Di sebuah panggung, dua orang yang sangat dikenal saling melempar guyon. Yang satu berusia paruh baya, dan yang satu lagi masih lebih muda. Keduanya nampaknya tak ragu-ragu saling menyindir dan menyinggung. Saya yang menonton, malah yang agak deg-degan. Pasalnya keduanya dari Ormas Islam yang berbeda, yang paruh baya dari Muhammadiyah, dan yang lebih muda dari NU. Sama seperti umur Ormasnya. Muhammadiyah jelas lebih tua dari pada NU.
Dua orang itu adalah Buya Anwar Abbas (Wakil Ketua Umum PP. Muhammadiyah) dan Habib Hilal al-Aidid (Wakil Ketua Umum PBNU). Interaksi keduanya di panggung apresiasi petugas haji hari itu seperti dua saudara, guyub dan rukun, meski berbeda ormas. Tak seperti desas-desus yang sering saya dengar saat kecil dulu, terutama saat beda hari raya atau awal puasa. Perbedaan nampaknya tertutup oleh misi bersama, melayani dan membahagiakan para jemaah haji 2024.
Sebanyak 241.000 jamaah dari seluruh penjuru Indonesia kembali memenuhi kota suci Makkah, melaksanakan rukun Islam yang kelima pada tahun 2025 ini. Di tengah hiruk-pikuk jamaah yang berdesakan dan padatnya kegiatan haji, Dahlan dan Hasyim—dua petugas yang berlatar belakang ormas keagamaan berbeda—hadir dengan sepenuh hati untuk memberikan pelayanan terbaik. Sebagaimana Buya Anwar Abbas dan Habib Hilal, walaupun berasal dari dua organisasi besar yang kerap diwarnai perbedaan pandangan, mereka justru menjadikan tugas ini sebagai ajang untuk merajut persaudaraan, membuktikan bahwa kebersamaan bisa melampaui batas ormas, bahkan dalam hal-hal kecil yang biasanya menjadi perbedaan di antara mereka.
Dahlan, pria sederhana yang lahir dan besar di lingkungan Nahdlatul Ulama (NU) -, dikenal sebagai pribadi yang lembut dan penuh empati. Semangatnya dalam melayani jamaah selalu tampak tulus, seolah menjadi panggilan hidupnya. Di sisi lain, ada Hasyim, petugas yang dikenal gigih dan penuh komitmen dari Muhammadiyah. Keduanya menjadi rekan yang solid dalam kelompok kerja, bahu-membahu di bawah teriknya matahari, membantu jamaah yang kelelahan, mencari jalan keluar setiap kali ada jamaah yang tersesat, serta tak segan menyingsingkan lengan saat berurusan dengan logistik. (Nama mereka sengaja saya samarkan atas permintaan keduanya. Juga sengaja saya beri nama Dahlan dan Hasyim agar lebih dramatis, hehe.)
Seiring waktu, Dahlan dan Hasyim semakin dekat. Meski berasal dari latar belakang yang berbeda, persahabatan mereka justru semakin erat. Mereka berbagi cerita, pengalaman, dan tawa, bahkan kadang-kadang canda tentang perbedaan tradisi dan kebiasaan masing-masing. Hingga suatu hari, muncullah cerita yang membuat mereka berdua terbahak-bahak—sebuah kenangan yang kelak akan selalu mereka ingat.
Suatu subuh, kebetulan Hasyim menjadi imam shalat. Meski biasanya dalam shalat subuh, Hasyim tak menambahkan doa qunut, pagi itu dia memutuskan untuk melakukannya. Hal itu membuat Dahlan bertanya-tanya. Selepas salat ia memberanikan diri bertanya, “Kok kamu pakai qunut, bukannya kamu Muhammadiyah?”
“Biar kamu tenang,” katanya sambil tersenyum kepada Dahlan setelah salam. Dahlan yang pada awalnya sempat terkejut, akhirnya tertawa. Esok harinya, giliran Dahlan yang mengimami shalat subuh. Mengikuti niat baik Hasyim, ia pun kali ini tak membaca doa qunut. “Sekarang giliranku yang bikin kamu nyaman,” katanya sambil mengedipkan mata. Keduanya tertawa lepas, menyadari betapa indahnya perbedaan jika dirangkai dengan rasa saling menghargai.
Saya yang iseng pun bertanya kepada pak Hasyim. Ia menjawab singkat, “Wong cuma urusan furiyah, mas. Kita di sini kan, masih lama, biar nambah keluarga.”
Cerita sederhana ini menyiratkan kedalaman ikatan persahabatan mereka. Mereka paham bahwa perbedaan dalam hal furū‘, atau cabang-cabang dalam agama, bukanlah sesuatu yang harus merenggangkan hubungan. Justru, dari situ mereka belajar saling memahami dan memandang perbedaan sebagai warna-warni indah dalam pelayanan kepada umat.
Di setiap kesempatan, Dahlan dan Hasyim selalu bersama melayani jamaah haji. Sejak subuh hingga malam dengan berganti shift, mereka berdua hadir untuk mendampingi para jamaah yang membutuhkan. Tak ada sekat di antara mereka, meski berbeda ormas. Kehadiran satu sama lain justru semakin melengkapi. Seringkali, mereka saling memotivasi dan membantu satu sama lain, memastikan setiap jamaah mendapat pelayanan terbaik. Dalam setiap langkah, mereka seperti dua sisi koin yang menyatu, mengedepankan persaudaraan di atas perbedaan pandangan.
Dahlan dan Hasyim menjalani hari-hari dengan penuh kehangatan dan kekompakan. Bila salah satu dari mereka terlihat letih, yang lainnya tanpa diminta segera turun tangan, menawarkan ‘bahu’-nya. Mereka tak segan bekerja bergantian, bahkan ketika harus menghadapi hari yang panjang dan melelahkan. Tak ada kata “aku” atau “kamu” di antara mereka—semua dilakukan atas nama “kita.” Bagi mereka, pelayanan jamaah bukan sekadar tugas, tetapi bentuk khidmat, panggilan untuk mengutamakan kepentingan umat di atas segala perbedaan.
Melalui kebersamaan mereka, Dahlan dan Hasyim membuktikan bahwa tugas mulia ini dapat menyatukan siapa saja, tanpa perlu mempersoalkan latar belakang. Mereka yakin bahwa ukhuwah yang tulus akan selalu mengalahkan perbedaan, dan justru memperindah langkah mereka dalam melayani di tanah suci.
Sepulang dari tanah suci, Dahlan dan Hasyim tidak hanya membawa pulang pengalaman luar biasa sebagai petugas haji, tetapi juga persahabatan yang akan mereka jaga seumur hidup. Di atas segalanya, mereka mengukir kenangan sebagai dua sahabat yang tak pernah mempermasalahkan perbedaan, justru menjadikan perbedaan itu sebagai kekuatan untuk melayani umat. Dahlan dan Hasyim tahu, dalam persaudaraan sejati, perbedaan bukanlah penghalang—justru itulah yang membuat mereka semakin kuat dan saling melengkapi dalam melayani jemaah haji.
(AN)