Alasan Kenapa Menata Niat Itu Penting

Alasan Kenapa Menata Niat Itu Penting

Menata lagi niat adalah kunci. Hanya saja, kita seringkali lupa dengan hal sederhana itu, lebih-lebih di era digital seperti ini.

Alasan Kenapa Menata Niat Itu Penting
Foto: Shutterstock

Imam al-Nawawi (w. 676 H) dalam kitab beliau Hilyah al-Abrār wa Syi‘ār al-Akhyār fī Talkhīṣ al-Da‘awāt wa al-Adzkār al-Mustahabbah fī al-Lail wa al-Nahār, atau lebih dikenal dengan al-Adzkār al-Nawawiah menyebutkan di awal kitab tentang pentingnya niat dan keikhlasan untuk mengawali suatu karya, lebih-lebih yang terkait dengan disiplin keagamaan.

Pendapat beberapa tokoh dikutip Imam al-Nawawi sebagai dasar pandangan beliau akan nilai-nilai tersebut. Namun sebelum itu, beliau mengutip hadis masyhur riwayat dari Umar bin Khaththab ra, begini:

إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ، وَإِنَّمَا لِامْرِئٍ مَا نَوَى، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ، فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا أَوِ امْرَأَةٍ يَتَزَوَّجُهَا، فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ

Sesungguhnya setiap amal tergantung akan niat, dan sesungguhnya bagi setiap orang apa yang ia niatkan. Maka barangsiapa hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya maka hijrahnya tersebut  kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa hijrahnya karena dunia yang hendak ia rengkuh atau wanita yang hendak ia nikahi maka hijrahnya pada apa yang ia niatkan.   

Dan, “barangsiapa hendak mengarang satu kitab maka mulailah dengan hadis tersebut,” demikian tutur Imam Abu Said Abdurrahman bin Mahdi.

Imam Abu Sulaiman al-Khattabi menyatakan, “orang-orang terdahulu dari guru-guru kami senang mendahulukan hadis ‘al-a‘mal bi al-niyyat’ di depan segala sesuatu untuk disiplin agama karena umumnya hajat akannya dalam berbagai macam kebutuhan.”

Imam al-Nawawi juga menerima riwayat dari Ibn Abbas ra yang menyatakan, “sesungguhnya seseorang itu dijaga berdasarkan kadar niatnya.” Selain beliau ada pula yang menyatakan, “Sesungguhnya manusia diberi berdasarkan kadar niat mereka.”

Setelah mengetahui urgensi niat, Imam al-Nawawi mengajak kita untuk masuk lebih dalam pada subtansi yang mengiringi niat dalam beramal itu sendiri. Perlu digarisbawahi, amal di sini cakupannya luas, bukan hanya sedekah melainkan segala tumindak atau laku hidup yang baik.

Imam al-Nawawi mengutip al-Fudhail bin Iyadh yang menyatakan, “Meninggalkan suatu amal karena manusia adalah riya’. Sementara beramal karena manusia adalah syirik. Ikhlas akan menyelamatkanmu dari keduanya.”

Hudzaifah al-Mar‘asyi menyebutkan, “Ikhlas adalah setaranya zahir dan batin dalam laku seorang hamba.”

Selanjutnya Imam Nawawi mengutip Syaikh Sahl al-Tustari yang mengatakan, “Para cendikia telah meneliti mengenai tafsir kata ikhlas dan mereka tidak mendapatkan kesimpulan selain ini: ketika gerak dan diam seseorang dalam kerahasiaan serta keterbukaannya karena Allah SWT, tidak tercampur dengan nafsu, birahi, maupun dunia.”

“Tiga pertanda ikhlas,” kata Dzun al-Nun al-Mishri, “yakni ketika pujian dan cibiran umum sama saja; lupa, tidak lagi melihat amal dalam beramal (ketika telah usai); hanya butuh balasan amal di akhirat.”

Atau, dalam bahasa Gus Dur, “orang yang masih terganggu dengan hinaan dan pujian manusia, dia masih hamba yang amatiran.”

Kaul para ulama mengenai ikhlas di atas tentunya mudah jika sekedar untuk diucapkan, namun pastinya berat untuk menata hati sampai di level yang lebih dari amatir tersebut. Terlebih di era digital ini ketika penonton, pujian, dan cibiran dapat sekaligus tampak di perangkat.

Ikhlas menjadi semakin susah ketika amal kita terkait dengan sosial media. Dakwah lisan ataupun tulisan misalnya. Tidak lagi melihat amal seperti yang dikatakan Dzun al-Nun al-Mishri di atas bisa jadi lebih sulit dewasa ini. Senang jika mendapat komentar baik dan jengkel ketika dicibir bisa jadi rutinitas keseharian. Sehingga merasa masih amatir sebagai hamba justru merupakan kejujuran.

Terlebih jika merujuk pada yang dikatakan al-Tustari di atas dan mendapati hati masih menuju popularitas, penonton, komentar, bahkan keuntungan. Setidaknya jujurnya hati kepada diri dapat mengantarkan kita kepada taubat setiap keamatiran itu hadir. Menata lagi niat adalah kunci karena yang disebut lillah itu sangat luas cakupannya. Semoga kita mendapat petunjuk dari Allah SWT menuju niat yang karena-Nya dan Rasul-Nya serta hati yang ikhlas mengharap ridha-Nya.