Adalah Abu Ja’far Muhammad bin al-Husain al-Burjulani. Seorang sufi sekaligus ahli hadis ternama. Ia belajar kepada Ibnu Abdullah bin al-Junaid dan Abu Bakar bin Abu Dunya. Ia wafat pada tahun 238 H atau bertepatan dengan tahun 825 M. Sumber rujukan biografinya bisa dilihat dalam al-Fihrisat karya Ibn Nadhim, Tarikh Baghdad Khatib al-Baghadadi, Mizan al-I’tidal Ad-Dzahabi, al-Wafi bil Wafayat-nya as-Shafadi, Lisan al-Mizan Ibn Hajar al-Asqalani, dan Mu’jam al-Muallifin.
Sejumlah sumber hagiografi yang menyebutkan biografi al-Burjulani sepakat bahwa ia wafat tahun 238 H. Sedangkan mengenai tahun kelahiran sufi ini tak ditemukan satu sumber manapun yang menjelaskannya. Akan tetapi tahun kelahiran al-Burjulani dapat diperkirakan dari tahun wafat guru-guru utamanya. Misalnya Amr bin Muhammad al-Anqari, guru paling utama al-Burjulani ini wafat pada tahun 199 H. Kemudian Ishaq bin Sulaiman ar-Razi wafat tahun 200 H. Gurunya yang lain Ali bin ‘Ashim al-Washiti wafat tahun 201 H. Dari sini dapat diperkirakan bahwa ia belajar (mendengarkan hadis)dari al-Anqari saat umurnya mencapai 20 tahun sebagaimana standar umum memperoleh riwayat dan mendengarkan hadis menurut sejumlah ulama hadis seperti Sufyan al-Tsauri, Abu Abdillah al-Zubairi, Musa bin Ishaq dan ulama hadis lainnya. Mengenai hal ini, Ibn Shalah dalam Muqaddimah-nya mengatakan bahwa kesunahan belajar ilmu hadis bagi seseorang adalah saat usianya telah mencapai umur 20 tahun, sebab di umur 20 kapasitas dan kemampuan akalnya sudah cukup mumpuni. Dari sudut pandang ilmu hadis ini, al-Burjulani diperkirakan lahir antara tahun 175-178 H.
Pujian ulama terhadapnya:
Sebagai seorang sufi yang juga sekaligus muhaddis, al-Burjulani mendapatkan pujian dari sejumlah ulama ahli jarh wa at-ta’dil seperti Ibnu Abu Hatim yang meriwayatkan dari ayahnya bahwa suatu hari ada seseorang yang bertanya kepada Imam Ahmad bin Hanbal ihwal zuhud. Lalu Ahmad bin Hanbal menjawab, “Kamu harus belajar kepada Muhammad bin al-Husain al-Burjulani.”
Ibn Hibban dalam kitabnya, al-Tsiqat, juga menyebutkan ketsiqahan (keterpercayaan periwayatan hadis al-Burjulani) dan menyatakan bahwa al-Burjulani adalah seorang penutur kisah hikmah. Al-Dzahabi dalam Mizan al-I’tidal juga mengatakan bahwa periwayatan hadis al-Burjulani dapat dipercaya. Ia adalah orang yang terpercaya dan tidak ada yang menjarh-nya. Bahkan Ibrahim al-Harbi mengukuhkannya dengan mengatakan bahwa dalam diri al-Burjulani tidak ada yang aku ketahui selain kebaikan-kebaikannya.
Kitab al-Karam wa al-Jud wa Sakha’ an-Nufus
Al-Burjulani telah menulis sejumlah karya dalam bidang tasawuf. Lebih khusus mengulas tema-tema asketisme (zuhud). Ibn Nadhim dalam al-Fihrisat menyebutkan sejumlah karya al-Burjulani seperti: as-Shuhbah, al-Himmah, at-Tha’ah, as-Shabr, al-Mutayammaini, dan al-Karam wa al-Jud wa Sakha’ an-Nufus. Hanya saja dari kesemua karya al-Burjulani ini hanya kitab yang disebut terakhir yang sampai kepada kita.
Dalam kitab al-Karam wa al-Jud wa Sakha’ an-Nufus al-Burjulani mengumpulkan sebagian hadis dan atsar yang berisikan persoalan husnul khuluq (budi pekerti) seperti silaturrahim, al-karam, al-haya’, al-hubb fillah, dan tema-tema lainnya. Terdapat sekitar tujuh puluh tiga hadis dan atsar yang dimana sekitar dua puluh tujuh hadis berstatus marfu’, atsar berjumlah dua puluh empat, dan atsar-atsar maqtu’ah yang dinisbatkan kepada para tabiin sekitar tiga puluh atsar.
Sebagai seorang sufi yang juga muhaddis, al-Burjulani menggunakan metode ahli hadis dalam sistematika penulisan kitab ini. Ia juga mencantumkan sanadnya. Ia tidak melakukan komentar dan catatan atas hadis-hadis tersebut. Ia hanya menampilkan hadis-hadis yang bertemakan zuhud. Karya jenis demikian memang lazim ditulis oleh sarjana-sarjana Islam masa klasik. Dan karya ini merupakan salah satu karya klasik dalam bidang tasawuf yang jarang diketahui oleh khalayak.