Al-Qur`an bukan kalam biasa. Ia adalah kalam Tuhan yang harus dimuliakan. Dalam rangka memuliakan Al-Qur`an, para ulama menekankan agar dalam melantunkan bacaan, unsur fashâhah dan makhraj diperhatikan. Untuk itu, ilmu tajwid, yaitu ilmu untuk memperbagus bacaan Al-Qur`an diciptakan. Ratusan, bahkan ribuan kitab tajwid ditulis.
Bahkan, sedemikian pentingnya ilmu tajwid, ulama Al-Qur`an, Ibnu al-Jazari (w.833 H), menyatakan, “berpedoman dengan ilmu tajwid adalah keharusan. Siapa yang membaca Al-Qur`an tidak dengan tajwid yang benar maka ia berdosa”. Ini sejalan dengan perintah Al-Qur`an agar membacanya dengan tartîl (QS. Al-Muzzammil/73: 4), yakni membacanya secara perlahan, sehingga huruf-hurufnya keluar dengan jelas sesuai bunyi pelafalannya.
Siapa yang bisa seperti itu terbilang sebagai ‘al-mâhir bil qur`an’, yang dalam hadis dikatakan ‘akan bersama para malaikat yang mulia’. Bagaimana dengan yang tidak membaca atau melafalkannya dengan baik? Lanjutan hadis menyatakan, “yang membacanya dengan terbata-bata, penuh kesulitan, akan mendapatkan dua pahala; dari bacaan dan usahanya. Setiap orang punya kondisi berbeda. Jangankan non-Arab yang bukan penutur bahasa Arab, bangsa Arab sendiri punya dialek dan logat bermacam-macam. Bukan hanya saat ini, tetapi saat Al-Qur`an diturunkan, bahkan di hadapan Rasulullah.
Dalam sejarah bahasa Arab klasik, menurut Teimour Pasya (w.1930 M), ditemukan tidak kurang dari dua puluh dialek. Bahkan pernyataan Nabi Saw Al-Qur`an turun dalam ‘sab`at ahruf’ salah satunya untuk mengakomodir dialek suku-suku bangsa Arab saat Al-Qur`an diturunkan. Di antara suku Arab yang terbesar dan paling berpengaruh adalah Quraisy, Tamim, Asad, Hudzail, Aqil, Thay dan lainnya. Perbedaan dialek itu bahkan sampai pada tingkat merubah bunyi huruf. Perbedaan itu salah satunya dipengaruhi lingkungan. Dalam sosio-linguistik suku Tamim, misalnya, simbol kehidupan masyarakat badui pedalaman, sedangkan masyarakat Arab perkotaan (hadhariy) diwakili oleh suku Qurasiy dan yang ada di Hijaz.
Dalam melafalkan huruf, suku quraisy dikenal jelas dan cermat. Berbeda dengan Hudzail yang suka berbicara cepat, sehingga bunyi huruf satu dengan lainnya saling bertumpuk. Ini bisa ditelusuri dalam bacaan versi Abu Amr Ibn al-Ala (w.154 H), salah satu dari tujuh bacaan (qira`at sab`ah) yang mutawatir.
Di kalangan suku Tamim, Asad dan Qays dikenal fenomena bunyi yang disebut ‘`an`anah’, yaitu membunyikan huruf hamzah berharakat fathah dengan `ain. Huruf hamzah (أَ) berubah menjadi `ain (ع). Di kalangan suku Hudzail, huruf ha (ح) dibunyikan dengan `ain (ع). Pengaruh dialek Hudzail diakomodir oleh Ibnu Mas`ud, salah seorang Sahabat Nabi, yang membaca ayat ‘hattâ hîn’ (QS. Yusuf: 12/35) dengan ‘attâ ‘în’. Fenomena ini disebut ‘fahfahah’. Ada lagi fenomena ‘al-watm’ yang mengganti bunyi huruf ‘sîn’ dengan ‘ta’. Kata al-nâs dibunyikan menjadi al-nât.
Rasulullah dalam beberapa kesempatan mengakomodir perbedaan dialek tersebut. Dalam suatu riwayat, beliau melafalkan huruf `ain berharakat ‘sukun’ (عْ) yang berdampingan dengan huruf ‘tha’ menjadi ‘nûn’. Dalam doa popular, “Limâ a`thayta” menjadi “limâ anthayta”, dan “walâ mu`thiya” menjadi “walâ munthiya”. Ulama besar, al-Hasan al-Bashri (w.21 H), diriwayatkan membaca QS. al-Kautsar dengan lafal “innâ anthaynâkal kawtsar”. Fenomena ini disebut al-istintha pada suku Sa`ad, Hudzail, Azd dan Qays. Dalam kesempatan lain, ‘alif-lam’ (الْ) pada awal kata dibunyikan dengan `am (ام). Ungkapan “laysa minal birri al-shiyâm fi al-safar” (bukan hal yang baik berpuasa di perjalanan) berbunyi menjadi “laysa min ambirr am shiyâm fi amsafar”. Fenomena ini disebut thamthamah atau thamthamaniyah pada suku Thay, Azd dan Himyar di selatan jazirah Arab.
Demikian beberapa contoh dialek Arab yang dipengaruhi faktor sosial dan lingkungan. Simplifikasi bunyi ini bisa juga terjadi karena tempat keluar huruf (makhraj) berdekatan, seperti huruf ha dari tengah kerongkongan (wasath al-halq) dan kaf dari ujung lidah bagian dalam setelah kerongkongan sedikit. Meski berbeda bunyi, ahli bahasa bersepakat itu hanya kebiasaan yang tidak memengaruhi makna. Apalagi bukan karena disengaja. Bukankah Tuhan tidak membebani hamba-Nya dengan sesuatu yang di luar kemampuannya? Kalau begitu, mengapa harus dipertentangkan.
Demikian, wallahua`lam.
*) Dr Muchlis Hanafi, lulusan Al-Azhar University, Mesir, Kepala Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an.