Al-Qahir: Khalifah yang Jadi Pengemis dan Dicongkel Kedua Matanya

Al-Qahir: Khalifah yang Jadi Pengemis dan Dicongkel Kedua Matanya

Begini sejarah Al-Qahir, khalifah yang hidupnya sengsara

Al-Qahir: Khalifah yang Jadi Pengemis dan Dicongkel Kedua Matanya

Setelah Khalifah ke-18 Abbasiyah, al-Muqtadir Billah, dipenggal kepalanya, maka dibai’atlah al-Qahir Billah sebagai Khalifah ke-19. Sayang, nasibnya pun berakhir tragis. Siapkan diri Anda, wahai pembaca yang budiman, untuk membaca lanjutan catatan ngaji sejarah politik Islam ini. Berat, sungguh berat membaca kekuasaan yang ditegakkan atas nama kitab suci tapi pelaksanaannya jauh dari maslahat.

Biasanya saya mengutip dari Imam Thabari dan Imam Suyuthi. Kali ini, saya hendak mengawali ngaji kita dengan mengutip dari buku Prof Dr Hamka yang berjudul Sejarah Umat Islam. Agar jangan ada yang menuduh saya mengada-ngada atau mengira saya sengaja menjelek-jelekkan kisah khilafah ini. Kita simak langsung apa kata ulama besar Indonesia ini.

Buya Hamka menulis:

“Al-Qahir, sebagai gelarnya, yaitu gagah perkasa. Hebat dan disegani orang, lagi gampang menumpahkan darah. Sayang sekali, di samping keberaniannya, ada pula kekurangannya, yaitu loba kepada harta benda dan sangat keras siasatnya.”

Buya Hamka, Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) pertama itu melanjutkan:

“Sebaik dia mulai memerintah dengan segera disuruhnya orang merampas harta benda perempuan gundik yang selama ini bermaharajalela di dalam istana. Ibunya al-Muqtadir (Khalifah sebelumnya) pun tidak terkecuali dari penggeledahan. 60 ribu dirham uang yang didapati di tangannya, padahal negeri sedang kekurangan belanja buat tentara. Bukan main kejam hukuman yang dijatuhkan oleh al-Qahir terhadap ibu al-Muqtadir itu. Kakinya digantungkan sebelah dan yang sebelah lagi terlepas ke bawah, lalu disiksa dengan berbagai macam siksaan dan mati beberapa hari kemudian.”

Para pembaca setia ini tentu masih ingat saya kisahkan dalam tulisan sebelumnya bahwa al-Qahir ini sempat memberontak, namun dimaafkan oleh al-Muqtadir. Tapi, kemudian ketika pemberontakan yang kedua kali berhasil, al-Qahir naik ke takhta kekuasaan, namun sama sekali tidak mau memaafkan al-Muqtadir dan keluarganya. Malah keluarga al-Muqtadir diusir, disiksa, dan dibunuh dengan keji.

Dan sebenarnya al-Muqtadir dan al-Qahir ini saudara satu bapak, tapi berbeda ibu. Jadi, ibu al-Muqtadir yang disiksa dan dibunuh oleh al-Qahir, seperti yang diceritakan Buya Hamka, itu sebenarnya merupakan ibu tiri dari al-Qahir sendiri.

Nama lengkapnya Muhammad bin al-Mu’tadhid. Panggilannya Abu Manshur. Gelarnya al-Qahir Billah. Menurut Imam Suyuthi, sesaat setelah Khalifah al-Muqtadir dibunuh, Jenderal Mu’nis dan tentara menanyakan kepada Muhammad bin al-Muktafi tentang kesiapannya menjadi khalifah. Namun, dia menolaknya dan menganggap pamannya, yaitu al-Qahir, yang lebih berhak. Al-Qahir yang memang sejak pemberontakan sebelumnya sudah berambisi tentu saja langsung mengiyakan ketika ditanya kesiapannya sebagai khalifah.

Al-Qahir menjelma menjadi pemimpin yang ditakuti. Gelarnya pun ditambah dengan al-Muntaqim min a’da’illah (yang melakukan balas dendam kepada musuh-musuh Allah). Gelar itu pula yang dia cantumkan pada mata uang yang dibuatnya. Dia memerintahkan semua jenis musik dan nyanyian serta minuman keras dilarang. Dia tangkapi para penyanyi dan menghancurkan alat musik mereka.

Namun, sayangnya, menurut Imam Suyuthi, dia sendiri pernah tidak bisa bangun akibat mabuk minum minuman keras dan suka sekali mendengarkan jenis nyanyian. Kelihatannya al-Qahir ini jenis pemimpin yang tidak satu antara kata dan perbuatan. Melarang rakyatnya mabuk dan mendengarkan musik, padahal dia sendiri melakukannya.

Ibn al-Atsir juga memberi catatan bahwa para budak yang pandai menyanyi disuruh dijual oleh al-Qahir karena menyanyi itu haram. Namun, dia melakukan itu karena dia sendiri yang akan membeli para budak yang sudah dijual dengan murah tersebut. Soalnya al-Qahir sendiri menggemari nyanyian. Ibn al-Atsir kemudian menggarisbawahi dengan kalimat “Na’udzubillah min hadzihil akhlaq” (Kita berlindung kepada Allah dari akhlak seperti ini).

Apa kata Imam Thabari tentang al-Qahir? Tidak ada. Imam Thabari sudah wafat pada tahun 310 Hijriah atau tahun 923 Masehi. Isi kitab Tarikh Thabari pada jilid kesepuluh berakhir pada kisah tahun 302 Hijriah di masa Khalifah al-Muqtadir berkuasa. Sehingga kisah khalifah berikutnya tidak bisa lagi kita rujuk dari Tarikh thabari. Syukurlah, kitab Tarikh al-Khulafa Imam Suyuthi, al-Bidayah wan Nihayah karya Imam Ibn Katsir, dan lainnya seperti al-Kamil fit Tarikh karya Ibn al-Atsir masih memberi kita informasi otentik tentang sejarah khilafah berikutnya.

Kembali ke pemerintahan al-Qahir, Ibn katsir menceritakan bahwa kepala rumah tangga istana (al-Hajib) yang bernama Ali bin Bulaiq melaknat Khalifah pertama Dinasti Umayyah, yaitu Mu’awiyah, di mimbar masjid. Rupanya kebiasaan turun temurun melaknat lawan politik diteruskan sampai masa al-Qahir ini. Mimbar masjid menjadi sangat politis dan isinya penuh dengan cacian terhadap lawan politik.

Di Indonesia, khalifah belum berdiri saja mimbar masjid sudah dipakai untuk bicara politik praktis. Pantas kalau kita pun turut berucap: “Na’udzubillah min hadzihil akhlaq”.

Naiknya al-Qahir tidak terlepas dari keberhasilan pemberontakan Jenderal Mu’nis yang berkolaborasi dengan Ibn Muqlah, sang wazir, terhadap khalifah sebelumnya. Namun, mereka tidak senang dengan gaya kepemimpinan al-Qahir. Menurut Imam Ibn Katsir, pendapatan mereka berkurang drastis selama berada di bawah al-Qahir. Itu sebabnya mereka berencana untuk menurunkannya dari posisi Khalifah. Pikir mereka, bukankah mereka yang mengangkat al-Qahir, tentu mudah pula menurunkannya. Ibn Muqlah dan Mu’nis, diikuti oleh Ali bin Bulaiq, menginginkan Muhammad bin al-Muktafi yang menjadi khalifah. Sayangnya, al-Qahir mencium rencana konspirasi ini.

Jenderal Mu’nis berhasil dengan licik ditangkap dan dibunuh atas perintah al-Qahir. Ali bin Bulaiq dan anaknya lari. Tapi, pasukan al-Qahir menemukan Ali bin Bulaiq dan anaknya, kemudian menyembelih mereka—kata Ibn Katsir—seperti menyembelih kambing. Kepala mereka lantas diberikan ke anjing. Al-Muktafi ditempatkan di dinding yang diapit dua bangunan sempit. Namun, dia bertahan hidup. Sementara itu, Ibnu Muqlah berhasil kabur dan bersembunyi. Karena marah, al-Qahir memerintahkan agar rumah Ibnu Muqlah dibakar habis, begitu juga kediaman para pemberontak lainnya.

Al-Qahir berseru kepada penduduk Baghdad bahwa itulah hukuman untuk mereka yang mengkhianati Khalifah dan membuat kerusakan di dalam negara. Al-Qahir mungkin lupa bahwa dia pun bisa naik sebagai khalifah lewat pemberontakan berdarah. Kok, sekarang berlagak suci? Tsumma na’udzubillah min hadzihil akhlaq!

Yang kita saksikan mayoritas dari naik-turunnya khalifah itu lewat pertumpahan darah. Darah yang tumpah akan dibalas dengan pertumpahan darah berikutnya. Begitu terus. Semua dilakukan atas nama kekuasaan suci yang bernama khilafah.

Al-Qahir juga membunuh Ibnu Ishaq bin Ismail an-Nubakhti, yang sebelumnya mendukung kepemimpinan al-Qahir. Jadi, kalau bukan karena rebutan kekuasaan, apa pasalnya sampai al-Qahir membunuh orang ini?

Menurut Imam Suyuthi, itu karena terjadi persaingan memperebutkan seorang budak perempuan. Gara-gara ini kepala Ibnu ishaq dipenggal, lantas dilempar ke dalam sumur. Luar biasa!

Kekejaman demi kekejaman ini membuat tentara mulai muak. Ibnu Muqlah—yang dalam sejarah juga dikenal sebagai ahli kaligrafi—keluar dari persembunyiannya dan mulai memprovokasi para tentara untuk memberontak. Mereka berhasil mendatangi istana dan menangkap al-Qahir yang gagal melarikan diri. Tentara kemudian membai’at Abul ‘Abbas Muhammad bin al-Muqtadir sebagai Khalifah. Mereka memberinya gelar ar-Radhi Billah. Kemudian, al-Qahir dipaksa untuk menyatakan pengunduran dirinya. Namun, al-Qahir ngeyel dan menolak mundur karena merasa dia masih Khalifah yang sah.

Seorang hakim bernama Abu al-Husein mengatakan al-Qahir sudah dimakzulkan dan wajib hukunya mengikuti Khalifah yang baru, yaitu ar-Radhi Billah. Lantas Khalifah ke-20 Dinasti Abbasiyah ini mengatakan biar saya yang menangani al-Qahir yang masih ngeyel. Lalu, menurut Imam Suyuthi, sang Khalifah baru mencungkil kedua mata al-Qahir dengan paku yang sangat panas.

Buya Hamka menceritakan akhir kekuasaan al-Qahir:

“…sedang baginda duduk di dalam istana, masuklah seperangkatan serdadu ke dalam istana, lalu khalifah mereka tangkap dan pangkatnya ditanggali, kemudian itu kedua matanya dicungkil sehingga kedua mata itu tanggal dan tergantung-gantung di kedua belah pipinya. Setelah itu dikurung di dalam satu penjara gelap di dalam istana. Kemudian itu dilepaskan pula menjadi seorang buta yang hina, sampai mati.”

Muhammad al-Isfahani berkata: “al-Qahir dicopot karena perilakunya yang tercela dan tindakannya yang banyak menumpahkan darah.” Ulama lain, ash-Shuli berkata, “al-Qahir sosok pemarah yang banyak menumpahkan darah, jelek kelakuannya dan plin-plan dalam mengambil kebijakan, serta seorang pemabuk.”

Al-Qahir tidak dbunuh karena mungkin kematian terlalu enak buat dia. Dibiarkanlah dia menderita dalam kebutaan. Sebelas tahun kemudian dia sempat dilepas dari penjara, lantas menjadi pengemis di kota Baghdad, namun kemudian kembali ditangkap dan dipenjara sampai wafat dalam kehinaan. Dia hanya berkuasa kurang dari dua tahun—lebih lama menderita dalam penjara.

Bagaimana? Masih kuat baca sejarah khilafah yang berdarah-darah ini? Masih mau balik lagi ke jaman khilafah kayak gini? Ohh tidakkkk!

Tabik,

Nadirsyah Hosen