Salah satu cara yang dilakukan kelompok ekstrimis untuk mempengaruhi orang lain adalah dengan memanfaatkan narasi agama. Mereka kerapkali mengatasnamakan agama dalam menyebarluaskan narasi ekstrimisme agar apa yang diperjuangkan terlihat suci dan mendapat pembenaran. Atas nama agama itu pula banyak orang yang tertipu. Mereka bergabung karena ingin membela agama dan mewujudkan syariat Islam, namun sayangnya apa yang dibela itu sangat jauh dari nilai-nilai islam.
Narasi agama ini disebarluaskan dengan beragam cara. Ada yang menggunakan pendekatan tatap muka: pengajian dan diskusi langsung, atau dengan memanfaatkan media online. Pada masa sekarang, kalau ingin memprovokasi orang tidak perlu bertemu langsung, cukup tulis tulisan atau buat video yang memancing emosi orang, sehingga banyak orang terpengaruh dengan kampanye tersebut.
Kelompok teroris ini termasuk yang paling aktif menggunakan media online. Mereka menggunakan itu untuk menebar narasi, merekrut kelompok baru, dan menebar ketakutan. Melalui media online mereka tengah menunjukkan kalau mereka eksis dan tidak main-main. Sebelum Kementerian Komunikasi dan Informasi memblokir situs ekstrimis, narasi kekerasan yang dimainkan kelompok teroris sangat mudah ditemukan di media digital. Sekalipun website radikal sekarang sulit diakses melalui mesin pencarian, narasi mereka masih mudah ditemukan di media sosial, karena aturannya mungkin tidak seketat mesin pencarian.
Dalam beberapa riset, di Indonesia memang belum ditemukan kasus orang yang menjadi ekstrim dan melakukan aksi kekerasan murni karena membaca konten di media online. Dalam studi terorisme, ini diistilahkan dengan self radicalization. Mereka menjadi ekstrim bukan karena direkrut atau berjejaring dengan kelompok teroris tertentu, tetapi karena membaca atau terinspirasi dari konten yang tersedia di media.
Misalnya, riset IPAC dan Rand beberapa tahun lalu belum menemukan aksi terorisme karena self radicalization. Rata-rata aksi yang dilakukan setelah mereka berjejaring atau berkomunikasi dengan kelompok teror. Hanya saja, narasi dan kampanye ekstrimis di media online kerapkali menjadi pintu masuk orang untuk menjadi ekstrimis. Narasi digital semacam umpan, orang yang memakan umpan itu pada akhirnya akan mencari dan bergabung dengan orang yang memberi umpan.
Karenanya, narasi ekstrimis di media digital tetap perlu diwaspadai dan diamati. Kelompok moderat mestinya melakukan upaya serius untuk mengkritik narasi seperti itu dan menyebarluaskan narasi damai dan positif supaya narasi ekstrimis semakin tenggelam dan tidak dilirik banyak orang. Mengapa upaya ini penting dilakukan? Sebab dalam riset yang dilakukan Oliver Roy, sebagian anak muda tertarik untuk bergabung dengan kelompok teror seperti al-Qaeda karena terpengaruh narasi mereka.
Narasi memiliki magnet kuat untuk mempengaruhi orang, apalagi di era keterbukaan seperti sekarang ini. Iklan misalnya, ada banyak orang yang membeli produk, bukan karena kebutuhan, tetapi karena tertarik dengan iklan yang diperhatikan. Helen Fulton mengatakan, dalam dunia yang didominasi media cetak dan elektronik, realitas kita semakin dibentuk oleh narasi.
Dalam artikel al-Qaeda in the West as a Youth Movement, Oliver Roy menjelaskan ada beberapa narasi yang sering digunakan al-Qaeda ketika melakukan perekrutan: pertama,
narasi penderitaan umat. Al-Qaeda, dan kelompok teroris lainnya, menarasikan umat Islam sedang didzalimi oleh kekuatan global. Berita dan poto penderitaan muslim di manapun berada disebarluaskan untuk memancing emosi umat Islam. Poto yang disebarluaskan itu dicabut dari realitas dan konteksnya, dan tidak dikontekstualisasikan. Misalnya, poto muslim yang dianiaya disebuah daerah disebarluaskan, padahal belum tentu poto itu benar, bisa jadi hoax, kalaupun benar, belum tentu juga muslim itu dianiaya karena dia muslim.
Narasi kedua, al-Qaeda memposisikan diri mereka sebagai seorang pahlawan yang akan membalas kejahatan yang dilakukan terhadap orang Islam. Narasi kepahlawanan itu ditujukan untuk memancing orang untuk membalas penghinaan dan kezaliman terhadap umat Islam dengan melakukan tindakan terorisme, meskipun tindakan itu dilakukan dengan cara mengorbankan diri sendiri.
Narasi ketiga, narasi doktrinasi ideologi agama, seperti jihad misalnya, dikatakan sebagai kewajiban yang harus dilakukan untuk membela agama, meskipun dengan kematian. Narasi jihad ini dengan mencantumkan refrensi dari ulama sebelumnya, sehingga orang yang melakukan merasa bagian dari silsilah dan sejarah Islam.
Narasi keempat, narasi yang tidak terlalu religius, yaitu perjuangan untuk melawan tatanan global. Ini biasanya diarahkan, bagi ornag yang tidak termotivasi secara agama, al-Qaeda menawarkan sebagai pejuang yang terus konssiten menghadap kejahatan barat.
Tetapi bagian keempat dari narasinya kurang religius: itu adalah berlakunya perjuangan melawan tatanan global. Bagi orang-orang yang tidak secara khusus dimotivasi oleh agama, Al Qaeda adalah satu-satunya organisasi yang hadir di pasar yang tampaknya efektif dalam menghadapi ‘kejahatan’ yaitu Barat.
Narasi ini dibuat semenarik mungkin, sehingga orang yang membacanya langsung terpancing emosinya. Al-Qaeda menarasikan dunia dengan penuh kekerasan, darah, dan perperangan. Medium yang digunakan untuk penyerbaluasan narasi ini bermacam-macam: di antaranya adalah video game, di mana pesannya lebih mudah diterima anak muda. Al-Qaeda juga memanfaatkan wacana dominan soal benturan peradaban, ada yang baik dan yang buruk.
Melihat hal ini, kelompok moderat, seperti NU dan Muhammadiyah, di Indonesia tidak bisa berpangku tangan. Narasi kekerasan yang disebarluaskan kelompok teroris perlu dilawan dengan cara-cara yang strategis. Sudah ada beberapa kasus di Indonesia, anak muda yang berangkat ke Suriah untuk berjuang bersama ISIS. Adanya kejadian seperti itu sebaiknya menumbuhkan semangat kita untuk tidak membiarkan masalah ini berlarut-larut. Kerja-kerja kontra narasi dan penyebaran narasi damai tidak dapat tidak harus dilakukan dan diteruskan secara konsisten.
*Artikel ini didukung oleh Protect Project, UNDP Indonesia, Uni Eropa, dan UNOCT