Al-Ghazali bukan orang sembarangan. Sebelum ia terkenal sebagai seorang sufi, ia adalah seorang pengkaji filsafat. Ia bahkan belajar filsafat bertahun-tahun. Hal ini membuktikan bahwa ia mengkritik filsafat setelah belajar filsafat, bukan sekedar ikut-ikutan orang. Walaupun beberapa kritiknya juga masih menjadi perdebatan.
Dalam autobiografinya, al-Munqidz min adh-Dhalal, merumuskan ada tiga aliran dalam filsafat: Dahriyun (Materialis/atheis), Thabi’iyun (naturalis), Ilahiyun (theis).
1. Dahriyun (Materialis)
Aliran filsafat paling awal (klasik). Mereka mengingkari adanya pencipta yang mengatur alam semesta ini. Mereka beranggapan bahwa alam ini ada dengan sendirinya tanpa ada seorang pencipta. Alam raya ini sudah demikian adanya dan tidak akan pernah berubah. Alam ini abadi.
Baca juga: Benarkah Filsafat Bertentangan dengan Islam?
2. Thabi’iyun (Naturalis)
Aliran ini mempercayai adanya pencipta alam. Namun tidak percaya adanya hari akhir. Ketika seseorang mati, maka kehidupannya sudah sampai di situ. Tidak ada lagi kehidupan setelah di dunia ini.
Kedua aliran ini (Dahriyun dan Thabi’iyun) tidak sesuai dengan akidah Islam. Karena prinsip dasar keimanan seorang muslim ialah meyakini adanya pencipta dan hari akhir.
3. Ilahiyun (Theis)
Tokoh pentingnya adalah Sokrates, mempunyai murid bernama Plato, dan Plato mempunyai murid bernama Aristoteles. Pemikiran-pemikiran dan ajaran-ajaran Aristoteles dianggap nyaris sama dengan akidah Islam. Lalu pemikiran-pemikirannya itu dibawa oleh Ibnu Sina dan al-Farabi untuk mewarnai keilmuan dunia Islam.
Ajaran-ajaran Aristoteles yang dibawa oleh Ibnu Sina dan al-Farabi itulah kemudian yang menjadi fokus al-Ghazali untuk mengkajinya secara mendalam dan merincinya. Al-Ghazali mempolarisasi ajaran itu menjadi tiga macam. Pertama, ajaran-ajaran yang berhak untuk dikafirkan. Kedua, tidak berhak untuk dikafirkan, namun hanya sebatas dianggap bid’ah saja. Ketiga, tidak diingkari sama sekali.
Dalam kitabnya, Maqashid al-Falasifah, ia merumuskan ada empat ajaran yang menjadi fokus kajian para filsuf, yaitu: riyadhiyat (aritmatika), manthiqiyat (ilmu logika), thabi’iyat (ilmu fisika/sains), ilahiyat (ketuhanan/metafisika). Dirujuk di kitabnya yang lain, al-Munqidz Min adh-Dhalal, al-Ghazali menjelaskan ada enam ajaran dalam filsafat dengan menambahkan dua ajaran lagi, yaitu: siyasiyat (politik), khuluqiyat (filsafat etika). Di sini akan dijelaskan satu persatu dengan rinci agar kita bisa memetakan ajaran mana yang dikritik oleh al-Ghazali di antara enam ajaran itu.
1. Riyadhiyat (Aritmatika)
Riyadhiyat adalah ilmu yang berkaitan dengan ilmu hitung, geometri, dan gerak alam semesta. Ilmu ini, menurut al-Ghazali, tidak ada sangkut pautnya dengan agama. Dengan itu, al-Ghazali tidak mengkritik dalam bidang ini dan tidak ada ajaran yang patut dipungkiri.
2. Mantiqiyat (Ilmu Logika)
Mantiqiyat adalah ilmu yang membahas tentang metode berdalil dan menyusun premis-premis, cara berargumen dan menyusunnya sehingga sampai pada suatu kesimpulan yang benar. Sebagaimana ilmu riyadhiyat, ilmu mantiq (logika) juga tidak ada kaitannya dengan agama, sehingga tidak ada yang perlu dikritik dan dipungkiri. Bahkan ada riwayat yang sudah masyhur bahwa al-Ghazali pernah berkata,“Siapa yang tidak punya pengetahuan tentang ilmu mantiq, maka keilmuannya tidak dapat dipercaya”.
3. Thabi’iyat (Ilmu Fisika/Sains)
Ilmu ini membahas tentang bentuk fisik alam raya dan planet-planet yang mengitarinya, baik yang bersifat tunggal (air, udara, debu, dan api), maupun yang tersusun (hewan, tumbuhan dan bebatuan).
Melihat fokus kajiannya itu, menurut al-Ghazali, ilmu semacam ini serupa dengan fokus kajian seorang dokter yang meneliti tentang tubuh manusia, anggota primer dan sekunder, serta sebab-sebab perubahan karakter atau suhu badan. Dikarenakan orang beragama tidak diharuskan mengingkari ilmu kedokteran, maka seyogyanya ilmu thabi’iyat juga tidak perlu ditolak dan dipungkiri kecuali beberapa tema yang disebutkan secara detailnya dalam kitab Tahafut al-Falasifah.
Namun, al-Ghazali memberikan prinsip dasar yang harus menjadi pegangan bagi orang yang mempelajari ilmu thabi’iyat, yaitu bahwa semua bentuk fisik alam raya ini telah ditundukkan oleh Allah SWT. Alam raya tidak bergerak dengan dirinya sendiri, melainkan ada intervensi Tuhan dalam hal ini. Gerak matahari, bulan, dan planet-planet yang lain semuanya berada dalam genggaman kekuasaan Tuhan. Tidak ada gerak yang timbul dari dirinya sendiri. Inilah yang disebut dengan hukum alam.
4. Ilahiyat (Ketuhanan/Metafisika)
Pada ajaran inilah yang menjadi fokus kritik al-Ghazali terhadap filsafat. Di titik inilah pemikiran-pemikiran Aristoteles yang dibawa oleh Ibnu Sina dan al-Farabi untuk mewarnai keilmuan Islam dikatakan oleh al-Ghazali mirip dengan ajaran Islam.
Baca juga: Iqbal dan Pentingnya Filsafat dalam Pemikiran Islam
Dalam kitab Tahafut al-Falasifah, al-Ghazali menyebutkan dua puluh tema yang menjadi letak mayoritas kesalahan mereka. Tiga tema yang dianggap paling berat oleh al-Ghazali sehingga berhak untuk dikafirkan karena tidak ada satu pun dari kalangan muslim yang berpendapat demikian, yaitu: pertama, masalah keazalian dan keabadian alam. Kedua, Tuhan tidak mengetahui hal-hal partikular. Ketiga, jasad (tubuh) manusia tidak akan dibangkitkan kembali di hari akhir nanti.
Sedangkan tujuh belas tema sisanya, al-Ghazali tidak menganggapnya suatu kekufuran, melainkan dianggap bid’ah saja karena masih ada dari kalangan muslim yang berpendapat sama dengan mereka. Semisal mereka tidak mempercayai adanya sifat bagi Allah. Hal ini dianggap sama dengan ideologinya Mu’tazilah.
5. Siyasiyat (Politik)
Al-Ghazali tidak berpanjang lebar dalam bidang ajaran ini. Karena menurutnya, seluruh pembahasan Filsuf dalam bidang ini mengarah kepada hikmah kebijaksanaan dan maslahat yang berkaitan dengan perkara dunia dan sistem perpolitikan. Tentu ini tidak mesti ditolak dan dipungkiri. Ajaran ini bersumber dari kitab-kitab yang diturunkan kepada para nabi dan hikmah-hikmah yang diberikan kepada nabi-nabi terdahulu.
6. Khuluqiyah (Filsafat Etika)
Seluruh pembahasan Filsuf dalam bidang ajaran ini berkaitan dengan sifat-sifat dan akhlak jiwa manusia, menjelaskan jenis dan macamnya, serta tata cara mengobati jiwa dan memerangi hawa nafsu. Ilmu ini bersumber dari kalamnya para sufi yang memfokuskan dirinya pada jalan ketuhanan dan konsisten berdzikir kepada Tuhan, serta melawan hawa nafsu dan menempuh jalan menuju Tuhan dengan tidak menikmati godaan duniawi. Sehingga dengan itu, akan tersingkap kepada mereka akhlak terpuji dan aib-aib yang timbul dari jiwa manusia. Menurut al-ghazali, Tidak ada yang perlu diingkari dari ajaran ini.
Demikianlah al-Ghazali menjabarkan ilmu filsafat menurut hasil pemahamannya sebelum melontarkan kritiknya terhadap filsafat. Al-Ghazali tidak gegabah, ia mempelajari terlebih dulu filsafat sampai ke akar-akarnya sehingga ia kemudian dapat memetakan ajaran mana yang harus dikritik dan ajaran mana yang tidak perlu dikritik.
Baca juga: Al-Ghazali: Sungguh Bodoh, Mengkritik Tapi Tidak Memahami Sesuatu yang Dikritik
Inilah yang menjadi karakteristik al-Ghazali dalam mengkritik filsafat. Hal ini tentu berbeda dengan kritik sebagian orang yang tidak tahu-menau persoalan yang dikritiknya. Alih-alih bisa menjadi kritik ilmiah, yang ada malah kicauan ngawur. Maka, mari pahami duduk persoalan sebelum mengkritik demi mencoba meneladani apa yang dilakukan oleh al-Ghazali. (AN)
Wallahu a’lam.