Seharian kemarin saya mengalami krisis kepercayaan diri, mood menjadi berubah, rasanya dunia begitu menakutkan dan hari esok dipandang sebagai jalan dengan kabut tebal. Menulis rasanya juga berat sekali. Menjadi lelaki berumur 25 tahun memang tak mudah. Setelah saya amat-amati, kekhawatiran saya ini melintasi dua babak pembagian zaman: kini dan nanti. Lha mau galau kok pake kategorisasi, ra sido sendu, malah mikir jeruu.
Kekhawatiran saya di masa kini dipicu oleh kenekatan saya untuk membuka kembali kanal sosmed saya yang lama saya tutup: Facebook, Twitter, dan Instagram. Saya lihat teman-teman saya kok “sukses” ya; menikah, kuliah di luar negeri atau berbisnis. Pikiran sehat saya sih berkata kalo harusnya saya senang dengan perkembangan teman-teman saya. Wong itu sama artinya saya punya lingkaran yang makin hebat. Tapi lha kok hati itu omongannya ndak bisa dikontrol, mirip sama lambenya Bu Tejo ketika ngomong “Koyo uripe duwe karir wae!”.
Satu mantra yang diajarkan oleh netizen dunia maya kepada saya adalah “jangan bandingkan dirimu dengan teman-temanmu, bandingkanlah dirimu dengan dirimu di masa lalu”.
Mantra ajaib ini selalu saya ulang-ulang dalam sanubari sebagai resep mengobati iri hati. Apakah tidak boleh membandingkan diri kita dengan orang yang lebih sukses (baik material maupun spiritual) agar kita termotivasi? Tentu boleh, tapi jangan sampai dirimu kehilangan jati diri. Keinginan kita untuk memperoleh apa yang orang lain peroleh, akan mengakibatkan perasaan berkompetisi dengan orang lain. Jika kita lacak, ini turut dipengaruhi oleh corak pendidikan kita yang lebih mengutamakan kompetisi alih-alih kolaborasi.
Dengan membandingkan diri dengan diri kita di masa lalu, yang terjadi bukanlah kompetisi, melainkan muhasabah diri. Apakah kita mengalami peningkatan apa penurunan kualitas? Hasil perenungan ini yang kita jadikan bahan bakar untuk melecut diri menjadi pribadi yang lebih baik. Dengan melihat ke masa lalu, kita juga bisa melihat, bahwa pertumbuhan kita, selalu berjalan beriringan dengan pertumbuhan orang lian. Akhirnya, selain menimbang pertumbuhan diri, kita juga akan melihat, bahwa kita tidak tumbuh sendiri. Banyak orang yang membantu kita, entah dengan perilaku positif maupun perilaku sinis.
Lain halnya ketika memikirkan masa depan. Kepercayaan diri saya juga dipermainkan oleh situasi. Dengan jurang tajam antara penghasilan dan harga tanah, “Apa bisa ya saya punya rumah? Apa bisa ya menafkahi orang sekeluarga?” Lha wong menafkahi diri sendiri aja masing terengah-engah. Imbasnya, keminderan ini menjelma menjadi perasaan takut ditinggalkan. Mengapa ditinggalkan itu menakutkan? Tak lain karena kesendirian itu sakit dan sepi. Seperti petuah Pak Fahruddin Faiz dalam rutinan Ngaji Filsafatnya, bahwa hal pertama yang diminta oleh Nabi Adam ke Gusti Allah itu adalah teman. Kenapa? Ya karena sendiri itu menyakitkan. Bahkan sendiri di surga!
Kata teman saya yang sudah menikah dan punya anak, ini adalah fase yang normal. Bagi teman saya, justru hal yang paling ia ditakutkan malah meninggalkan. Meninggalkan istri dan anak. “Apakah Ketika aku nggak ada, anak-istriku akan baik-baik saja? Apa mereka hidup berkecukupan? Apa mereka hidup Bahagia?” Pertanyaan-pertanyaan itu hadir dan membayangi pikiran ketika melamun sendirian.
Ketika memikirkan perasaan ini, saya teringat satu episode di serial “Dua Dunia” di salah satu televisi swasta. Dalam serial ini, seorang presenter dan beberapa paranormal mengundang mahluk dari dimensi lain.
Kali ini mereka melakukanya di makam “Mbah Mangku Jati”, tak disangka, roh yang mengaku bernama Waringin Jati dan berprofesi sebagai penjaga makam ini punya kapasitas sebagai mubaligh yang tak bisa dikatakan amatiran. Alih-alih ‘menindas’, sang presenter malah yang ‘ditindas’ dengan ucapan subtansial Mbah Waringin:
“Koe ngelakoni sembahyang kui, koe yakin tenan sembahyang?” Durung iso koe sembahyang.
(kamu melakukan sholat itu, kamu yakin benar-benar sholat? Belum bisa kamu!)
“Inna sholati wa nusuki wa mahyaya wamamati lillahi robbil alamin”
“Sak temene sholatku, Ibadahku, Uripuku, matiku, kui kabeh kagungane Allah”, Mbah waringan melanjutkan “Jal, dunyomu tak jaluk oleh po ra? ijeh abot neng dunya durung neng Pengeran. Padahal koe neng kono wes janji. Sak temenni uripku, matiku, kui kagungane Allah. Jan, manusia kui munafik kabeh!”
(“Sesungguhnya sholatku, ibadahku, hiduoku, matiku itu milik Allah”, Mbah waringin melanjutkan “Coba, Duniamu aku minta, boleh nggak? Masih berat ke dunia, belum ke Tuhan. Padahal kamu disitu sudah janji. Sesunggunya hidupku, matiku, itu milik Allah. Dasar, manusia itu munafik semua!”)
Presenter terdiam.
Dalam sholat, kita telah berulang kali diajak untuk melepas kemelekatan. Bahwa segala yang menempel pada diri kita, fisik maupun konsep, semua milik Tuhan. Kita hanyalah dititipi. Maka tak sepatutnya itu semua dilekati. Kekhawatiran mencul, karena kita membiarkan diri kita ditempeli oleh kebendaan. “Letakkanlah harta di tanganmu, jangan di hatimu” kata orang bijak.
Kerisauan-kerisauan tadi sebenarnya sudah kita temukan jawaban rasionalnya. Tapi apa daya, hati selaku penggerak emosi kadang kali tak bisa menerima argumen rasional ini. Saya pun demikian. Dialog dengan diri, tak selalu membuahkan hasil yang efektif.
Sebagai suplemen, untuk menguatkan argumentasi rasional ini, kita bisa menambahkannya dengan laku. Hal pertama yang saya lakukan ketika berada di bawah puncak kepercayaan diri saya adalah dengan berbagi pikiran dengan teman. Teman ini boleh sebaya, boleh lebih tua. Sebab intinya, kita mengeluarkan kegalauan kita. Kita mengkonfirmasi, apakah kita mengalami keterasingan ini sendirian atau ternyata dialami juga oleh banyak orang. Entah bersolusi atau tidak, setelah pertemuan biasanya kita mendapat suntikan semangat. Suntikan keyakinan. Satu kata, tetep kuat yo, kabeh kui ono kadaluarsane yang diucapkan oleh diri sendiri dan diucapkan oleh orang lain tentu berbeda dampaknya. Kata-kata yang sama tapi diucapkan oleh orang lain akan sangat memacu kita untuk meresapi kalimat itu.
Yang kedua, mungkin ini konyol, tapi beberapa teman mempraktikannya dan manjur. Inspirasinya dari film jepang, yaitu dengan menulis surat untuk diri kita di masa depan. Ketika sedang di dalam masa sulit, tulislah satu surat kepada diri anda sendiri, di masa depan. Bilang pada diri anda di masa depan: “Saat menulis surat ini, aku sedang dalam masalah, dan jika kamu baca surat ini, berarti kamu sudah melewati masalah ini. Dan jika sekarang kamu sedang dirundung masalah, percaya saja, siklus akan berulang, kamu akan melewatinya. Sama seperti saat aku menulis ini, pasti akan terlewati juga.”
Masyhur cerita, seorang raja meminta seorang pembuat cincinnya untuk menuliskan satu pesan yang akan menjadi pembelajaran bagi sang raja, baik di kala sedih maupun senang. Si tukang pembuat cincin lalu menuliskan “dan ini pun akan berlalu”.