Aksi Terorisme: Sebuah Kajian Psikologi (Bag.2)

Aksi Terorisme: Sebuah Kajian Psikologi (Bag.2)

Bagaimana seorang bisa menjadi teroris? Simak analisis ini

Aksi Terorisme: Sebuah Kajian Psikologi (Bag.2)
anak kecil juga banyak direkrut oleh ISIS. Source photo by dayli mail

Presiden Jokowi menguraikan bahwa dalam program deradikalisasi yang dilakukan pemerintah Indonesia (Baca tulisan sebelumnya: Aksi Terorisme: Sebuah Kajian Psikologi Bagian 1), hanya 3 dari 560 mantan aktor teroris, atau hanya 0,53 persen yang berkeinginan melakukan aksi terorisme kembali.

Beliau juga  menyebutkan, “Sejarah telah mengajarkan kita bahwa senjata dan kekuatan militer tidak bisa memberantas terorisme. Pikiran sesat hanya bisa dikoreksi dengan cara berpikir yang benar.” Demikian sebagaimana diberitakan oleh kompas.com.

Ujaran presiden di atas berbeda dengan sangkaan umum yang meyakini bahwa pendekatan keamanan adalah satu-satunya yang paling tepat untuk menanggulangi teroris, pemerintah kita ternyata punya strategi yang lebih lengkap. Sambil tetap menjalankan tindakan penegakkan hukum di lapangan, strategi yang lebih berbasis edukasi ternyata juga digalakkan, melengkapi pemenjaraan dan operasi intelijen untuk membekuk sel-sel terorisme yang ada.

Pernyataan presiden dan dinamika masyarakat seputar isu radikalisasi ini menarik untuk dicermati. Khususnya ketika kita juga menyaksikan betapa mudahnya publik menyimpulkan bahwa peningkatan radikalisasi dan konservatisme akan membawa pada puncaknya yaitu terorisme.

Benarkah demikian? Ya dan tidak.

Dari sudut pandang psikologi, transformasi pemahaman menjadi sikap, sampai mengarah ke perilaku, adalah sebuah perjalanan yang kompleks. Sebagian besar pemahaman, tidak tumbuh menjadi sikap yang selaras dengan materi yang dipahami. Sementara, hanya sebagian sikap yang sukses mendorong tindakan nyata.

Ada sejumlah variabel yang mempengaruhi baik berupa variabel internal (seperti motivasi, persepsi dan kebiasaan) maupun variabel eksternal (seperti situasi yang mendukung, akses sumber daya serta keberadaan orang lain dengan sikap serupa). 

Model Enam “Tangga” Menuju Terorisme

Fathalli Moghaddam, seorang ahli psikologi yang berasal dari Iran dan saat ini tinggal di Amerika Serikat, menggambarkan kerumitan transformasi yang disebutkan di atas dalam konteks terorisme. Ia mengajukan sebuah model “enam tangga” yang merunut proses dari kegalauan awal atas ketidakadilan yang dirasakan seseorang sampai akhirnya ia memilih melakukan tindakan teror.

Berdasarkan riset mendalam yang ia lakukan semenjak masih tinggal di Iran, Moghaddam mengidentifikasi enam tahapan tindakan terorisme. Dalam model ini, Moghaddam mengumpamakan terorisme seperti bangunan enam lantai yang terdiri dari lantai 0 atau lantai dasar dan lima lantai di atasnya.

Lantai dasar adalah tahapan ketika sang kandidat aktor teroris mulai membentuk persepsi tentang ketidakadilan yang ia rasakan dan kehidupan yang relatif berkekurangan. Anggapan ini termasuk baik yang menimpa dirinya maupun anggota kelompok/komunitas yang menjadi acuan identitasnya (misalnya: saudara seagama di Palestine atau sesama muslim di kota tempat tinggalnya).

Penting untuk diingat bahwa ini adalah sebuah persepsi. Kita mengetahui bahwa persepsi bisa erat terkait dengan realitas, bisa juga tidak. Apapun itu, ia tetap dirasa nyata oleh sang calon teroris.

Kemudian, di “lantai” pertama dia mulai mengeksplorasi opsi-opsi untuk menyelesaikan ketidakadilan tersebut. Pada banyak kasus, awalnya sang calon aktor akan menjajagi cara-cara yang sesuai koridor hukum. Dari sekedar mengeluh ke pemimpin lokal, mengajukan tuntutan hukum, atau protes di jalan sebagai bagian dari hak bicara.

Ketika akhirnya ia gagal menemukan opsi yang memadai, yaitu ketika ketidakadilan tetap dirasakan, ia mulai merasakan kemarahan yang meningkat. Lalu, sang calon teroris ini melangkah ke “lantai” dua. Di lantai ini, kemarahan yang dirasakan mulai ditujukan pada pihak yang dianggap sebagai pelaku ketidakadilan.

Selanjutnya, saat kemarahan memuncak dan ketidakadilan tetap dirasa tidak bisa diselesaikan, mereka berangkat ke lantai ketiga. Di situ mereka mulai merapat dengan sesama pihak yang merasakan ketidakadilan tersebut. Dalam tahapan ini, para kandidat teroris mulai mengkonstruksi atau membenarkan rumusan moral yang menyimpang dari kelaziman. “Pencerahan” moral di lantai ketiga ini ditandai dengan pembenaran perlawanan berbalut kekerasan terhadap orang-orang dari pihak yang dianggap telah menzalimi mereka. (Bersambung)