Isu poligami belakangan ini kembali memanas pasca Ustadz Arifin Ilham menikah untuk ketiga kalinya. Foto kemesraan Ustadz Arifin bersama tiga istrinya menjadi objek bahasan netizen di media sosial: ada yang memujinya dan banyak pula yang mencibirnya.
Sebagian pendukung poligami menjadikan Rasulullah sebagai legitimasi. Mereka mengatakan, “Kalau anda menentang poligami, berarti anda menentang Rasulullah dan ajaran al-Qur’an”. Mereka juga tidak segan-segan menyatakan poligami bagian dari sunnah Nabi. Meskipun pada hakikatnya, praktek poligami yang ada saat ini perlu dipertanyakan kembali keselarasannya dengan ajaran Islam. Sebab tidak sedikit keluarga yang hancur dan bercerai lantaran suaminya poligami.
Selain berdalil dengan al-Qur’an dan hadis, pendukung poligami juga memanfaatkan Bung Karno sebagai pembenaran. Pendukung poligami mempertanyakan kenapa anda nyinyir dengan Ustadz Arifin Ilham, tidak dengan Bung Karno. Bukankah istri Bung Karno juga banyak? Malah sampai Sembilan istri.
Lengkap sudah argumentasi pendukung poligami. Selain al-Qur’an dan hadis, mereka juga mencari pembenaran dari tokoh bangsa. Soal hukum poligami biarlah itu urusan para ulama dan fuqaha. Tulisan ini tidak akan membahas soal itu. Tetapi yang perlu ditelusuri ialah kira-kira apa alasan Bung Karno poligami? Apakah juga menggunakan argumentasi teologis untuk membenarkan sikapnya? Apakah Bung Karno poligami karena mengikuti sunnah rasul sebagaimana diyakini pendukung poligami?
Bung Karno pernah menjelaskan soal hubungan asmaranya kepada wartawan Arab Muhammad Asad Syihad. Muhammad Asad termasuk wartawan Arab yang dekat dengan Bung Karno dan menulis sejarah Indonesia, khususnya perkembangan komunisme di Indonesia. Hasil wawancara dengan Bung Karno dibukukan oleh Muhammad Asad dengan judul shafahât min tharikh indonesia al-Mu’ashir.
Meskipun ada beberapa bagian isi buku ini yang tidak disetujui Bung Karno, beliau tetap mengapresiasi karya ini. Beliau menghargai pandangan Muhammad Asad sebagai seorang penulis dan Bung Karno bersedia memberi catatan serta komentar terhadap buku berbahasa Arab ini.
Pada halaman 287, Bung Karno menjelaskan kepada Muhammad Asad mengapa dia memiliki banyak istri. Berikut kutipannya:
فيما يتعلق بحاتي الخاصة والزوجية، هذا من شأني وحدي وخصوصاتي، وهو حق من حقوقي وليس لأحد التدخل بذلك…”وحياتي الغرامية التي أخذها المؤلف عليّ مأخذا لا هوادة فيه، فاني أقول بكل صراحة: إن الرجل الذي لا يدري ما الغرام ولا يعرف ما هو الحب ولا يذوق طعم الهوى والغرام ولا يفتتن بالجمال فهو إما مخنث أو فاقد الرجولة أو جماد في صورة إنسان لا شعور له ولا إحساس. فكل رجل لا بد ان يكون له أمثال هذه الجولات الرجولية، جولات الغراميات، ولا بد له أن يكون له أن يرتكب شيئا منها سرا أو جهرا. الا أن البعض من ذوي النفوس الضعيفة يود ويحاول ان يظهر بغير مظهره الحقيقي لأنه يخجل ان يقول الحق فيستتر لاعتقاد أن الرجولة وصفة الرجولة عيب من العيوب، وهو لا يعلم انه بعمله هذا فقد من نفسه صفة الرجولة والشجاعة والصراحة فيبحث عن ستار يتستر وراءه، والله يعلم عمله، فهو يخشى الناس ولا يخاف الله
“Terkait kehidupan pribadi dan rumah tangga saya, itu urusan saya pribadi dan siapapun tidak punya hak untuk ikut campur. Terkait persoalan asmara yang ditulis dalam buku ini, saya ingin tegaskan bahwa laki-laki yang tidak mengenal cinta dan tidak tergoda dengan kecantikan perempuan berati dia banci, bukan laki-laki sejati, atau manusia tanpa perasaan. Setiap laki-laki mesti memiliki sifat kelelakian dan rasa cinta, secara sembunyi ataupun terang-terangan.
Akan tetapi, sebagian laki-laki tidak berani menunjukan sifat ini secara terang-terangan. Mereka menyembunyikan sifat kelelakian tersebut karena masih menganggapnya sebagai aib. Mereka tidak sadar, dengan menyembunyikan sifat itu akan menghilangkan sifat kelelakian, keberanian, dan terus-terang. Mereka mencari tirai dan bersembunyi di baliknya. Allah sesungguhnya mengatahui prilakunya. Sementara mereka lebih memilih takut pada manusia dan tidak takut pada Allah SWT.”
Bung Karno secara terus terang mengakui hubungan asmaranya. Sebagai seorang laki-laki, dia terus terang bahwa mencintai dan tergoda dengan kecantikan perempuan adalah suatu hal yang lumrah dan manusiawi. Bung Karno tidak mau berpura-pura baik di hadapan manusia, karena Tuhan sejatinya lebih mengetahui apa yang kita kerjakan. Sehingga Putra Sang Fajar juga tidak perlu repot-repot berlindung di balik agama dan sunnah Rasul untuk membenarkan hubungan asmaranya.