturan, Sahabat Nabi Ini Malah Tak Ingin Anaknya Jadi Pejabat

Alih-alih Otak-atik Aturan, Sahabat Nabi Ini Malah Tak Ingin Anaknya Jadi Pejabat

Saat ini kita justru menyaksikan fenomena yang memprihatinkan. Masih ada pejabat yang berupaya mengakali aturan agar anak-anak mereka bisa menduduki jabatan strategis.

Alih-alih Otak-atik Aturan, Sahabat Nabi Ini Malah Tak Ingin Anaknya Jadi Pejabat
Umar bin Khattab merupakan salah satu sahabat nabi yang paling disegani. Poto ini bukanlah Umar, melainkan seorang aktor yang memerangkan sosok beliau

Ketika seseorang menduduki kursi kekuasaan, godaan untuk mempertahankan dan memperluas pengaruh sering kali menjadi terlalu kuat untuk ditolak. Tidak sedikit pejabat yang, setelah berhasil meraih jabatan tinggi, mulai otak-atik aturan demi memastikan bahwa anak-anak dan keturunan mereka mendapatkan “karpet merah” menuju kekuasaan. Dari mengubah regulasi, mengangkat posisi strategis untuk keluarga, hingga menciptakan dinasti politik, semua dilakukan untuk menjaga kekuasaan tetap berada dalam lingkaran mereka. Keadilan dan kepentingan publik sering kali dikesampingkan demi mempertahankan dominasi keluarga dan kelompoknya.

Namun, ada satu sosok sahabat Nabi yang berbeda dari semua itu: Umar bin Khattab. Ketika menduduki posisi tertinggi sebagai Amirul Mukminin, Umar tidak pernah sekali pun berusaha memanfaatkan kekuasaannya untuk keuntungan pribadi atau keluarganya. Justru sebaliknya, ia dengan tegas menolak setiap upaya untuk menjadikan anaknya, Abdullah bin Umar, sebagai penerusnya.

Ketika Umar terbaring lemah akibat luka tusukan yang dideritanya dari Abu Lu’luah, beberapa orang datang menjenguknya. Di saat-saat akhir hidupnya, salah satu penjenguk memberikan saran yang mengejutkan, “Wahai Amirul Mukminin, tunjuklah penggantimu! Bagaimana jika menunjuk putramu, Abdullah bin Umar?”

Namun, reaksi Umar justru penuh dengan kemarahan. Ia menegaskan dengan nada tinggi bahwa ia sama sekali tidak menginginkan hal tersebut. “Semoga Allah menghancurkanmu. Demi Allah, saya sama sekali tidak ingin hal itu. Celakalah kamu!” ujar Umar dengan tegas, seperti yang tercatat dalam sejarah oleh Imam at-Thabari.

Umar memiliki alasan yang sangat kuat untuk menolak saran tersebut. Bagi Umar, jabatan bukanlah sesuatu yang bisa diwariskan kepada anak-anaknya. Ia menyadari bahwa tanggung jawab besar ini harus diberikan kepada orang yang benar-benar layak, bukan karena faktor kekerabatan atau kepentingan pribadi.

“Aku tidak tertarik dengan hal itu. Selama aku memujinya, aku lebih suka ia (Abdullah bin Umar) bertanggung jawab pada keluarga Umar. Jika itu baik, maka kami yang akan menerimanya. Jika buruk, kami juga yang akan menanggungnya,” kata Umar.

Lebih dari itu, Umar tidak ingin mengotak-atik aturan demi kepentingan pribadi atau keluarganya. Sebaliknya, ia justru menetapkan aturan yang sangat ideal agar anak-anaknya tidak bisa menjabat dalam posisi yang strategis. Ia dengan tegas menghindari segala bentuk nepotisme, memastikan bahwa jabatan diserahkan kepada mereka yang paling layak dan bukan karena faktor hubungan darah.

Nasib Abdullah bin Umar Setelah Gagal Jadi Calon

Menariknya, keputusan Umar untuk menjauhkan anaknya dari jabatan publik justru membawa manfaat yang jauh lebih besar. Abdullah bin Umar, putra Umar, kini dikenang sebagai seorang intelektual muslim yang sangat dihormati. Namanya harum tercatat dalam sejarah, tidak hanya sebagai anak dari seorang khalifah besar, tetapi juga sebagai perawi hadis yang terpercaya. Abdullah bin Umar sering menjadi rujukan dalam berbagai hadis Nabi, dan keilmuan serta ketakwaannya sering dijadikan teladan oleh para intelektual muslim hingga saat ini. Manfaat keilmuan Abdullah bin Umar dinilai jauh lebih besar dan berjangka panjang dibandingkan jika ia hanya sekadar menjadi pejabat.

Di tengah keteladanan Umar dan Abdullah bin Umar ini, kita justru menyaksikan fenomena yang memprihatinkan di Indonesia. Masih ada pejabat yang berupaya mengakali aturan agar anak-anak mereka bisa menduduki jabatan strategis. Mungkin mereka lupa, bahwa jabatan adalah amanah, bukan warisan.

Betapa jauh lebih mulia dan bermanfaat jika mereka menanamkan nilai-nilai keilmuan dan integritas pada anak-anak mereka, daripada sekadar mempertahankan kekuasaan melalui jalan-jalan yang diragukan keadilannya. Sejarah telah membuktikan, nama besar tidak akan dikenang hanya karena jabatan, melainkan karena ilmu dan kontribusi nyata bagi umat.

Sikap Umar ini seyogyanya menjadi cerminan dari keadilan dan kebijaksanaan yang seharusnya dimiliki oleh seorang pemimpin. Di saat banyak penguasa yang cenderung mempertahankan kekuasaan dalam lingkup keluarga, Umar justru menunjukkan bahwa integritas dan kepentingan umat harus selalu diutamakan. Inilah yang membuat Umar bin Khattab dikenang sebagai salah satu pemimpin terbesar dalam sejarah Islam.

(AN)