Akrobat Politik KIM Plus di Jakarta dan Wajah Bopeng Elite Politik di Negeri ini

Akrobat Politik KIM Plus di Jakarta dan Wajah Bopeng Elite Politik di Negeri ini

Akrobat Politik KIM Plus di Jakarta dan Wajah Bopeng Elite Politik di Negeri ini

Tidak ada politik kebangsaan, yang ada hanya politik praktis, politik transaksional, selain politik jegal. Politik kebangsaan hanyalah ilusi, puncaknya manakala 2 Ormas keagamaan (Islam) mayoritas di negeri ini terjebak menerima konsesi tambang. Sedangkan Para elite politik itu juga terlihat mentalnya cenderung dekat dengan–maaf, watak penjilat. Inilah wajah bopeng para elit politik di negeri ini.

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang dikenal sebagai parpol Islam paling ideologis, sepak terjang politiknya banyak diacungi jempol, karena sekian tahun terakhir teruji menjadi oposisi, Entah ada angin apa, pada Pilkada serentak 2024 ini, PKS menjadi parpol yang ternyata berwajah bopeng juga.

PKS menjadi parpol berikutnya yang terjebak oleh Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus, sehingga pantas kalau koalisi ini KIM Plus-plus. Anies Baswedan yang sejak awal digadang-gadang akan menjadi rival terberat Ridwan Kamil, PKS malah berkoalisi dengan Ridwan Kamil dan mendapatkan jatah Cawagub bernama Suswono.

Pertanyaannya, lalu rivalitas Pilpres 2024 kemarin maknanya apa?

Bahkan PKS juga terbukti mendukung praktik nepotisme dan politik dinasti di Sumatera Utara dengan turut menjadi bagian dari koalisi Cagub Bobby Nasution. Pupus sudah harapan akan kemajuan negeri kita Indonesia. Tidak akan ada Indonesia emas 2045, tidak akan ada Jakarta Baru Jakarta Maju, tidak akan ada keadilan dan kesejahteraan hakiki, seluruhnya hancur sehancur-hancurnya, setelah PKS menghancurkan dirinya sendiri.

Memang benar apa yang selama ini menjadi pepatah politik: tidak ada lawan yang abadi, yang ada hanya kepentingan yang abadi.

Ridwan Kamil sebagai Cagub terkuat pun bukanlah sebuah kebanggaan. Torehannya menjadi pemimpin daerah yang berprestasi selama ini, bertekuk-lutut di hadapan KIM. Ia bisa jadi sebatas robot yang kendali remotenya ada pada para elit KIM Plus.

Saya juga tidak tahu, ke depannya Jakarta dan Indonesia akan seperti apa. Yang jelas bersikap pesimis akan kemajuan di negeri ini sangatlah realistis. Kepada siapa harapan kemajuan akan diamanahkan kalau para elitnya terjebak politik transaksional.

Saya tidak bisa membayangkan Indonesia 5 tahun ke depan akan seperti apa. 10 tahun Indonesia di tangan Joko Widodo ternyata hanyalah topeng, di mana aslinya wajahnya penuh dengan bopeng.

PDI Perjuangan sebagai parpol yang konsisten mengusung Joko Widodo malah sibuk menguliti mantan kader terbaiknya itu. PDI Perjuangan jelas kecolongan dan gagal menjadikan Joko Widodo “husnul khatimah” di masa akhir jabatannya sebagai Presiden.

Joko Widodo kadung sakit hati oleh Megawati Soekarnoputri .Demikian juga diikuti PKB dan Nasdem, sebagai parpol Islam dan nasionalis yang juga tidak punya prinsip, semuanya seolah takut tidak kebagian dan akhirnya turut terjebak dalam politik transaksional.

Sementara itu, PBNU dan PP Muhammadiyah malah kehilangan orientasinya dalam memperkokoh politik kebangsaan. PBNU terpancing a bermain api dengan PKB. Keterlibatan PBNU saat Pilpres kemarin, beberapa kasus pemecatan sepihak kader-kader di daerah, penunjukkan Erick Thohir sebagai Ketua Lakpesdam, penerimaan konsensi tambang dan masih banyak lagi sungguh menjadi keprihatinan tersendiri.

Dengan terlalu banyak basa-basi, keputusan penerimaan konsensi tambang akhirnya diikuti oleh PP Muhammadiyah. Entah  apa yang merasuki para elit PP Muhammadiyah sampai kemudian menjadi rakus seperti itu. Kurang apa dengan PP Muhammadiyah, Ormas keagamaan dengan aset organisasi yang melimpah ruah?

Saya sudah sampai pada kesimpulan, mengapa KIM Plus begitu menggila dalam menguasai negeri ini? Bahkan dengan cara-cara yang inkonstitusional sekali pun?

Karena Joko Widodo dan KIM Plus adalah cermin dari elit politik, elit Ormas keagamaan dan elit-elit lainnya di negeri ini, yang selama ini telah menjamur sampai level paling bawah yakni di Desa.

Lalu bagaimana sikap kita sebagai warga Negara biasa? Tetaplah pada kebaikan, tetap berdo’a, apalagi kita sebagai warga Negara yang meyakini keberadaan Tuhan Yang Maha Esa, di mana setiap perbuatan jahat akan dibalas Tuhan dengan kejahatan yang berkali-kali lipat. Tunggu saja tanggal mainnya!