Kita tahu bahwa protes dan aktivisme meledak di Amerika Serikat. Negara ini sedang mengalami berbagai macam krisis, mulai dari pandemi, ekonomi, dan sekarang protes kebrutalan polisi dan ketidakadilan rasial.
Akumulasi krisis ini berimbas pula ke politik. Presiden Trump melihat angka polling-nya melorot. Kegagalan dia menangani krisis Covid-19 dan sikapnya terhadap protes-protes rasial telah menggerus elektabilitasnya.
Hari Sabtu kemarin, Trump mengadakan kampanye (rally) di Tulsa, Oklahoma. Dia ingin membuat kampanye ini sebagai tonggak bahwa Amerika sudah kembali ‘normal’ dan virus Corona tidak lagi menjadi ancaman.
Trump dan tim kampanyenya sangat bergairah menyongsong kampanye ini. Mereka mendaftar peserta secara online. Secara tidak terduga, 1 juta orang mendaftar! Angka yang fantastis.
Dan, Trump, sebagaimana Anda tahu, adalah manusia paling ‘umuk’ sedunia, tidak tahan untuk membuka mulutnya dan membual. Manusia narsistik yang haus puja-puji ini segera mengumumkan soal satu juta pendaftar yang akan datang ke kampanyenya.
Timnya segera menyewa gedung terbesar di kota itu. Gedung itu berkapasitas 19 ribu orang. Karena besarnya antusiasme, pembantu-pembantunya juga mempersiapkan arena diluar gedung yang bisa menampung puluhan ribu orang.
Mereka bersiap untuk setidaknya seratusan ribu orang akan datang ke kampanye Trump ini. Kalau ini terjadi, kampanye ini akan menjadi ‘show of force’ untuk Trump. Dia bisa mendeklarasikan bahwa virus Corona bisa dikalahkan, ekonomi bergerak lagi, dan Amerika akan jaya lagi!
Harapan membuncah, dan bualan-bualan yang menyertainya, kempes pada hari H. Arena yang disediakan untuk 19 ribu orang terlihat kosong. Hanya 6,200 orang — yang hampir semuanya berkulit putih — datang.
Trump tetap berkampanye — dan menyebarkan kebohongan disana sini. Namun menjadi jelas untuk banyak orang bahwa kampanye ini sudah kempes. Gelembung itu sudah pecah.
Jurnalis menangkap wajah Trump ketika kembali ke White House. Wajahnya muram dan lelah. Kelihatan bahwa dia kalah. Hal yang jarang diakui oleh manusia yang paling bangga akan dirinya sendiri.
Yang menjadi pertanyaan kemudian adalah mengapa tidak banyak orang datang ke kampanye ini? Mengapa ada satu juta pendaftar dan hanya 6,200 orang yang muncul? Apa yang terjadi?
Media umumnya mengatakan bahwa orang masih takut akan virus. Tim kampanye Trump mengharuskan orang untuk menandatangani surat untuk tidak menuntut kalau terinfeksi virus Corona.
Tim kampanye Trump sendiri menyalahkan adanya protes yang bikin orang takut dan mereka yang sudah datang dihalangi orang masuk ke arena kampanye. Namun para wartawan yang ada disana membantah ada protes yang menghalang-halangi orang datang ke arena kampanye.
Lalu, apa sebenarnya yang terjadi dengan 1 juta pendaftar itu? Ternyata, satu juta pendaftar itu adalah pendaftar palsu. Mereka mendaftar dan mendapat tiket. Namun mereka sengaja tidak datang.
Hal yang tidak saya duga adalah bahwa pendaftaran ini dilakukan secara sistematis dan terorganisir online. Pelakunya?
Ada seorang nenek di Iowa yang membuat video yang menganjurkan orang utnuk mendaftar ke kampanye Trump tapi tidak datang. Video TikTok yang dia bikin dibagikan 700 ribu kali dalam waktu 24 jam!
Namun, pelaku yang paling signifikan adalah para fans K-Pop di Amerika yang jumlahnya sangat banyak itu. Ini yang mengejutkan banyak pihak. Sebagian besar penggemar K-Pop adalah remaja dan perempuan.
Mereka mendaftar rame-rama, menggunakan nomor telpon palsu yang disediakan oleh banyak platform seperti Google, Skype, dll. Mereka menggunakan Twitter, TikTok, atau SnapChat untuk memobilisasi. Merekalah yang mengklaim bertanggungjawab menggemboskan kampanye Trump itu.
Inilah jawaban para remaja ini terhadap Trump yang selalu mencap media yang tidak sesuai dengan keinginannya sebagai ‘fake news.’
Para fans K-Pop ini ternyata cukup canggih sehingga tidak tertangkap oleh tim kampanye Trump yang dipimpin Brad Prascale, yang sebenarnya adalah seorang ahli IT. Hal yang sama sekali tidak diharapkan bahwa lawan mereka adalah para remaja! Anak-anak ini adalah juga pemilih pemula. Mereka adalah Generasi Z yang hidup lebih banyak di dunia virtual ketimbang dunia nyata.
Saya melihat beberapa posting mereka yang melakukan ‘victory lap’ dan saling memberi selamat. Mereka mengatakan, ini sumbangan terpenting yang telah dilakukan Class 2020 (artinya anak SMA yang lulus tahun ini) kepada Amerika!
Sesungguhnya mereka juga sudah melakukan taktik yang sama sebelumnya. Ketika protes Black Lives Matter memuncak, mereka menenggelamkan sebuah App yang bernama iWatch milik polisi di Dallas. App ini bikinan polisi yang menyuruh warga mengunggah video wajah para pemrotes yang dianggap melakukan pelanggaran kepada polisi. Laporan bisa dilakukan secara anonim, kata polisi.
Apa yang dilakukan anak-anak ini adalah mereka mengunggah video-video ‘fancams’ dari K-Pop yang biasanya dipakai untuk mempromosikan lagu dari bintang pujaan mereka. Video-video ini memacetkan iWatch yang dianggap sebagai bentuk rasisme yang mengadu antara warga dengan warga demi keuntungan polisi.
Mereka juga mengirim kartu ucapan ulang tahun palsu ke Trump. Selain itu, mereka juga mengubur hashtag dari kelompok-kelompok rasis kulit putih.
Aktivisme online ini jarang mendapat perhatian karena kita lebih terpaku pada orang-orang yang turun ke jalan.
Kondisi di Amerika ini membuat saya bertanya-tanya, apakah hal yang sama terjadi di Indonesia? Saya tahu, fans K-Pop juga cukup besar di Indonesia. Di Twitter, mereka selalu menjadi trending topic dengan jumlah ratusan ribu.
Saya kira, seperti di Amerika, fans K-Pop ini bisa menjadi kekuatan. Sekarang persoalannya, siapa yang mempergunakan? Perjuangan macam apakah yang akan mereka ambil sebagai tema?
Siapakah yang akan mereka dukung? Di Amerika, jelas bahwa mereka tidak ramah terhadap Trump dan para gedibalnya. Mereka sudah terbukti sanggup mempermalukan Trump dan mereka mampu memberi perlawanan kepada kelompok-kelompok supremasi kulit putih. Dan juga kepada polisi, yang berubah dari pelindung masyarakat menjadi ‘public enemy no. 1’.
Di Indonesia saya tidak tahu apakah kelompok fans K-Pop ini juga mengarah ke aktivisme. Namun, saya menduga-duga bahwa anak-anak STM dan SMA yang turun ke jalan pada saat demo #ReformasiDikorupsi mungkin juga berasal dari mobilisasi online. Hanya saja saya tidak tahu platform apa yang menyatukan mereka.
Sebagai orang yang berada diluar kelompok umur ini, saya sungguh ingin tahu bagaimana para remaja ini berkomunikasi. Apa yang mereka bicarakan?
Saya kira, kalau ada protes dalam skala seperti #ReformasiDikorupsi seperti kemarin itu, anak-anak remaja ini akan sangat mudah dimobilisasi. Saat ini mungkin mereka bicara remeh temeh di media sosial; membikin meme yang aneh-aneh; membahas kelompok musik yang tidak pernah kita dengar; namun ketika tiba saatnya, mereka akan ikut berpartisipasi untuk melakukan perubahan besar di negeri ini.
Saya kira mereka yang berkuasa juga tidak sadar akan hal ini. Tapi saya menangkap juga ketakutan-ketakutan dari pihak penguasa di Indonesia. Negara dalam keadaan krisis dan jalan keluar tampaknya semakin sempit.
Taktik usang yang mereka mainkan seperti meningkatkan kampanye-kampanye anti-PKI atau menangkapi anak-anak muda Anarko Sindikalis, tidak akan mampu menangkap geliat dan kegelisahan di kalangan remaja-remaja yang tidak punya harapan masa depan karena krisis yang kita hadapi sekarang ini.
Jika para fans K-Pop di Amerika bisa mengerjai Trump, adakah kemungkinan fans Didi Kempot di Indonesia melakukan hal yang sama? Kita tidak tahu. Yang harus kita lakukan adalah menyimak baik-baik apa yang dilakukan oleh para remaja kita dan melihatnya dengan empati dan simpati.
Foto: PATRICK SEMANSKY / AP
Link artikel untuk dibaca:
https://www.nytimes.com/2020/06/21/style/tiktok-trump-rally-tulsa.html