Abu ‘Abdillah Muhammad ‘Al-Amin’ bin Harun ‘Al-Rasyid’ adalah Raja ke-6 Dinasti Abbasiyah. Atas hasutan perdana menterinya, al-Fadhl bin al-Rabi’, ia nekad mengangkatanaknya sendiri, Musa yang belum cukup umur sebagai penggantinya. Bahkan, Imam as-Suyuti menuturkan bahwa Musa saat itu masih menetek pada ibunya.
Demi menambah legitimasi putranya yang bahkan belum paham apa itu legitimasi, Al-Amin memberikan julukan al-Nathiq bil Haq untuk putranya yang sudah jadi putra mahkota. (Jalaluddin as-Suyuthi, Tarikh al-Khulafa’[Doha: Kementrian Wakaf dan Agama Islam Qatar, 2013 M/1434 H], hal. 473-474).
Nepotisme yang jadi awal petaka
Kebijakannya yang sama sekali tidak bijak ini harus dibayar mahal. Masa kekuasaannya yang singkat, 4 tahun lebih 8 bulan dan 5 hari diwarnai perang sipil yang menyengsarakan rakyat. Hal ini disebabkan oleh sikap Al-Ma’mun, saudara sebapak Al-Amin yang tak menerima kebijakan saudara tuanya itu. Bapak mereka, Harun Al-Rasyid berwasiat agar kelak yang menggantikan Al-Amin adalah Al-Ma’mun selaku adiknya. Al-Amin mengingkari wasiat ini, bahkan menyobek kertas wasiat yang sebelumnya tergantung di dinding Ka’bah.
Al-Amin sempat berdiplomasi dengan membujuk Al-Ma’mun agar legowo dengan kebijakannya. Ia berjanji bahwa Al-Ma’mun tetap masuk dalam jalur suksesi khalifah, namun berada di bawah Musa. Artinya, Al-Ma’mun tetap bisa menjadi raja setelah Musa meninggal. Tentu saja Al-Ma’mun menolak mentah-mentah rencana ini.
Sebenarnya kebijakan ini juga menuai penolakan dari orang-orang yang mendukung Muhammad al-Amin sendiri. Salah satu penasehat al-Amin, Khuzaimah bin Hazim memberi nasehat kepada al-Amin untuk tidak mendengarkan pihak yang menghasutnya agar memakzulkan Al-Ma’mun sebagaiputra mahkota. Khuzaimah khawatir jika suatu saat nanti Al-Ma’mun dan orang-orangnya menaruh dendam dan bersukutu untuk mengkudetanya suatu saat nanti.
Namun nasehat itu dianggap angin lalu oleh Al-Amin. Ia lebih mendengarkan al-Fadhl bin al-Rabi’, perdana menteri kepercayaannya. Ada indikasi bahwa al-Fadhl bin al-Rabi’ menghasut Al-Amin untuk menghapus Al-Ma’mun sebagaiputra mahkota demi kepentingannya sendiri. Ia khawatir jika ia yang merupakan orang Arab tidak akan mendapatkan posisi penting dalam struktur rezim Al-Ma’mun. Sebagaimana diketahui Al-Makmun dianggap lebih dekat dengan orang-orang Persia.
Al-Amin murka atas penolakan ini. Ia mengutus Ali bin Isa bin Haman dan empat puluh ribu pasukannya untukmenghabisi Al-Ma’mun, adiknya sendiri. Usaha ini gagal, bahkan menjadi awal dari berakhirnya masa kekuasaan Al-Amin. Empat puluh ribu pasukan Ali berhasil diatasi oleh hanya empat ribu pasukan Al-Ma’mun yang dipimpin Thahir bin Al-Husein.
Tak berhenti di situ, menyaksikan kehebatan Al-Ma’mun, satu per satu wilayah kekuasaan ‘Abbasiyah membaiat Al-Ma’mun sebagai raja. Puncaknya, pada 198 H, Ibukota Baghdad dikepung pasukan Al-Ma’mun. Kota Baghdad yang awalnya megah dan indah, luluh lantak oleh pasukan Pro-Al-Ma’mun yang dipimpin Thahir bin Al-Husein.
Raja Al-Amin dan keluarga terusir dari istana. Pada 198 H, raja yang tamak akan kekuasaan itu meregang nyawa. Ia diculik oleh orang-orang Al-Ma’mun dan kemudian dipenggal kepalanya.
Raja yang tak cakap dan suka foya-foya
Muhammad al-Amin dikenal sebagai pemuda yang rupawan, perkasa, dan lihai dalam mengolah kata. Tak salah jika begitu menggandrungi sastra. Namun, ia dinilai tak cakap dalam memerintah dan begitu boros.
Muhammad Al-Amin dikenal sebagai raja yang gemar menghambur-hamburkan kas negara. Dua hari pasca pelantikan, ia sudah menguras kas negara untuk membangun lapangan bermain di dekat istana (Tarikh al-Khulafa’,hal.473). Selama berkuasa, Ia juga gemar membangun istana-istana mewah di pelbagai penjuru wilayah untuk dijadikan tempat berpesta dan bersenang-senang (Muhammad bin Jarir al-Thabari: Tarikh al-Umam wa al-Muluk, [Riyadh: Bayt al-Afkar al-Dawliyyah],1715).
Ia bahkan mengirim orang-orangnya ke pelbagai penjuru daerah demi mencari artis-artis penghibur yang bisa memuaskannya. Ia menggelontorkan dana yang besar demi memenuhi hasratnya itu (Tarikh al-Khulafa’, hal.478).
Selain itu, Putra tertua Harun al-Rasyid itu juga terkenal begitu royal dalam membelanjakan uang negara untukmemenuhi kegemarannya. Dalam Tarikh al-Khulafa (hal.479), ia yang tergila-gila dengan sastra, pernah memberi tiga karunguang kepada Abdullah at-Taymi setelah ia sukses meneruskanbait-bait syi’ir yang mangkrak karya Al-Amin sendiri. Ia juga pernah menghadiahkan emas sebanyak isi satu kapal kepadapenyair yang membacakan sya’ir berikut,
هِجْرَتُكِ حَتَّى قُلْتِ لَا يَعْرِفُ الْقِلى # وَزُرْتُك حَتّى قُلْتِ لَيْسَ لَهُ صَبْرُ
Aku tinggalkan engkau hingga aku katakan “ia tak mengenalbenci” #
Dan kukunjungi engkau hingga kau berkata; ‘Ia tak mengenalsabar’
Selain sastra, Ia juga maniak akan memelihara hewan-hewan buas. Ia menguras Baitul Mal untuk membangun lima kapal khusus untuk mengangkut hewan-hewan koleksinya seperti singa, gajah, elang, ular, dan kuda. Kapal-kapal tersebut dilengkapi perkakas mirip busur untuk anak panah api yang difungsikan sebagai tambatan bagi hewan-hewan kesayanganputra pertama Harun Al-Rasyid itu (Tarikh al-Khulafa’, hal.478).
(AN)