Al-Quran dan Nabi Muhammad Merespon Blasphemy

Al-Quran dan Nabi Muhammad Merespon Blasphemy

Penembakan Charlie Hebdo memicu kecaman dari dunia internasional. Bagaimana sesungguhnya Islam memandang blasphemy?

Al-Quran dan Nabi Muhammad Merespon Blasphemy

Persoalan tentang hal-hal yang dianggap menghujat simbol-simbol sakral agama (blasphemy) tidaklah baru dalam sejarah Islam. Dalam tiga dekade mutakhir, umat Islam sudah beberapa kali mengalaminya. Di antara hal itu yang kemudian menjadi isu global, misalnya, kasus Salman Rushdie dengan Satanic Verses-nya, kartun Danish di surat kabar Denmark Jyllands-Postenfilm Innocence of Muslims, gerakan pembakaran al-Quran di Amerika, hingga yang terakhir satir-satir di majalah Perancis, Charlie Hebdo.

Terhadap hal-hal yang dianggap blasphemy itu, respon dari umat Islam kontemporer cukup beragam: dari yang diam tak tahu-menahu (karena tak baca berita), tahu tapi mengabaikannya (karena merasa itu urusan nun jauh di sana), menggelar aksi protes damai, fatwa mati atau ancaman pembunuhan, hingga membunuh betulan. Dan setelah terjadi pembunuhan, segeralah mengemuka debat atau diskusi tentang siapa yang paling bertanggungjawab terhadap hal itu; apakah hal itu merepresentasikan Islam (atau, persisnya, orang-orang Islam); apakah ajaran Islam bisa kompatibel dengan free speech yang menjadi nilai dasar demokrasi; apakah Islam mengajarkan pembunuhan terhadap pelaku blashpemy; dan sebagainya.

Ada beberapa orang yang menghubung-hubungkan kasus-kasus itu dengan Islam karena pelaku kriminalnya memang membawa simbol-simbol Islam (dengan bendera yang mengandung syahadat, misalnya, atau meneriakkan takbir, atau, seperti diberitakan dalam kasus Charlie Hebdo, mereka yang membunuh itu mendaku membalas dendam atas nama Muhammad). Bahkan, pengasosiasian itu implisit disetujui oleh beberapa Muslim di sini, di negeri ini, dengan tanpa rasa bersalah dan malah bangga menyatakan, antara lain, bahwa hukuman mati terhadap penghina Nabi itu benar, atau bahkan membuat alibi “salah situ yang mulai memprovokasi.” Jadi, argumen Islamofobia yang mengidentikkan Islam dengan pembunuhan karikaturis yang dianggap menghina Nabi itu telah dikonfirmasi oleh beberapa Muslim itu.

Mayoritas orang Islam kini, sejauh yang saya baca dalam berita-berita, menentang tindakan pembunuhan terhadap mereka yang melakukan blasphemy terhadap simbol-simbol suci Islam.  Dan memang, terdapat secercah kesan, para jubir komunitas Islam khusunya di Barat mesti terus berulang kali menyatakan ke publik Barat bahwa mereka yang membunuh itu sangat minoritas dalam Islam, sehingga tak merepresentasikan Islam (atau, persisnya, umat Islam). Jenis respon lainnya, mereka yang membunuh itu adalah ekstremis, radikal, teroris, dan istilah-istilah lain yang senada, sehingga tak usah disangkut-pautkan dengan agama (karena, sering dikatakan, terrorism has no religion, terorisme tak punya agama). Berbagai jenis respon lain dapat Anda temui di artikel-artikel hingga status Facebook dan cuitan-cuitan di Twitter. Di antaranya ada yang reaktif-apologetis (dan tidak ada yang salah dengan reaktif-apologetis selama ia proporsional), tapi juga ada yang perlu dihayati, terutama tentang standar ganda dalam penerapan free speech dan pengasosiasian terorisme kepada agama tertentu, bukan kepada tindakan kriminalnya.

***

Di atas segalanya,  persoalan Islam dan blasphemy ini mesti mendapat perhatian khusus dari mereka yang peduli pada agama yang nabinya, sering dikatakan, diutus untuk menebar rahmat bagi semesta ini. Yakni, dengan menentukan kerangka utuh sebagai cara pandang dalam merespons blasphemy. Sebab, kasus-kasus seperti di atas bukan mustahil akan terjadi lagi di kemudian hari. Tanpa kerangka pikir yang jelas, respons umat Islam akan terus menerus reaktif dan apologetis. Selain itu, kita kini hidup di era ketika mayoritas negara modern dikelola dengan sistem demokrasi, dengan paket-paketnya termasuk kebebasan berekspresi. Yang kadang menjadi hambatan dalam diskusi isu ini ialah: para ulama masa kini agak kesulitan untuk menemukan presedennya dalam literatur klasik Islam, karena para ulama pra-modern belum mengenal ide demokrasi, hal mana ruang kritik terhadap kekuasaan mesti dijaga hak hidupnya; sementara daulah-daulah Islam dulu teokratis, hal mana simbol agama adalah sekaligus simbol negara sehingga menghina simbol agama adalah sama dengan pengumuman perang terhadap negara.

Juga, pada kenyataannya, terdapat sejumlah tafsir dengan berdasar pada hadis-hadis tertentu yang ternisbat pada Nabi atau pandangan ulama lampau yang menjustifikasi hukuman mati terhadap pelaku blasphemy. Ada, misalnya, karya dari yang disebut-sebut sebagai “Syaikhul-Islam”, yakni Ibn Taimiyah (1263-1328), berjudul as-Sharim al-Maslul ‘ala Syatim ar-Rasul (Pedang Terhunus bagi Penghina Rasul). Karya-karya lain dari ulama mazhab lain, seperti as-Syifa karya al-Qadhi ‘Iyadh (1083-1149) misalnya, juga mengandung isi yang senada. Dalam karya-karya itu terkandung berbagai dalil baik hadis maupun himpunan pendapat ulama klasik yang memberi legitimasi terhadap hukuman mati bagi penghina Nabi Muhammad.

Bila Anda termasuk yang percaya bahwa tindakan seseorang dipengaruhi, sedikit atau banyak, oleh ajaran yang ia terima atau buku yang ia baca, maka bisa dikatakan bahwa para pelaku pembunuhan terhadap pembuat blasphemy itu termotivasi, sedikit atau banyak, oleh buku atau tafsir keislaman yang ia baca. Di titik ini, tindakan teror terhadap blasphemy bisa dinisbahkan pada Islam dalam taraf tertentu (terutama jika dalil-dalil yang dibangun dalam tafsir-tafsir itu dimasukkan sebagai bagian dari, atau turut merepresentasikan, Islam).

Oleh karena itu, bila Anda tergolong orang yang menyepakati bahwa pembunuhan terhadap pelaku blasphemy tidak dibenarkan dalam Islam, tiada cara lain kecuali meninjau ulang pandangan dari para ulama itu. Tulisan ini adalah bagian dari upaya ini, yakni untuk mengkaji kembali, apakah benar hukuman mati terhadap penghina Nabi diajarkan oleh Islam? (Tulisan ini secara khusus tertujukan kepada mereka yang menghendaki harus ada dalil teks dari al-Quran dan Sunnah bagi setiap tindakan yang mengatasnamakan Islam.)

***

Bisa kita mulai dengan memancangkan tiga hal mendasar yang disepakati oleh semua mazhab dalam Islam. Satu, poros syariat Islam adalah keadilan. Dua, Nabi Muhammad diutus sebagai rahmat, bukan penebar teror dan laknat. Tiga, al-Quran adalah sumber primer Islam. Ketiga hal ini disepakati sebagai premis dasar, meski ada perbedaan dalam detil-detil tafsirnya menanggapi kasus-kasus tertentu. Namun demikian, yang penting digariskan ialah bahwa segala produk hukum atau etika Islam harus dirumuskan dalam sorotan ketiga hal dasar itu.

Di antara bentuk keadilan dalam Islam, sebagaimana disebut dalam al-Quran, ialah pembalasan setimpal (QS 2:194). Allah tidak menyukai mereka yang melampaui batas (i’tida’) dalam melakukan pembalasan (QS 2:190) dan mereka yang melampaui batas (mu’tadin) itu justru akan mendapat azab yang pedih (QS 2:178 & 5:94). Juga diperintahkan, jangan sampai kebencianmu pada suatu kaum membuatmu berlaku tak adil (QS 5:8). Siapa yang membunuh tanpa hak adalah seperti membunuh semua manusia (QS 5:32). Dalam soal hukuman kisas misalnya, justru dikatakan bahwa memaafkan pembunuh dengan tidak menerapkan kisas kepadanya adalah bentuk kebajikan dan manifestasi rahmat (QS 2:178). Menurut tafsir mayoritas ulama kini (seperti tercermin dalam surat terbuka terhadap pemimpin ISIS, Abu Bakr al-Baghdadi, yang ditandatangani lebih dari seratus ulama Islam dunia masa kini [bisa dikunjungi situs webnya di alamat www.lettertobaghdadi.com]), semua “ayat-ayat perang” dan pembunuhan dalam al-Quran harus dibaca dalam terang ayat-ayat pembalasan setimpal dan risalah Islam sebagai agama rahmat. “Ayat-ayat perang” itu diletakkan secara inferior dan kondisional di hadapan “ayat-ayat rahmat” yang superior dan universal.

Dengan ini sebenarnya sudah jelas, membunuh penghina Nabi, apalagi tanpa didahului pengadilan, adalah bentuk melampaui batas. Itu kezaliman. (Sebenarnya tentang ini dengan berdasar akal sehat saja cukup. Hanya saja, sekali lagi, tulisan ini menyasar mereka yang mengharuskan ada dalil ayat atau hadis untuk setiap sikap yang bisa dikategorikan Islami.)

Selain zalim, tindakan teror juga merugikan komunitas sendiri: bukannya membuat orang simpati, tindakan teror justru membuat orang yang tak kenal Nabi makin takut dengan figur Nabi dan membuat upaya sungguh-sungguh dari mereka yang ingin mengikis Islamofobia di Barat mundur puluhan langkah. QS 3:159 menyatakan, “Sekira kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauh dari sekelilingmu.”

***

Waba’du, agar lebih meyakinkan, apa yang sebenarnya eksplisit dikatakan al-Quran tentang penghina Nabi? Satu fakta penting yang mesti dicatat: al-Quran sama sekali tidak menyatakan hukuman mati bagi penghina Nabi!

Al-Quran telah merekam berbagai hujatan kepada Nabi, yang bisa disebut pula sebagai blasphemy, atau dalam istilah al-Quran, istihza’ (QS 36:30). Dari berbagai istihza’ itu, Nabi antara lain disebut sebagai orang gila atau majnun (QS 15:6), orang yang kena sihir (QS 17:47), mengada-ada (QS 16:101), dan sebagainya. Pun demikian, al-Quran justru menyatakan kepada muslimin untuk tak membalasnya dengan, misalnya, memaki sesembahan kepercayaan lain, “karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas pengetahuan” (QS 6:108). Dengan kata lain, al-Quran mengajarkan untuk tak membalas makian dan balik memaki, karena ia akan menjadi saling maki tak berujung dan justru menista simbol sakral Islam sendiri.

Lalu, bagaimana al-Quran merespons hujatan terhadap Nabi? QS 4:140 menyatakan, “Allah telah menurunkan kepadamu, bahwa apabila kamu dengar ayat-ayat Allah diingkari dan diolok-olok maka jangan kamu duduk beserta mereka, hingga mereka memasuki pembicaraan yang lain, karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka.” Ayat yang senada, QS 6:68 menyatakan, “Bila kamu melihat orang memperolok-olokkan ayat-ayat Kami, maka tinggalkan mereka sehingga mereka membicarakan hal lain.” (Catatan: Ini ayat Madaniyah, sehingga tak ada keberatan terhadap perlunya membedakan konteks saat Islam saat masih minoritas atau mayoritas.)

Jadi jelas, al-Quran tidak memerintahkan pembunuhan terhadap mereka yang memperolok-olok Nabi. Jika betul al-Quran menjatuhkan vonis hukuman mati terhadap penghina Nabi, tentulah akan ada bunyi “bunuhlah” dalam ayat itu. Faktanya tidak demikian, tidak seperti dalam “ayat-ayat perang”. Malahan, al-Quran mengajarkan perlawanan pasif, yakni dengan diam, pergi, dan baru bercengkerama lagi dengan mereka setelah mereka ganti topik pembicaraan yang lain. Sikap ini dalam bahasa al-Quran disebut sikap i’radh (berpaling diri).

Bila sikap ini dibawa dalam perspektif yang lebih jauh, implisit di sana ada peringatan bahwa saat olok-olok terhadap Nabi ditanggapi (atau dalam bahasa anak sekarang: dikasih panggung), maka sorotan publik terhadap olok-olok itu makin bertambah, dan secara tak langsung meningkatkan daya tarik olok-olok itu. Tampak kini begitulah paradoks era sosial media: semakin sesuatu lantang dilarang, semakin ia bikin orang penasaran ingin tahu. Mereka yang ingin menonton Innocence of Muslims atau ingin tahu seperti apa karikatur yang dibuat Charlie Hebdo yang disebut-sebut menghina Nabi itu makin bertambah, mungkin berlipat-lipat, justru setelah terjadi aksi teror terhadap pembikinnya. Jadi, pelaku teror punya sumbangsih terhadap sorotan kamera dan media yang menuju ke sana, dan membuatnya semakin tersiar secara internasional.

***

Begitulah yang diajarkan al-Quran. Lalu apa yang dikatakan hadis tentang blasphemy (mengingat hadis merekam jejak sejarah Nabi)? Berpagi-pagi perlu diulang kembali di sini premis dasar di atas: al-Quran adalah sumber primer. Karena itu, hadis adalah sumber sekunder. Sekunder itu, kita tahu, ya di bawah primer. Artinya, hadis tidak bisa melampaui al-Quran.

Hal ini penting untuk ditekankan karena ada sejumlah tafsir yang, dengan berdasar satu-dua hadis, mengabaikan sejumlah ayat al-Quran. Selain soal hukuman blasphemy yang dibahas di sini, contoh yang layak dihayati adalah soal hukuman murtad (keluar dari agama Islam). Al-Quran sama sekali tidak menyatakan hukuman mati bagi yang murtad. Ini justru akan bertentangan dengan prinsip dasar universal yang digariskan al-Quran (tiada paksaan dalam agama).

Karena tidak ada vonis hukuman mati dalam al-Quran terhadap pencaci Nabi, para pendukung pembunuhan terhadap pelaku blasphemy membangun argumen kurang lebih demikian: orang-orang yang mengolok-olok Nabi, atau mendukung para pengolok Nabi, dihukumi kafir (dengan dalil QS 9:65-66); maka orang-orang itu telah murtad dan karena, berdasar hadis sahih riwayat Bukhari, hukuman murtad adalah dibunuh, maka yang mengolok-olok Nabi itu dibunuh.

Argumen itu diperkuat dengan dalil dari sebuah hadis tentang budak perempuan pencaci Nabi, dengan riwayat dari Ibn Abbas dan direkam dalam beberapa kitab hadis, antara lain, Abu Dawud, an-Nasa’i, dan al-Baihaqi. Hadis itu bercerita—saya parafrasekan—begini: Ada seorang budak perempuan ummu walad yang sering mencaci Nabi. Tuan budak itu, seorang lelaki buta, memperingatkan budak itu untuk menghentikan caciannya. Tapi budak itu tetap mencaci. Hingga pada suatu malam, saat budak itu sedang mencaci Nabi, sang tuan yang buta mengambil belati lalu menusuk perut budak itu, hingga robek dan janin yang dikandungnya keluar. Esok harinya, kejadian itu diadukan kepada Nabi. Singkat cerita, bagaimana tanggapan Nabi terhadap kejadian itu? Dinyatakan dalam hadis itu bahwa Nabi menyatakan, “Isyhadu anna damaha hadarun (Saksikanlah bahwa darahnya sia-sia)”—maksudnya, budak itu halal darahnya, boleh dibunuh. Argumen inilah yang menjadi dalil Ibn Taimiyah dalam as-Sharim al-Maslul tentang vonis hukuman mati bagi penghina Nabi. Bahkan lebih jauh, Ibn Taimiyah mendaku bahwa vonis hukuman mati bagi penghina Nabi adalah ijmak (konsensus) para ulama. Ibn Taimiyah juga menukil pandangan Imam Ahmad bahwa vonis hukuman mati itu dilakukan tanpa perlu menyuruh pencaci Nabi bertaubat; alias langsung dibunuh.

Bila Anda seorang Muslim yang meyakini bahwa agama Islam mengajarkan umatnya untuk berpikir dan menggunakan akalnya, maka gunakanlah akal itu untuk bertanya tentang hadis itu: Apakah betul Nabi menyetujui perilaku pembunuhan terhadap budak pencaci itu? Apakah Nabi tidak melakukan prosedur pembalasan setimpal seperti yang digariskan al-Quran? Atau mengapa tidak ada pengadilan dulu (misalnya dengan menghadirkan bukti-bukti) dan malah membiarkan si pembunuh? Mengapa Nabi tidak memerintahkan kepada si pembunuh untuk menyuruh budaknya bertemu Nabi dulu, untuk meminta maaf, sebab Nabi boleh jadi akan memaafkannya? Seperti itukah ajaran rahmat? Pertanyaan lain bisa Anda teruskan sendiri.

Persoalan penting yang patut jadi problem di sini ialah: bagaimana bisa dengan berdasar satu hadis lalu tampak menegasikan ajaran-ajaran rahmat yang bertebaran dalam ayat dan hadis lainnya? Bukankah banyak dalam hadis-hadis lain diterangkan bahwa Nabi itu adalah orang yang adil, yang pemalu, yang pemaaf, yang membalas keburukan dengan kebaikan, dan seterusnya? Bukankah itu pula akhlak yang diperintahkan Nabi sendiri untuk diikuti umatnya?

Juga, apakah betul setiap pencaci Nabi dibunuh oleh Nabi sendiri? Mari kontraskan dengan beberapa data sejarah berikut (dalam mengambil data sejarah berikut saya menukil dari keterangan yang ditulis Prof. Quraish Shihab dalam bukunya Membaca Sirah Nabi Muhammad Saw dalam Sorotan al-Quran dan Hadits-Hadits Shahih [2011]).

Ambil, misalnya, perlakuan Nabi terhadap tawanan Perang Badar. Ada 70 tawanan saat itu dan hanya dua yang dijatuhi hukuman mati, yakni ‘Uqbah ibn Abi al-Mu’ith dan an-Nadhr ibn al-Harits. Vonis hukuman mati itu karena, tulis Prof. Quraish, “mereka telah melampaui batas dan dapat menjadi ancaman bagi kaum Muslim, khususnya pada saat itu” (h. 579). Penting di sini untuk melihat konteks zaman itu, yakni bahwa saat itu belum ada semacam konstitusi atau hukum tertulis yang mengatur hukum perang antarsuku atau negara. Yang ada ialah hukum tak tertulis: para tawanan lelaki secara umum dibunuh, sebagian dibebaskan dengan tebusan. Ini hal yang lazim zaman itu dan terjadi tak hanya di Jazirah Arab saja. Tapi dalam Islam, sebagaimana dinyatakan QS 47:4, para tawanan bisa dibebaskan dengan tebusan atau tanpa tebusan (faimma mannan ba’du waimma fida’an). Dari para tawanan Badar itu, ada yang dibebaskan dengan tebusan (di antaranya ada al-‘Abbas, paman Nabi sendiri); ada yang dibebaskan tanpa tebusan (di antaranya ada Abu ‘Azza yang sangat miskin, juga Abu al-‘Ash, menantu Nabi, suami putri beliau Zainab). Ini kasus sudah memerangi Nabi dan umat Islam saat itu, bukan sekedar mencaci Nabi. Kenyataannya, dua yang dihukum mati, sedang sebagian lain dibebaskan, bahkan dengan tanpa tebusan.

Atau, bila kasus Perang Badar dirasa kurang kuat sebagai argumen karena dipandang saat itu umat Islam relatif belum memiliki posisi tawar kekuasaan yang besar, baiklah kita baca sejarah Fathu Makkah, yang menurut versi masyhur terjadi pada 8 H. Dalam Fathu Makkah, Nabi dan Muslimin saat itu sudah digdaya, dengan kekuatan pasukan 10 ribu orang, sampai-sampai Abu Sufyan dan para pendukungnya di Mekkah gentar, tak berani maju perang. Kita tahu, apa kejahatan yang pernah dilakukan Abu Sufyan dan pendukungnya terhadap Nabi dan muslimin Mekkah sebelumnya: menganiaya muslimin hingga membuat mereka mesti meninggalkan kampungnya. Lalu apakah Nabi hendak membalas dendam pada orang-orang Mekkah?

Yang terjadi ialah Nabi memberi jaminan keamanan kepada mereka yang masuk ke lingkunan Kakbah, masuk ke rumah Abu Sufyan, atau berada dalam rumahnya dan menutup pintu. Selanjutnya, setelah pasukan Nabi masuk ke Mekkah, dengan mengalami sedikit perlawanan yang tak sulit diatasi, Nabi justu memberikan amnesti umum. Disabdakannya, “La tatsriba ‘alaykum al-yauma, yaghfiru-Llahu lakum, idzhabu fa antum at-thulaqa’ (Pada hari ini tak ada cercaan kepada kalian; mudah-mudahan Allah mengampuni kalian. Pergilah, kalian kini adalah orang-orang yang bebas).” Dalam suatu riwayat dari Imam Ahmad dinyatakan bahwa saat itu turun QS 16:126 yang menyatakan boleh memberi hukuman setimpal, tapi sabar itu lebih baik. Dan sabda Nabi tentang ayat itu, “Nashbir wala nu’aqib (Kita bersabar, dan kita tidak menghukum).”

Dari sekian banyak orang Mekkah itu, ada beberapa yang ditawan dan diberi vonis mati; sembilan pria dan delapan wanita. Dari yang ditawan itu, tiga yang dieksekusi. Sisanya dimaafkan. Di antara yang sebelumnya divonis mati lalu dimaafkan itu ialah: Abdullah ibn Sa’d ibn Abi Sarh, Hind binti ‘Utbah (yang memutilasi Hamzah, paman Nabi, dalam Perang Uhud), Wahsyi ibn Harb (yang membunuh Hamzah), ‘Ikrimah ibn Abu Jahal, dan Ka’ab ibn Zuhair. [Catatan: Ka’ab ibn Zuhair ini seorang penyair ulung. Bapaknya, Zuhair ibn Abi Sulma, termasuk di antara tujuh penyair besar Arab Jahili yang syairnya digantungkan di Kakbah (al-mu’allaqat). Ka’ab ibn Zuhair ini nantinya menggubah syair pujian sebagai permintaan maaf kepada Nabi. Lalu Nabi menghadiahi Ka’ab selimut lurik (burdah)—syair pujian Ka’ab ibn Zuhair ini di kemudian hari menjadi inspirasi syair-syair madah Nabawi; dan beberapa dari syair madah Nabawi itu dinamai syair Burdah).

***

Lagi, masih ada satu isu yang cukup sering dinukil sebagai dalil hukuman mati bagi pencaci Nabi, yakni kasus eksekusi Ka’ab ibn al-Asyraf. Ia  seorang tokoh dari Yahudi Bani an-Nadhir dan penyair berpengaruh yang sering menggubah syair-syair yang mencela Nabi, juga syair-syair cabul untuk melecehkan istri sahabat-sahabat Nabi. Dalam lanskap Arab zaman Nabi, syair memiliki fungsi setara media massa zaman ini, bahkan lebih. Syair pada zaman itu bisa menjadi media propaganda, ditularkan dari mulut ke mulut, dihafal banyak orang, bahkan kadang menjadi peribahasa. Sudah menjadi kebiasaan suku-suku Arab zaman itu, sebelum berperang mereka beradu syair olok-olokan (hija’) antar para penyair kebanggan suku mereka masing-masing. Begitu pentingnya posisi penyair zaman itu, hingga dalam al-Quran ada satu surah khusus bernama as-Syu’ara’ (Para Penyair). Syair, di zaman itu, bisa menentukan jadi-tidaknya sebuah perang dilangsungkan.

Pertanyaannya: apakah Ka’ab dieksekusi mati karena syair-syairnya yang melecehkan Nabi? Untuk menanggapi kritik orientalis yang menilai eksekusi Nabi terhadap Ka’ab melanggar ketentuan perang, Prof. Quraish Shihab di halaman 622-623, dengan menukil dari ‘Abbas Mahmud al-‘Aqqad dalam ‘Abqariyyat Muhammad, menulis:

“…para pengkritik itu sengaja melupakan pelanggaran Ka’ab. Mereka yang melakukan kegiatan yang lebih ringan daripada Ka’ab pun dapat dikenai—sesuai hukum internasional dewasa ini—dengan hukuman mati. Ka’ab bukan sekadar tidak memenuhi perjanjian yang telah disepakati melalui Piagam Madinah, tetapi dia berkhianat dengan bekerja sama dengan musuh serta mengajaknya melakukan makar, di samping kegiatan pelecehan dan sikap amoral terhadap orang-orang yang terhormat…. Perlu dicatat bahwa Ka’ab, bahkan orang-orang dekatnya, menyadari sepenuhnya sikap anti-Islam yang diambilnya. Menyadari juga bahwa Nabi saw. telah mengumumkan ‘perang terhadapnya’ melalui penugasa beliau kepada penyair Muslim, Hassan ibn Tsabit, untuk menggubah syair-syair yang mengecam Ka’ab. Di sisi lain, perlu diingat bahwa kasus ini tidak dapat dijadikan alasan untuk melakukan teror atau pembunuhan terhadap siapapun, lebih-lebih di masa damai.”

Jumlah perang (ghazwah) yang dilakukan Nabi dalam satu riwayat ada lebih dari 20 kali; menurut riwayat lain ada belasan kali—tergantung pada mana yang dikategorikan perang maupun bukan. Sedang penugasan militer (sariyah) oleh Nabi terhitung 70 kali menurut riwayat yang maksimal; 38 kali menurut riwayat yang minimal. Namun para sejarawan hampir sepakat bahwa keterlibatan riil Nabi dalam pertempuran tak lebih dari 9 kali. Ini semua terjadi dalam rentang waktu 8 tahun, mulai dari Badar pada 2 H hingga Tabuk pada 9 H. Jumlah total korban dari kedua belah pihak, Muslimin dan lawannya, ada sekitar seribuan orang. Jumlah itu akan berkurang banyak bila angka dalam kasus Bani Quraizhah, yang dikatakan berjumlah 700 orang itu, dinyatakan berlebih-lebihan atau memang tak valid. Karena itu, beberapa pakar, seperti Muhammad al-Ghazali misalnya, menyatakan bahwa jumlah korban dalam peperangan yang dilakukan Nabi sepanjang tugas risalahnya hanya sekitar 200 orang. (Baca dalam Quraish Shihab, Membaca Sirah Nabi, h. 1028-1031)

Namun demikian, jumlah yang sudah disusutkan ke taraf minimalis itu akan kembali menggelembung berlipat-lipat bila hukuman mati terhadap setiap penghina Nabi benar-benar dilakukan oleh Nabi, mengingat jumlah mereka yang pernah melecehkan Nabi di zamannya ada begitu banyaknya. Kenyataannya justru banyak dari mereka yang mendapat pemaafan dari Nabi.

***

‘Ala kulli hal, satu hal terakhir yang tak kalah penting ialah: dalam merespon blasphemy, hendaklah umat Islam menghitung-hitung cermat dampak dari respons itu. Pelajaran tentang ini terdapat dalam hikmah dari sebuah hadis yang cukup dikenal para pelajar Islam pemula karena sering tercantum di bagian awal buku daras fiqh, di bab thaharah (bersuci), yakni hadis dari Shahih Muslim, teriwayat dari Anas ibn Malik, tentang orang A’rabiy (Arab badui yang biasanya berwatak kasar) yang kencing di dalam masjid.

Anda tahu, kencing di masjid adalah penghinaan terhadap tempat sakral umat Islam. Dan masjid di zaman Nabi belum ada toiletnya, juga belum berubin, masih berlantaikan tanah. Diceritakan dalam hadis itu, para Sahabat hendak menghardik si badui itu. Tapi Nabi mencegah mereka dan sabdanya: “Jangan! Biarkan ia (menyelesaikan kencingnya). Cukuplah siram air kencing itu dengan seember air. Kalian diutus untuk memudahkan, bukan mempersulit” (Da’uhu wahariqu ‘ala baulihi sajlan min ma’in fainnama bu’itstum muyassirin walam tub’atsu mu’assirin)

Hadis itu ada dalam buku fikih dan dimaksudkan sebagai dalil bagi hal sederhana saja: bahwa air itu bisa untuk mensucikan najis. Pun demikian, ia juga mengandung hikmah: kalau saja si badui itu langsung dihardik dan ia lari, maka air kencingnya akan nyiprat dan ndelewer ke mana-mana. Pesannya: dalam merespons suatu keburukan, hitung-hitunglah dampak dari respons itu; apakah menghentikan atau justru menambah parah.

Semoga yang demikian ini, juga yang telah memanjang-lebar diuraikan di atas, adalah yang dimaksudkan oleh Nabi Muhammad, alayhi afdhalus-shalati wat-taslim.

Wallahu a’la, wa a’lam, wa ahkam.

*) Azis Anwar Fachruddin, peneliti CRCS UGM

 

_________________________________

Hasyiyah:

Meski vonis mati terhadap penghina Nabi tidak dibenarkan, dengan berdasar argumen-argumen di atas, ini tak kemudian berarti bahwa orang yang melecehkan simbol-simbol sakral agama dibiarkan begitu saja. Free speech mestilah memiliki batas, sebagaimana kebebasan seseorang dibatasi oleh kebebasan orang lain.

Ide tentang free speech itu didasarkan pada satu asumsi: tidak ada orang yang terbebas dari kesalahan di muka bumi ini. Karena itu, dibutuhkan orang-orang lain dengan berbagai latar belakang dan sudut pandang untuk mengoreksi kesalahannya. Haruslah ada berbagi ide dan gagasan untuk merumuskan apa yang terbaik bagi kehidupan bersama. Hal ini hanya mungkin terjadi bila setiap pihak diberi hak untuk bicara mengutarakan gagasannya. Juga, free speech harus ada, sebab pembungkaman pendapat menyebabkan tiadanya kontrol kekuasaan, baik politik maupun keagamaan, sehingga pemegang kuasa bisa melakukan manipulasi kuasanya untuk bertindak sewenang-wenang.

Dalam kaitannya dengan kehidupan beragama, free speech memberikan berkah, pertama, bagi pendewasaan iman. Sebab, dengan dibukanya kran kebebasan mengutarakan pendapat, berbagai pandangan yang sebelumnya tak terbayangkan dalam benak orang beriman muncul ke permukaan, melancarkan kritik, dan orang beriman itu tertantang untuk menjawab kritik itu. Di sini, terjadilah sofistikasi argumen keimanan. Iman menjadi tak sekedar percaya buta, tapi diyakini dengan kesadaran penuh. Itu menyehatkan, sebab iman yang percaya diri tak khawatir akan kritik-kritik yang membawa ragu.

Kedua, terjaminnya free speech membantu proses moderasi dari pandangan-pandangan ekstrem. Dengan munculnya pandangan ekstrem ke publik, maka ia akan ditantang oleh beragam pendapat dari publik. Lambat laun, yang ekstrem itu akan bergerak ke tengah, menyadari bahwa gagasannya sulit diterima masyarakat, atau minimal ia memelankan proses ideologisasinya—hal inilah yang terjadi pada gerakan-gerakan Islam setelah ia masuk gelanggang politik praktis. Moderasi itu tak terjadi bila pandangan ekstrem itu dibungkam, disumbat penyalurannya, maka ia akan cenderung mencari cara lain, bisa dengan menyelundup di bawah tanah, misalnya, atau dengan jalan kekerasan.

Ketiga, free speech memberi berkah bagi saudara seiman Anda yang menjadi minoritas di negara lain sehingga mereka bisa mengekspresikan keyakinan dan gagasannya di muka publik, dengan hak yang dilindungi dan setara dengan warga negara lain.

Pun demikian, meski free speech memiliki potensi positif bagi perkembangan ide dan pemberian ruang untuk kontestasi gagasan, ia bisa merembeskan empedu: orang-orang yang tak bisa memfungsikannya dengan baik dapat berbicara seenaknya dengan mengatasnamakan free speech. Dalam beberapa detil kasus tertentu, batas-batas free speech itu memang tak mudah digariskan. Misalnya, apakah ada hak untuk melakukan blasphemy dalam konteks free speech? Apakah boleh menebar rasisme? Apakah negara-negara Barat menoleransi antisemitisme atau Nazisme atas dasar free speech? Apakah propaganda yang menyulut aksi teror seperti kampanye ISIS di negeri ini bisa diberi ruang? Apakah free speech menoleransi hate speech? Dan seterusnya. Saya tak mendalami tema ini secara khusus. Silakan para pakar hak asasi mengulasnya. Yang kita harapkan, tentu, adalah konsistensi, bukan standar ganda.