Potongan ceramah ustadz Khalid Basalamah yang diduga mengharamkan wayang memicu reaksi publik. Orang lalu menaruh atensi terhadap wayang.
Terus terang, percakapan tentang wayang di lini-masa media sosial saya sempat berada di titik informatif dan bahkan jenaka. Tapi ia tidak berumur panjang.
Salah satu yang cukup serius menanggapi adalah Persatuan Pedalangan Indonesia (Pepadi). Aliansi para dalang tersebut berencana melaporkan pendakwah berhalauan formalis itu ke Bareskrim, seolah tidak peduli kendati Basalamah telah melayangkan permintaan maaf.
Rupanya, pelaporan itu masih belum dianggap cukup. Diskursus tentang wayang belakangan menjadi sebuah ironi ketika pendakwah bernama Miftah Maulana (akrab disapa Gus Miftah) menggelar panggung wayang di Pesantren Ora Aji, Sleman (18/02/2022). Potongan videonya tersebar di media sosial.
Publik menganggap bahwa selebrasi seorang dalang di acara wayangan di tempat Gus Miftah itu sebagai reaksi yang kontra-produktif. Wacana tentang wayang mendadak berubah menjadi suram.
https://twitter.com/aabelkarimi1/status/1495559377759408129
Kini, Miftah bernasib serupa dengan Basalamah. Keduanya menjadi trending di media sosial. Praktis, mereka berada dalam pusaran trial by netizen.
Mungkin ada sedikit perbedaan. Jika muasal potongan ceramah Basalamah merupakan video lawas, maka pertunjukkan wayang di tempat Gus Miftah masih terasa segar. Hingga tulisan ini dibuat (21/02), kata kunci “Miftah” masih bertengger di urutan teratas trending topic twitter.
***
Wayang adalah medium. Di tangan Sunan Kalijaga, wayang menjadi perantara untuk menyebarkan ajaran Islam. Waktu itu belum ada media sosial. Artinya, tidak ada jejak digital. Jadi, kita tidak benar-benar tau bagaimana sebuah pertunjukkan wayang diperagakan oleh Kanjeng Sunan atau panitia saat itu.
Hari ini situasinya mungkin jauh lebih rumit. Wayang bukan lagi sebatas medium. Wayang telah menjadi medium di dalam medium. Keseharian yang dulu terpisah oleh jarak dan waktu, kini telah menjelma sebagai daily activity yang dekat. Inilah era ketika sebuah pesan menjadi lebih penting ketimbang pengirimnya. Di titik ini, apa yang kita kenal sebagai “konteks” tidak lagi penting.
Ketika menjadi materi ceramah Ustadz Khalid, “wayang” sedang berada dalam konteks situasi tanya-jawab. Kebetulan, Ustadz Khalid memiliki keyakinan bahwa Islam sudah semestinya menjadi tradisi dan bukan sebaliknya.
“Kalau ada tradisi yang sejalan dengan Islam tiada masalah, dan kalau bentrok sama Islam ada baiknya ditinggalkan,” kata Ustadz Khalid dalam video klarifikasi.
Di sini menjadi cukup jelas bahwa Khalid Basalamah sebetulnya sedang memilih jalan ninja sebagai seorang tekstualis. Kesetiaannya terjangkar ke dalam samudera logika-pertanyaan orang yang ingin bertobat. Karena ingin bertobat, berarti ada yang salah dengan masa lalu si penanya. Kebetulan, konteks profesi yang dimaksud adalah dalang. Alih-alih melakukan improvisasi, Ustadz Khalid justru memberi validasi dengan meminta agar wayang dimusnahkan.
Ia tidak mempertimbangkan bahwa dengan wayang Sunan Kalijaga bisa menginternalisasi nilai-nilai keislaman yang luhur, yang adiluhung, yang tidak menang-menangan. Dengan wayang, umat tau bahwa agama tidak melulu tentang perang. Dan, dengan wayang, Sunan Kalijaga bisa memugar konsep surga kepada audiens yang telah dikarunai “surga” itu sendiri. Jadi, secara prinsip tidak ada masalah dengan wayang (sebagai medium).
Meski begitu, Ustadz Khalid sebetulnya juga sedang melakukan kontekstualisasi. Ia sadar betul bahwa audiensnya adalah masyarakat muslim urban. Buktinya, lokasi ceramahnya saja berada di Masjid Blok M, alih-alih Ngaglik.
Jadi, dalam hal ini Ustadz Khalid sangat kontekstual karena tau bahwa (profesi) dalang di Ibu Kota itu bukan seperti dalang pada umumnya. Dalang di desa menggunakan wayang kulit sebagai media bercerita dan untuk menarik atensi umat. Dalang di kota-kota besar itu kadang wayangnya pake orang betulan, jhe. Hanya kiasan. Kalau gak percaya, cari aja berita di google pakai kata kunci “dalang di balik…”.
Ustadz Khalid, dengan demikian, sebetulnya sedang melempar sebuah kritik satire kepada para ‘dalang-dalang’ yang menggunakan kekuasaannya untuk menindas mereka yang lemah, suka menebar fitnah, dan memanipulasi informasi untuk kepentingan ego menang-menangan.
Sayangnya, resonansi selubung pesan yang kelewat mulia itu tampaknya kurang ditangkap-pahami oleh mereka yang derajat keimanannya masih berada di level potongan ceramah. Sudah begitu malah bikin persekusi visual pula. Masih mending kalau yang diduelin itu antar pendakwah. Jadi, duelnya bisa agak setara. Adu dalil. Elegan.
Lha yang ini malah mengonfrontasi sosok wayang berpeci dengan wayang Prabu Baladewa. Yakali, hafalan dalil digelutkan sama pusaka nanggala dan alugara. Gaman-nya aja udah gak seimbang. Padahal bisa aja kan wayang berpeci itu dibekali panah, minimal sesuai ajaran Nabi.
Etapi kan wayang bukan tradisi Islam.