Aksi Bela Tauhid dan Gerakan Anti-Islam, Setuju atau Tidak?

Aksi Bela Tauhid dan Gerakan Anti-Islam, Setuju atau Tidak?

Tidak ikut aksi Aksi BelaTauhid tidak lantas auto anti islam loh

Aksi Bela Tauhid dan Gerakan Anti-Islam, Setuju atau Tidak?

Aksi Bela Tauhid atau memang ingin Bubarkan Banser? Antum Salah Memilih Musuh
Pembakaran bendera di Garut masih berbuntut. Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Ulama (GNPF-U) dan unsur lainnya menggelar Aksi Bela Tauhid 211. Sesuai tagline 211, aksi itu akan digelar pada tanggal 2 bulan 11 tahun 2018 lepas Salat Jum’at di Masjid Istiqlal menuju Istana.

Kali ini sasaran tembaknya adalah mereka yang rasional terkait peristiwa Garut, atau bisa jadi memilih NU sebagai sasaran. Secara spesifik mereka menuntut dibubarkannya Banser. Sontak, kepala saya puyeng. Entah apa yang mereka pikirkan ketika melempar dadu berkali-kali demi keluar opsi NU sebagai lawan.

Saya hanya bisa bertanya dan bertanya. Menyadur Mbah Kiai Mustofa Bisri dalam sebuah unggahan instagramnya @s.kakung, bukankah yang khilaf sudah menyadari kekhilafannya dan sudah minta maaf? Bukankah duduk perkaranya sudah dijelaskan oleh pihak-pihak yang selayaknya menjelaskan? Bukankah penegak hukum sudah bergerak melaksanakan apa yang menjadi tugasnya? Apalagi?

Apakah semua harus diselesaikan lewat aksi ‘damai’? Memangnya, apa definisi aksi damai itu sendiri? Apakah sebatas longmarch, terus tidak ada keributan dan tidak meninggalkan sampah, gitu?

Lalu, kenapa pula tujuannya justru ke Presiden? Bukankah yang bersangkutan adalah oknum Banser? Di mana hamblum-nya, coba? Toh, Banser melalui Ketum GP Anshor sudah menjelaskan pasal pembakaran bendera itu secara gamblang.

Senaif itukah kita? Tidakkah ada opsi lain seperti dialog, misalnya?

Saya yakin kok, kalau kantor Anshor apalagi PBNU di Jl. Kramat Raya itu terbuka 24 jam melayani antum. Kecuali kalau sejak awal antum memang tidak ada iktikad baik: ngajak dialog tapi sambil bawa-bawa pentungan massa yang penuh emosi laksana menuju medan perang, umpamanya.

Oia, kenapa juga harus melibatkan massa yang tidak sedikit? Apakah biar kelihatan gagah, gitu? Atau biar sekadar pantas masuk TV? Bahwa, ini lho orang-orang ku. Banyak kan?

Lantas, kenapa musti mengandaikan setelah Salat Jum’at atau momentum-momentum keislaman lainnya? Apakah jika selain hari Jum’at, massa diprediksi akan sedikit karena orang-orang sibuk bekerja? Bukankah urusan dunia adalah nomor sekian ketimbang bela agama?

Karenanya pada titik ini, apakah kita lupa jika sila ke-4 Pancasila menyuruh agar kita bermusyawarah? Atau, kitanya saja yang lupa jika dalam Alquran sangat melimpah ruah ayat tentang pentingnya musyawarah.

Jangan-jangan yang kita hafal dan rapal sehari-hari cuma ayat-ayat tentang kelicikan Yahudi, lincahnya Nasrani, dan al-Maidah: 51 dengan refrensi internet yang serampangan bin tidak otoritatif itu.

Terus, yang jauh lebih fundamental, apa alasan antum mengajukan tuntutan pembubaran Banser?! Apakah hanya gara-gara membakar Bendera, lalu itu menjadi landasan dibubarkannya Banser? Bukankah peristiwa itu hanya spontanitas massa di lapangan menyikapi adanya penyusup? Tapi, kenapa ada penyusup? Ah, untuk yang ini, saya haqul yakin jika antum lebih tahu tentang hal itu.

Tidakkah antum tau siapa, apa sepak terjang, dan kontribusi Banser bagi bangsa ini? Bukan berarti Banser semanja itu, lalu minta perhatian dan menagih pamrih.

Mbok yakin, saya berani bertaruh jika keikhlasan dan pengabdian Banser untuk agama dan negara itu jauh lebih heroik ketimbang antum yang belajar agama lewat internet.

Berani antum merelakan diri tercabik-cabik ledakkan Bom untuk melindungi jemaat Gereja yang lagi sembahyang? Berani antum?? hah?! Berani antum kerja begituan tanpa bayaran?

Okelah kalau orang-orang setamsil Felix Siauw, Hanan Attaki bahkan Sugik Nur, dan lain-lain yang udah selesai dengan urusan perut dan maisyah bisnis atau endorse produk syar’inya, sehingga dakwah ke sana ke mari dengan sombongnya menolak dibayar.

Tapi ini Banser, bung!! Catat: Banser. Banser yang pencahariannya bercocok tanam di sawah, di kebun, Guru honorer non-PNS, ada pula yang kuli bangunan, pramusaji di warungnya sendiri, Satpam, Security Asrama Haji, dan sebagainya yang, intinya masih menggantungkan peruntungan ekonominya kepada kerja-kerja fisik dan masih harus mengabdi pada agama-negara tanpa bayaran sepersen pun.

Kayak gitu masih mau antum bubarin? Sungguh, ke-ter-la-lu-wan.

Akhirul kalam, terus terang sampai detik ini saya masih kurang mengerti, kenapa GNPF-U serta unsur lainnya itu hobi sekali bikin aksi. Dan lebih dari itu, mengapa narasi yang selalu dibawa pasti bergeming atas nama umat Islam?

Apakah jika saya tidak setuju dengan aksi yang jelas-jelas rentan ditunggangi kepentingan politik itu lalu saya auto anti-Islam? Apakah agama Islam serendah itu? “Islam” cap opo kalau kaya gitu. Atau, jangan-jangan aksi bela-belaan telah menjadi rukun iman ketujuh.

Pendek kata, aksi bela Tauhid itu memang sungguh kelewatan (sasaran). Kali ini mereka salah memilih musuh. Yakin, masih mau berangkat? Jakarta panas, lurr.