
Krisis iklim sudah terjadi dan terus berlangsung. Ilmuan mudah merekam datanya dan mengukur dampaknya, sebelum kemudian ditentukan kapan, di mana, dan seperti apa ambang batasnya. Dan bagaimana manusia seharusnya merespon.Meski demikian, krisis iklim tidak seperti fenomena saintifik benda langit jatuh yang jejak kawahnya bisa seseorang langsung amati.
Krisis iklim adalah proses berantai multi-faktor yang tiap wilayah menunjukkan gejala dan intensitas yang berbeda yang bisa mengecoh mata dan keyakinan seseorang.Yang pada akhirnya, tidak saja akan menguji kejelian pengamatan, tapi juga menguji empati: apakah seseorang akan berpikir sebatas tempat tinggalnya? Atau akan berpikir gugus wilayah global?
Ini sebabnya, di banyak tempat dan pemerintahan, krisis iklim sering jadi mainan: ditepis, dipelintir, dan saling lempar tanggung jawab. Ada tarik ulur antara kepentingan ego-sektoral dan kolektivitas perbaikan.
Tanda-tandanya nyata tapi subtil, dampaknya beragam, dan ditambah pula sistem kapitalisme yang merusak lingkungan memang memberi kenyamanan pada segelintir orang. Dengan kata lain, solidaritas tanggung jawab hampir tidak bisa bulat.
Iqbal Damanik, Juru Kampanye Greenpeace, datang ke acara Rosi dengan membawa data dan fakta krisis iklim yang telah dan sedang berlangsung. Argumennya sederhana: Kerusakan lingkungan pulau-pulau luar Jawa meluas akibat aktivitas tambang. Batas deforestasi kita juga sudah mentok.
Oleh sebab itu, mari jaga lingkungan. Anak kelas 2 SD sangat paham bahwa menanam pohon bisa menjaga oksigen dan menghidupkan ekosistem. Sementara itu, menurut Ketua PBNU Ulil Absar Abdalla, menjaga lingkungan itu penting, tetapi mengelola tambang itu juga maslahat. Maka menurutnya, penambangan itu baik. Yang tidak baik adalah bad mining. Selain dikecam publik karena tertangkap basah ad hominem melabeli Iqbal sebagai ‘Wahabi’ lingkungan, cara berpikir Ulil juga cacat untuk beberapa sebab.
Pertama, keliru kacamata. Judul acara Rosi telah menyiratkan tema pembahasan berkisar di persoalan kebijakan, yang pasti membutuhkan data empiris untuk berdebat.
Selain itu, krisis iklim adalah peristiwa yang sedang dan telah berlangsung. Tak ada tantangan data empiris Iqbal yang bisa Ulil jawab sekalipun soal ada tidaknya lingkungan yang terpulihkan pasca-penambangan.
Ia justru berkali-kali merespon tantangan Iqbal dengan “itu masih diperdebatkan” dan membalikkannya dengan pertanyaan filosofis. Ia juga gagal bahkan untuk menggambarkan bentuk paling sederhana dari ‘bad mining’.
Ini cara berpikir yang membahayakan karena meragukan data empiris fenomena alam (krisis iklim) ke ranah pragmatisme cara pandang. Di isu-isu sosial, penerapan pragmatisme cara pandang punya manfaat untuk membongkar motif ideologi di balik asumsi maupun model kebijakan. Namun jika diterapkan di isu-isu alam, ini bunuh diri dan akan merepotkan banyak orang.
Kedua, gagal nalar premis masalah. Menurut Iqbal, ambang batas deforestasi Indonesia sudah mentok. Orang awam mungkin akan terbayang, “solusinya ya jangan menebang pohon!”.
Ulil justru membuat premis baru, bahwa masalah tambang di Indonesia adalah banyaknya oligarki yang menguasai tambang, oleh karena itu agensi tambang perlu diubah dari oligarki yang dhazim ke ormas yang salih.
Pergeseran agensi tidak akan berampak positif bagi lingkungan jika intensitas penambangannya sama. Hutan tetap habis, sekalipun pengelola tambangnya membaca doa Qunut dan Yasinan tiap Jum’at.
Sandy Cheeks tupai kelahiran Texas yang kini menjadi warga Bikini Bottom (kota kerusakan lingkungan) mungkin akan berkerut dahi mendengar akrobat nalar ini.
Ketiga, Jawa-sentrisme.
Ulil menormalisasi nasib pulau-pulau Pasifik dengan pengalaman kampung halamannya, Demak, yang terdampak pertumbuhan populasi. Menurut Iqbal, keduanya tidak bisa dibandingkan.
Ketika Iqbal menambahkan soal ketimpangan ekonomi dan dampak lingkungan yang diderita warga sekitar tambang, Ulil tak merespon signifikan dan gagal menyajikan contoh empiris. Ia berhenti di klaim normatif. Jawa-sentrisme menjadi persoalan yang seharusnya mulai dibahas secara luas dan terbuka, terutama di kalangan NU.
Pengalaman dan derita warga pulau luar tak bisa diukur menurut penggaris kehidupan Jawa santri. Jika normalisasi nasib pulau-pulau Pasifik dengan pengalaman Demak adalah sebuah kepleset lidah, jelas ini bukan indikasi alam bawah sadar yang sehat.
Sebagai individu, orang mungkin akan mempertanyakan empati. Sebagai perwakilan NU, orang mungkin akan mempertanyakan: apakah NU peduli ketika jauh di sana ada orang Indonesia yang dimiskinkan dan tubuhnya tercemar logam berat akibat tambang? Atau, jangan-jangan solidaritas NU hanya berlaku untuk masalah toleransi dan kerukunan khususnya agama-agama besar?
Keempat, ad hominem melabelkan Iqbal sebagai ‘Wahabi’ lingkungan.
Pelabelan ini muncul setelah tak ada tantangan contoh empiris yang Ulil bisa sebutkan. Apakah toleransi menurut al insanu mahalul khoto’ wan nisyan (manusia memang tempatnya salah dan lupa), boleh berlaku untuk pelabelan ini atau tidak, saya serahkan kepada pembaca.
Sebab, peribahasa ‘the wisdom is trying to chase you, but you are too fast’ (kebijaksanaan mencoba mengejarmu, tapi kamu terlalu cepat) pun sepertinya tidak cukup representatif untuk melukiskan pelabelan ad hominem di acara publik.
Debat Iqbal dan Ulil di acara Rosi tidak saja penting untuk pendidikan publik soal masalah lingkungan.
Audiens bisa menilai duduk masalah krisis lingkungan di Indonesia dan bagaimana masing-masing pihak memandangnya. Namun yang lebih penting dari itu, debat Iqbal dan Ulil menggambarkan munculnya krisis intelektual di Indonesia yang dulu sastrawan Polandia, Czeslaw Milosz, pernah takutkan pada pertengahan abad 20 silam di Eropa Timur.
Totalitarianisme Stalin muncul dan memikat banyak intelektual setelah mereka melihat Nazi-nya Hitler. Stalin memberi harapan dan kepastian baru di dunia yang sedang tak pasti. Milosz menyaksikan bagaimana mereka merelakan diri dan nurut karena godaan utopia dan harapan ini. Tetapi dampaknya, intelektual mengalami patahan luar-dalam ketika harus menyeimbangkan antara batin kognitif, wajah publik mereka, dan kerelaan diri mereka pada kekuasaan.
Dengan kata lain, ada kemampuan secara eksternal menerima kekuasaan dominan sambil secara internal menolaknya. The Captive Mind (1953) karya Milosz menggambarkan empat mode survival intelektual dari kondisi ini. Di antara Alpha, Beta, Gamma dan Delta, Alpha adalah sosok moralis yang menjadi konformis karena ambisi.
Dalam konteks Indonesia, karakterisasi Alpha tidak sepenuhnya berlaku. Di sini tidak ada rezim totaliter yang memberi harapan baru. Ekosistem politik Indonesia juga tidak ramah kepada outsider ambisius yang ingin duduk membantu. Politik Indonesia kontemporer, sebagaimana beberapa temuan Indonesianis Australia, bekerja menurut mutualisme kepentingan dan saling-sandra kepentingan. Jadi, konformisnya seorang Alpha di Indonesia bukan karena ambisi.
Dalam konteks NU, sebuah artikel berjudul The Rise of Religious Brokerage: Nahdlatul Ulama in Indonesia’s 2024 Presidential Elections (2025) sangat membantu untuk memahami konteks di balik peforma debat di acara Rosi. Artikel ini menegaskan, untuk pertama kalinya sejak 1998, petinggi NU menjadi makelar dan secara aktif memobilisasi anggota untuk mendukung kandidat yang didukung pemerintah dan tidak memiliki hubungan dengan organisasi.
Negosiasi strategis kini terhampar di karpet ndalem kyai. Krisis iklim dan kerusakan lingkungan tidak mengenal batas identitas, apalagi ormas. Bagaimana mungkin orang yakin bahwa tambang bisa bening jika kitab kuning ada di podium sementara naluri insting ada di karpet premium?
Barangkali, santri perlu sadar bahwa ia adalah bagian dari komunitas lebih luas yang bertindak dan bergerak bukan karena dalil, kepatuhan terhadap tokoh, atau dorongan ego-sektoral, tapi karena sesederhana sadar bahwa kebaikan menanam pohon tak perlu pembenaran apapun, janji balasan pahala, atau konsep-konsep rumit untuk menjadi baik.