Aksi Save Meratus: Gerakan Organik Melawan Ancaman Pertambangan

Aksi Save Meratus: Gerakan Organik Melawan Ancaman Pertambangan

Aksi Save Meratus: Gerakan Organik Melawan Ancaman Pertambangan

Bumi sedang tidak baik-baik saja. Mungkin ungkapan ini mulai sering kita dengar akhir-akhir ini. Bagaimana tidak, cuaca semakin rumit diprediksi, udah seperti hubungan antara Hayati dan Zainuddin kan? Antara musim hujan dan panas semakin sulit diduga dan menjadi acuan bagi kehidupan masyarakat, terlebih untuk kelompok agraris.

Banyak ahli menyebutkan bahwa anomali cuaca dalam beberapa tahun terakhir ini akibat dari perubahan iklim. Jika merujuk apa yang disebut oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), perubahan iklim mengacu pada pergeseran jangka panjang dalam suhu dan pola cuaca. Pergeseran ini mungkin alami, seperti melalui variasi dalam siklus matahari. Tetapi sejak tahun 1800-an, aktivitas manusia telah menjadi pendorong utama perubahan iklim, terutama karena pembakaran bahan bakar fosil seperti batu bara, minyak dan gas.

Batu bara adalah salah satu komoditas paling krusial dalam pembangkit energi listrik yang dibutuhkan oleh masyarakat modern hari ini. Kerusakan disebabkan oleh batu bara dirasakan tidak saja akibat dari pembakaran bahan bakar fosil, namun ambrolnya lingkungan di sekitaran tambang, mulai dari banjir, longsor, hingga ancaman kepunahan hasil hutan dan binatang yang mendiami wilayah tersebut.

Sebagai salah satu wilayah yang memiliki potensi pertambangan batubara yang cukup besar, Kalimantan Selatan tentu mengalami persoalan lingkungan yang akut, khususnya di pegunungan Meratus. Membentang sepanjang ± 600 km², Meratus merupakan kawasan pegunungan yang berada di tenggara Pulau Kalimantan serta membelah Provinsi Kalimantan Selatan menjadi dua. Pegunungan ini adalah salah satu wilayah penghasil batubara yang cukup besar.

Berdasarkan data Dinas Penanaman Modan dan Pelayanan Satu Pintu (DPMPSP) Provinsi Kalimantan Selatan disebutkan bahwa produksi batubara di Kalsel tahun 2013 saja sudah sebesar 162.952.196 ton, yang terdiri dari produksi batubara PKP2B sebesar 101.234.960 ton dan produksi batubara IUP sebesar 61.717.236 ton.

Sebagian besar pertambangan tersebut adalah terletak di pegunungan Meratus. Padahal, potensi pertambangan yang begitu besar ini sebenarnya menyimpan persoalan lingkungan yang mengancam kehidupan masyarakat dan alam di Kalsel. Dan tersisa satu wilayah yang belum dijamah oleh tambang batubara dan perkebunan sawit adalah Hulu Sungai Tengah.

Tahun 2017 lalu kelestarian alam di pegunungan Meratus, khususnya di wilayah Hulu Sungai Tengah, terancam. Saat itu Kementerian ESDM mengeluarkan SK 441.K/30/DJB/2017 tentang Operasi Produksi untuk PT MCM pada 4 Desember 2017. Surat tersebut membolehkan PT. MCM untuk menambang batubara di wilayah Hulu Sungai Tengah. Tak pelak penolakan warga pun muncul setelahnya.

Mereka khawatir keberadaan tambang akan merusak Pegunungan Meratus yang merupakan hulu sekaligus sumber air masyarakat Hulu Sungai Tengah. Penolakan warga ini semakin meluas, tidak saja dari masyarakat di Hulu Sungai Tengah saja, namun terus membesar hingga menjadi gerakan yang diberinama “Save Meratus”.

Gerakan ini telah mendapat dukungan yang luas, apalagi hutan di pegunungan yang akbar ini, merupakan benteng terakhir daripada hutan hujan di Kalimantan Selatan. Gerakan ini semakin membesar juga didorong oleh media sosial melalui tagar #SaveMeratus.

Uniknya, saat pertama kali mengetahui soal Gerakan #SaveMeratus, saya malah menjumpai bahwa aksi ini sangatlah cair. Selain tidak memiliki struktur organisasi atau sekretariat, kampanye soal pelestarian lingkungan di pegunungan Meratus sebenarnya sudah berjalan sebelum keributan terkait izin tambang PT. MCM kemarin.

Bahkan, beberapa kelompok pencinta alam di wilayah Hulu Sungai Tengah sudah sering mengadakan kegiatan mendaki gunung Meratus, sekaligus menjadikan kegiatan tersebut ajang untuk saling belajar dan mengadvokasi masyarakat adat Meratus terkait kerusakan alam yang sedang mengintai kita.

Sebab, beberapa oknum perusak lingkungan mulai menawarkan uang yang besar untuk membeli lahan pertanian milik masyarakat adat. Tentu tawaran menggiurkan tersebut rentan diterima jika kesadaran akan ancaman andai transaksi itu terjadi. Kerusakan akibat penebangan hasil hutan saja sudah mulai terasa hari ini diantaranya disebabkan rayuan uang yang mulai menggoda sebagian oknum.

Barjik, salah satu penggiat Gerakan Save Meratus, malah telah lama memiliki jadwal rutin untuk naik ke pegunungan Meratus, pernah bercerita bahwa kegiatan mereka naik gunung tidak sekedar jalan-jalan atau Healing belaka. Namun, di saat pendakian mereka juga melakukan advokasi kepada masyarakat adat untuk tetap menjaga lahan mereka dan terus bertani demi mempertahankan kelesatarian alam dan keperluan sehari-hari.

Selain itu, Barjik dan kawan-kawan juga menggalakkan pendidikan dasar untuk anak-anak dari masyarakat adat Meratus. Sebab, akses mereka kepada pendidikan dasar masih sangat sulit.

Relasi Barjik dengan masyarakat adat juga dibangun dengan Handy Talkie (HT) untuk saling membagikan informasi tentang kondisi di Gunung, terlebih pasca hujan lebat untuk antisipasi longsor dan banjir bandang di daerah sekitar aliran sungai dari hulu di Gunung Meratus. Kerusakan alam yang semakin mengenaskan tentu telah mulai dirasakan masyarakat adat hari ini.

Ia juga menceritakan bahwa Gerakan #SaveMeratus hanya puncak dari terbangunnya kesadaran kolektif dari seluruh elemen masyarakat, yang sebelumnya sudah berjuang untuk mempertahankan pegunungan Meratus di wilayah Hulu Sungai Tengah ini tidak menjadi lahan tambang atau perkebunan sawit.

Walaupun, izin tambang PT. MCM telah dibatalkan, namun tidak ada jaminan yang kuat tidak akan ada izin pertambangan yang lain ke depannya. Oleh sebab itu, Barjik dan kawan-kawannya juga mendorong anak-anak dari pegunungan Meratus untuk bersekolah tinggi, biar siap menghadapi permasalahan yang semakin kompleks di masa akan datang, termasuk izin tambang lainnya.

Sebenarnya, permasalahan izin tambang yang terbit tahun 2017 kemarin juga menyadarkan mereka bahwa ancaman dari penguasa, baik Negara dan pemilik tambang, semakin besar. Tentu, kesadaran kolektif tidak saja dibangun, namun juga terus dirawat di seluruh masyarakat. Walaupun, aksi-aksi yang dilakukan sangat cair ini memang memiliki kekuatan dan kelemahan sekaligus.

Satu dari sekian kekuatan dari gerakan #SaveMeratus bersifat cair adalah aksi ini mendapatkan dukungan luas lewat jejaring para penggiatnya masing-masing. Wacana perlawanan atas izin tambang kemarin sangat mudah tersebar dan mendapatkan dukungan luas. Namun, kekurangannya adalah rentan dimanfaatkan oleh oknum untuk mendapatkan keuntungan pribadi.

Oleh sebab itu, Barjik dan kawan-kawan tetap bersikeras untuk mempertahankan Gerakan #SaveMeratus dalam format cair ini, demi untuk mempertahankan idealisme mereka. Gerakan Save Meratus mungkin salah satu contoh sahih bagaimana gerakan intelektual organik tersebut bisa bertumbuh di sekitar kehidupan kita.

Intelektual Organik adalah konsep yang dilahirkan oleh Antonio Gramsci, filsuf Neo-Marxis asal Italia. Siapa mereka? Menurut Gramsci, mereka yang dengan kesadaran dan pengetahuannya mengambil langkah untuk membangkitkan kesadaran perlawanan terhadap agenda-agenda penguasa. Kaum intelektual ini menggunakan sumber-sumber kekuatan yang dimiliki yaitu ilmu pengetahuan dan basis massa.

Mereka berupaya melakukan empowerment, membangkitkan kesadaran masyarakat mengenai masalah-masalah sosial yang dialaminya. Kelompok intelektual yang kedua inilah yang komit pada panggilannya untuk membela kepentingan masyarakat yang sering menjadi korban hegemoni dan dominasi penguasa dan kaum oligarki.

Apa yang telah dilakukan kawan-kawan di Gerakan #SaveMeratus sangatlah mulia. Semoga alam di pegunungan Meratus terus lestari dan terjaga, demi kelestarian Bumi. (AN)

Fatahallahu alaina futuh al-arifin