Alasan Takut dengan Kristen dan Yahudi Seperti yang Dulu Saya Alami

Alasan Takut dengan Kristen dan Yahudi Seperti yang Dulu Saya Alami

Saya mungkin sama dengan kalian semua, pernah takut dengan Kristen dan Yahudi

Alasan Takut dengan Kristen dan Yahudi Seperti yang Dulu Saya Alami

Saya pernah tumbuh remaja dengan alam berpikir seperti Anda yang saat ini mungkin merasa terancam dengan Kristen dan Yahudi. Tak boleh masuk gereja dan tak boleh mengucapkan Natal. Saya masih ingat, beberapa emak-emak di Kampung saya bingung, jika ada orang Kristen bisa baik.

Perasaan semacam ini lahir dan berkembang dengan cara yang tampak alamiah. Lewat pengajian atau pendidikan. Perasaan yang jika ia habis, dituangkan lagi hingga setengah terisi bahkan suatu waktu meluber ke mana-mana.

Jadi, jika saya melihat betapa senewennya percakapan tentang boleh tidaknya mengucapkan Natal, saya dilempar paksa ke masa-masa itu. Dilempar paksa saban tahun sepeti lagu Rhoma Irama yang rutin diputar ulang.

Mungkin Gus Dur dan Djohan Effendi tak akan merasa apa yang dilakukannya mengubah banyak anak-anak muda ketika itu. Ia mengerek semangat anak muda Islam dan Kristen berjumpa, mengenal identitas masing-masing, bahkan doktrin kontroversial yang dulu mereka benci.

Dengan pengaruhnya, mereka membuat dialog dan kegiatan lintas-iman menjadi perhelatan yang mewah, menyenangkan, bahkan menegangkan. Sedang bagi lainnya bikin emosi menjadi-jadi. Anak-anak muda ini makin percaya diri. Sebab jika ada yang membungkamnya, mereka sudah tahu ke mana mengadu.

Saya percaya toleransi harus dialami, dan intoleransi bisa jadi jalan panjang menuju toleransi, menuju empati, menuju solidaritas. Tetapi kita juga harus sadar toleransi bukan seperti udara yang kita terima tanpa usaha apa-apa. Perlu ada rekayasa sosial menciptakannya. Sebab di saat bersamaan ada rekayasa sosial pula yang membangun intoleransi lewat pendidikan dan media sosial yang selebor bukan main.

“Rekayasa” itu berupa keberanian kita mengucapkan selamat Natal dan hari-hari besar agama lainnya. Bukan sebagai pemanis, tapi pesan bahwa kita berteman, mereka punya teman, kita mencintai mereka sebagai manusia. Sebab pada saat bersamaan ada gerakan yang menolak mengucapkan sebagai pesan bahwa itulah satu-satunya sikap yang benar.

Suatu waktu saya pernah meminta pelajar-pelajar Kristen bertanya apa yang akan mereka tanyakan pada teman muslimnya. Satu di antara puluhan pertanyaan itu begini bunyinya. “Menurut kalian, apa kami yang minoritas ini berharga?”.

Saya menjawab dalam hati, kalian berharga. Setiap manusia, berapa besar kecilnya jumlah mereka, apapun agama dan keyakinan, amat berharga bagi kehidupan. Selamat Natal!