Jokowi membuka Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) Nasional XXVII tahun 2018 di Medan (8/10) dengan ajakan doa di tengah banyaknya bencana dan menimpa negeri ini belakangan ini, khususnya gempa dan tsunami di Sulawesi Tengah. Dalam doa itu, ia mengajak untuk melafadzkan Alfatihah.
“Ala hadiniyah Alfatihah,” kata Presiden Jokowi dengan aksen Jawa yang khas, lalu langsung diikuti semua yang hadir di acara pembukaan MTQ XXVII bersama melantunkan surat Al Fatihah.
Tapi, banyak orang justru lebih fokus pada aksen jawa lidah jawa Jokowi yang melafadzkan Alfatihah dengan ‘Alfateka’. Bukan pada substansi persoalan bencana yang dibicarakan Jokowi atau doa yang ia panjatkan.
Persoalan logat ini sebenarnya hal yang biasa saja, tidak perlu dibesar-besarkan. Jika Anda orang yang tinggal di Jawa Timuran-Tengah, Yogya atau Solo maka dengan mudah akan menemukan banyak sekali orang yang berkata ‘Ngalkamdulillah’ alih-alih ‘Alhamdulillah’ atau seperti ‘Alfateka untuk Alfatihah, seperti yang dilafadzkan Jokowi.
Ain (ع) jadi (Ngain) ini secara gramatikal Arab memang salah, tapi secara kebiasaan tidak perlu dipersoalkan atau dibesar-besarkan. Bisa jadi Jokowi memang seperti lazimnya orang Jawa lainnya yang melafadzkan seperti itu. Yang jadi masalah adalah, jika hal ini dibesar-besarkan karena alasan politis atau semacamnya. Sungguh tidak elok dan justru, kita sebagai muslim, harusnya instropeksi. Mengapa?
Bayangkan saja, ada seorang pemimpin negara mengajak untuk berdoa bersama demi negeri ini justru kita memperolok-oloknya? Padahal ada hal yang lebih substansial dari ini, yakni fokus pada apa yang tengah terjadi di sekitar kita dan bencana yang menimpa saudara kita di Sulawesi Tenggara.
“Gempa bumi dan tsunami di Sulawesi Tengah telah menelan korban lebih dari 1.600 jiwa. Rentetan gempa bumi di Nusa Tenggara Barat sebelumnya juga menelan korban lebih dari 500 jiwa,” tutur Presiden Jokowi.
Ya, kepekaan ini yang harusnya kita miliki. Empati terhadap persoalan yang harus menjadi titik kita bersama sebagai muslim. Bukan malah fokus terhadap yang lain, apalagi hanya karena ketidaksukaan, justru membuat kita tidak bisa adil.
“Sesungguhnya kami adalah milik Allah, dan sungguh hanya kepadaNya kami akan kembali. Ya Allah karuniakanlah kepadaku pahala kepada musibah yang menimpaku dan berilah aku ganti yang lebih baik dari padanya,” doa Jokowi dan ia mengutip doa Rasulullah.
Sudah tentu, kita wajib mengaminkan dengan sepenuh hati. Bukan malah mengolok-olok atau justru menjadikannya ‘gorengan’ untuk tujuan elektoral semata. Kita tentu tidak akan lupa bagaimana politik identitas memecah belah kita sejak Pilpres 2014 lalu dan dipanaskan di peristiwa Ahok dan isu penistaan agama. Sudah banyak yang riset tentang ini, Anda tinggal dengan gampang googling.
Jadi, politik seperlunya saja, kemanusiaan haruslah jadi fokus utama kita di tengah bencana yang menimpa bangsa kita hari-hari ini. Gus Dur mengingatkan kita perkara penting ini bahwa ada yang lebih penting dari politik, yakni kemanusiaan.
Apakah kita tidak tersindir? Semoga saja iya.