Al-Qur’an dan ‘Dokumen Sejarah’

Al-Qur’an dan ‘Dokumen Sejarah’

Al-Qur’an dan ‘Dokumen Sejarah’

Tidak mungkin kita bisa memahami al-Qur’an dengan baik tanpa memahami sejarah. Paling tidak ada dua aspek sejarah tentang al-Qur’an yang harus kita pahami. Pertama, al-Qur’an sendiri memposisikan dirinya sebagai ‘dokumen sejarah’ dengan banyak menceritakan kisah umat sebelum Nabi Muhammad. Bahkan satu surat dinamai khusus sebagai al-Qashash, yang berisi berbagai kisah sejarah. Istilah al-Qashash dengan berbagai varian dan konteknya juga kita temukan dalam banyak ayat, di antaranya QS 28:25; 16: 117-118; 40:78; 4: 163-164; 12:3-5; 7:100-101; 11:120 dan lain sebagainya.

Pernah saya jelaskan dalam buku saya Tafsir al-Qur’an di Medsos bahwa ada kisah dalam al-Quran yang sebelumnya sudah diceritakan di dalam Bibel, namun detil ceritanya berbeda. Ada pula tokoh yang di dalam Bibel diceritakan dengan negatif seperti Daud dan Ya’kub, tapi dalam al-Quran diceritakan dengan positif.

Ada pula tokoh yang tidak ada dalam Bibel seperti Samiri, dan ada pula yang peranannya dalam Bibel tidak begitu menonjol tapi dalam al-Quran diberi peran yang cukup besar seperti kisah Nabi Harun. Yang jelas kisah Musa merupakan kisah yang paling banyak diceritakan dalam al-Quran dan Kisah Yusuf menjadi kisah yang paling indah dan paling lengkap terkumpul dalam satu surah.

Ada sementara pakar yang meragukan kenyataan kisah-kisah dalam al-Quran. Apakah benar dalam sejarah terjadi banjir Nuh yang dahsyat itu? Apa benar ada tokoh bernama Balqis? Al-Quran jelas bukan buku sejarah, ini adalah kitab petunjuk. Kalau ia berkisah tentang cerita terdahulu tentu titik tekannya ada pada pesan moralnya.

Lagipula tuduhan al-Quran hanya memuat dongeng itu sudah dilontarkan sejak dulu. “Orang-orang kafir itu berkata, “Al-Quran ini tidak lain hanyalah dongengan orang-orang dahulu” (QS al-An’am : 26). Hal ini dibantah dengan jelas oleh Allah: “Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al-Quran itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.” (Qs Yusuf: 111)

Kenapa al-Quran menggunakan pendekatan bertutur lewat kisah, bahkan lebih banyak ayat mengenai kisah sejarah ketimbang ayat tentang hukum? Itu karena pada dasarnya manusia senang mendengar, membaca dan menyaksikan kisah. Betapa banyak novel yang telah ditulis. Lihat saja program tv yang full dengan kisah sinetron. Ataupun seringkali orang tua dan guru menceritakan legenda cerita rakyat untuk menyampaikan nasehat atau peringatannya kepada kita. Kisah adalah salah satu medium pengajaran yang paling efektif.

Syekh Manna’ al-Qathhan dalam kitabnya Mabahits fi ‘Ulumil Qur’an menjelaskan mengenai seluk beluk topik Qashash al-Qur’an ini (halaman 316-324) dengan terang benderang. Silakan merujuk ke kitab ini.

Kedua, al-Qur’an juga merupakan ‘dokumen sejarah’ dalam arti ia memiliki konteks kesejarahan yang melatarbelakangi turunnya sejumlah ayat dalam al-Qur’an. Para ulama membahas topik ini dengan istilah Asbabun Nuzul (sebab-sebab turunnya ayat al-Qur’an). Misalnya Imam Badruddin az-Zarkasyi memulai bahasan topik asbabun nuzul ini segera setelah menulis muqaddimah kitabnya al-Burhan fi ‘Ulumil Qur’an (jilid 1, halaman 22-35). Ini menunjukkan betapa pentingnya topik ini dan kita tidak bisa memahami al-Qur’an tanpa terlebuh dahulu menyelami kajian ini.

Al-Qur’an tidak turun di ruang hampa. Ayat-ayat yang turun di masa sebelum Nabi hijrah, dinamakan ayat-ayat Makkiyah. Yang tentu saja ayat Makkiyah memiliki karakter dan kandungan makna yang berbeda dengan ayat-ayat yang turun pasca hijrah dan dikategorikan sebagai ayat Madaniyah. Imam Suyuthi setelah menulis muqaddimah kitabnya Al-Itqan fi ‘Ulumil Qur’an segera mengupas topik Makki dan Madani ini (jilid 1 halaman 36-80). Sekali lagi ini menunjukkan betapa pentingnya memahami konteks kesejarahan turunnya ayat al-Qur’an.

Nah, pertanyaannya; apakah kita harus mengikuti konteks ‘kesejarahan’ turunnya ayat di atas atau kita harus mengaplikasikannya secara general? Kandungan moral-etis yang terdapat dalam kisah umat terdahulu maupun konteks turunnya ayat pada masa Nabi Muhammad tentu berlaku umum dan universal sampai akhir jaman. Namun kalau kita bicara dalam konteks hukum, para ulama menyusun kaidah penafsiran.

Misalnya, Syekh Manna’ al-Qathhan menulis:

إذا اتفق ما نزل مع السبب في العموم، أو اتفق معه في الخصوص، حمل العام على عمومه، والخاص على خصوصه

Jika telah disepakati bahwa ayat al-Qur’an itu turun dalam konteks umum, atau disepakati turun dalam konteks khusus, maka dibawalah makna umum ke dalam konteks umum, dan makna khusus ke dalam konteks khusus.

Dari kutipan di atas, kita bisa tegaskan bahwa memahami asbabun nuzul dan konteks turunnya ayat akan membuat kita paham apakah ayat ini turun dalam konteks peristiwa umum atau khusus. Saya kasih contoh: ayat-ayat yang turun dalam konteks perang (khusus), tidak bisa kita aplikasikan dalam konteks umum (kondisi normal alias damai). Kegagalan memahami ini bisa membuat anda jadi ISIS dan kelompok teroris lainnya. Bahaya banget kan?!

Syekh Manna’ al-Qathhan melanjutkan penjelasannya:

أما إذا كان السبب خاصا ونزلت الآية بصيغة العموم فقد اختلف الأصوليون: أتكون العبرة بعموم اللفظ أم بخصوص السبب؟

Adapun jika ayat yang turun dalam konteks khusus namun menggunakan redaksi yang umum, maka para ulama Ushul al-Fiqh berbeda pandangan: apakah yang dijadikan pegangan itu keumuman teks atau kekhususan konteks?

Jumhur ulama berpegang pada keumuman teks. Zamakhsyari dalam penafsiran surat Al-Humazah di kitab tafsirnya al-Kasyaf mengatakan bahwa surat ini diturunkan karena sebab khusus, namun ancaman hukuman yang tercakup di dalamnya jelas berlaku umum, yaitu mencakup semua orang yang berbuat kejahatan yang disebutkan. Ibnu Abbas pun mengatakakan bahwa ayat Li’an, yang turun pada Hilal bin Umayyah dan istrinya, kandungan hukumya berlaku umum, tidak hanya bagi Hilal dan istrinya saja.

Bagaimana kalau lafadhnya khusus ditujukan kepada Nabi? Para ulama melihat terlebuh dahulu apakah ada indikasi (qarinah) untuk Nabi saja atau untuk umatnya? Misalnya dalam QS at-Tahrim ayat 1 ditujukan kepada Nabi, tapi di ayat selanjutnya digunakan lafadh umum. Maka ini indikasi hukum yang dikandung ayat tersebut ditujukan juga untuk umat.

Namun ada kalanya ayat tersebut memang khusus untuk Nabi, khususnya dalam kaitan dengan tugas kenabian beliau. Misalnya ketika al-A’raf ayat 158 meminta Nabi mengumukan beliau sebagai Rasul. Tentu ini khusus untuk Nabi, karena mustahil semua orang boleh mengaku jadi Rasul. Begitu juga ayat yang menyebut Nabi diutus sebagai rahmatan lil alamin maka ini khusus untuk Nabi. Tapi pesan moralnya tentu juga berlaku untuk umatnya.

Terakhir, ada ayat al-Qur’an yang turun dalam konteks kesejarahan masa lalu dan kini sulit diaplikasikan karena dunia telah berubah, alias konteksnya pun berubah. Masihkah kita harus mengamalkannya sekarang? Contohnya adalah ayat perbudakan. Misalnya kebolehan menyetubuhi budak.

وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ إِلاعَلَى أَزْوَاجِهِمْ أوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ

“Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela.” (QS 23:5-6)

Bagaimana mau menerapkan ayat ini dalam konteks sekarang dimana perbudakan tidak ada lagi?

ISIS punya jawaban: ciptakan lagi perbudakan agar ayat al-Qur’an tetap berlaku. Tidak aneh kita membaca berota bagaimana banyak wanita dijadikan budak oleh ISIS. Apa kita mau seperti ini? Seolah memutar kembali jarum jam sejarah ke belakang. Bahaya banget kan!?

Maka di sinilah pentingnya penafsiran, dimana kita kembali pada pesan moral al-Qur’an yang justru hendak menghapus perbudakan 15 belas abad yang lampau. Kembali ke pesan moral-etis ini yang juga harus kita lakukan dalam menafsirkan al-Qur’an pada konteks relasi kita dengan ahlul kitab, yaitu Yahudi dan Nasrani, untuk konteks sekarang. Pesan ‘Rahmah’ menjadi petunjuk buat kita dalam memahami aplikasi ayat suci.

Kita tidak meninggalkan ayat al-Qur’an ketika mengatakan al-Qur’an sebagai ‘dokumen sejarah’. Justru kita hendak menegaskan bahwa mustahil memahami pesan moral-etis al-Qur’an tanpa memahami sejarah umat lalu dan sejarah turunnya ayat al-Qur’an itu sendiri. Mengatakan al-Qur’an sebagai ‘dokumen sejarah’ bukan menganggap al-Qur’an sebagai kisah dongeng yang harus ditinggalkan, tapi justru mengambil inti dari pesan al-Qur’an untuk diterapkan pada kondisi saat ini.

Tabik,

*) Nadirsyah Hosen; Rais Syuriah PCI Nahdlatul Ulama Australia – New Zealand dan Dosen Senior Monash Law School.