Aksi Terorisme: Sebuah Kajian Psikologi (Bag.1)

Aksi Terorisme: Sebuah Kajian Psikologi (Bag.1)

Aksi Terorisme: Sebuah Kajian Psikologi (Bag.1)
Ilustrasi teroris perempuan yang sedang mengangkat senjata. Foto: Foreign Affair Magz

Beberapa waktu terakhir, telah terjadi sejumlah peristiwa terkait terorisme di Indonesia. Dari mulai pemboman dan penusukan polisi sampai kecelakaan meledaknya bom panci tanpa disengaja. Upaya penegakkan hukum juga telah dilakukan sesuai prosedur. Beberapa pelaku telah ditangkap, meninggal di tempat, dan sebagian masih menjadi buronan.

Selain itu, polisi juga gencar melakukan operasi intelijen untuk menyelidiki jaringan terorisme yang ada di Indonesia. Ini tentu dilakukan agar aksi-aksi serupa tidak lagi terjadi.

Pandangan Publik tentang Terorisme

Menilik kecenderungan situasi sosial politik terkini, kejadian terorisme di Indonesia ditengarai berkaitan dengan dua hal. Pertama, banyak orang berpandangan, yang diperkuat dengan beberapa bukti yang diperoleh kepolisian, bahwa pelaku serangan teroris di Indonesia adalah bagian dari kelompok Islam garis keras internasional yang paling kuat dan populer saat ini, yaitu, ISIS.

Di tingkat global, kita tahu bahwa ISIS menjadi fokus utama dalam penanganan terorisme di hampir semua negara. Di kawasan Asia Tenggara, ISIS juga telah melakukan serangan terorganisasir pertamanya di Marawi, Filipina. Konon, lebih dari 500 korban tewas akibat operasi militer tentara Filipina dalam rangka menghentikan aksi ISIS di sana.

Dengan semakin dekatnya lokasi aksi sistematis ISIS, rakyat Indonesia memang perlu khawatir. Pulau-pulau perbatasan kita cukup dekat dengan Marawi dan transfer teroris dari sana ke negeri ini, bukan hal yang mustahil. Apa lagi, santer kabar yang menyebutkan bahwa warga negara Indonesia sendiri ada yang tergabung dalam milisi ISIS di Marawi. Selalu ada kemungkinan mereka kembali ke Indonesia dan berpikir untuk mulai melakukan aksi demi perjuangkan agenda ISIS di sini.

Faktanya, beberapa aksi terorisme yang terjadi di Indonesia sudah ditengarai memiliki keterkaitan dengan ISIS meski belum dapat dikatakan sebagai aksi yang sistematis seperti di Marawi.

 

Kedua, peningkatan aksi terorisme juga dianggap terkait dengan laju pesat radikalisasi umat Islam yang terjadi semenjak 2014; meski sebenarnya radikalisasi telah berlangsung lebih lama dari itu. Kita masih ingat betapa masyarakat terpolarisasi dengan tajam di pemilihan presiden 2014 dan berlanjut sampai pilgub DKI 2016-2017. Kemudian, polarisasi masih berlanjut sampai sekarang dan diduga akan mempengaruhi pilkada-pilkada berikutnya.

 Radikalisme dan Konservatiseme, bukan Hal Baru

Bagaimana pun, radikalisasi di Indonesia harus dilihat sebagai sebuah intensifikasi; bukan fenomena yang sepenuhnya baru. Kubu-kubu utama yang berseteru dapat dirunut akarnya jauh sampai sebelum Indonesia merdeka. Atau, setidaknya, sampai masa-masa akhir orde baru.

Narasi-narasi yang dilemparkan oleh kedua kubu pun masih seputar hal yang sama. Terdapat narasi kunci terkait Pancasila dan kebhinnekaan di kubu nasionalis dan narasi penerapan ketentuan syariat di kubu Islam politik. Gagasan-gagasan tersebut memang klasik, namun dinamika penguatannya dapat dikatakan terjadi melalui kanal-kanal komunikasi dan interaksi yang khas zaman ini, antara lain, via media sosial dan atas fondasi kebebasan berbicara yang membaik.

Lebih jauh, di saat yang sama kita bisa mengamati juga gejala yang tidak sedalam radikalisasi tapi sering dipersepsikan publik sebagai terkait dengan meningkatnya risiko kekerasan atas nama agama. Banyak orang menyaksikan peningkatan konservatisme muslim dan eksklusivisme dalam beragama di Indonesia. Ini terjadi bukan pada kelompok-kelompok garis keras tapi justru pada umat Islam yang lebih umum.

Sebagian dari kita mungkin mengamati dan terkejut mendapati orang-orang yang kita kenal sebagai muslim kebanyakan, tiba-tiba menjadi terpolitisasi secara intensif dalam religiositasnya. Ini tercermin dari pemutakhiran status di media sosial, aplikasi pengantar pesan, dan juga obrolan-obrolan merek secara langsung. Menurut pengamatan saya, gejala ini juga dipengaruhi oleh situasi sosial politik semenjak 2014 dan mencapai salah satu puncaknya di pilgub DKI baru-baru ini.

Perdebatan Publik dan Tanggapan Pemerintah

Kekhawatiran terhadap ekspansi ISIS dan radikalisasi serta konservatisme di kalangan umat seringkali menjadi isu yang saling bercampur dalam perdebatan publik. Desakan agar pemerintah mengambil jalan yang keras untuk mengeliminasi simpatisan ISIS dan organisasi-organisasi radikal lain dari bumi Indonesia berlangsung hampir setiap hari.

Tuntutan tersebut sudah membuahkan hasil. Pemerintah telah gencar bergerak menyisir situs-situs radikal, memantau media sosial, dan mewacanakan pembubaran ormas garis keras (yang sudah direalisasi terhadap Hizbut Tahrir Indonesia). Ini juga dilengkapi dengan melempar isu penyeimbang yang sebenarnya kurang perlu: janji akan “menggebuk” penyebar paham komunis. Entah apa motivasinya, tapi setidaknya bisa sedikit mencitrakan bahwa pemerintah bukan sedang mengalami Islamophobia.

Di sisi lain, di konferensi G20 tahun 2017 yang berlangsung di Hamburg beberapa waktu lalu, bapak Jokowi, presiden kita, berbagi cerita tentang keberhasilan deradikalisasi yang dilakukan negeri ini (Bersambung)