Persoalan keagamaan sering terjadi dan muncul di tengah masyarakat, karena keterpakuan orang beragama pada teks. Misalnya, baru-baru ini, Evie Evendi Gapleh yang menyatakan Nabi Muhammad saw., sebagai orang yang sesat, akibat secara serampangan dan tanpa ilmu mengartikan secara harfiah dâllan dalam QS. Al-Dhuha/93:7.
Sebelumnya, Firanda Andirja, menyatakan kedua orang tua Rasulullah berada di dalam neraka, sebab mengartikan secara harfiah hadis yang diriwayatkan Imam Muslim (baik riwayat Anas bin Malik maupun Abu Hurayrah). Sebelumnya lagi, pernyataan artis Teuku Wisnu yang mengundang perselisihan terkait sampai tidaknya bacaan Alfatihah untuk orang yang sudah wafat. Kasus lainnya, pemelintiran ceramah KH. Said Agil Siraj terkait masalah kesunahan jenggot dan jubah. Dan banyak lagi, kasus di mana orang salah memahami karena terpaku pada makna harfiah ayat atau hadis.
Bagi sebagian orang, terikat pada teks dalam hal keberagamaan adalah berpegang kepada kemurnian ajaran agama itu sendiri, karenanya benar dan mulia. Mereka tidak memperdulikan bahwa ada sejarah yang melatarbelakangi kelahiran dan pembuatan teks itu. Bagi mereka: teks adalah sumber kesegalaan. Mereka yang menggunakan konteks dan nalar semata dianggap telah mengkhianati kalam suci itu. Bahayanya, sikap harfiah dalam memahami teks agama dapat menimbulkan ragam permasalahan di masyarakat.
Kelompok Jihadis, Salafi-Wahabi, dan Takfiri, misalnya, sangat mudah dan senang menuduh kelompok Islam lainnya sebagai pembuat bidah. Imbalan bagi pelaku sesat itu adalah neraka. Tidak jarang sifat kafir sering disematkan kepada siapapun yang pandangan keberagamaannya lain dengan mereka. Perilaku tak-bersahabat itu muncul dari keyakinan teguh pada satu atau beberapa teks dari Alquran atau Hadis. Padahal, kelompok yang sering dituduh sesat pun mengambil rujukan dan dasarnya dari Alquran dan Hadis yang sama.
Muara masalahnya adalah pada teks. Teks di dalam kajian ilmu-ilmu kemanusiaan (humaniora) juga dalam ilmu-ilmu sosial adalah sangat penting. Para peneliti dan sarjana selalu berhubungan dengan teks. Sejarawan, agamawan, pengkaji film, kritikus sastra, kesusasteraan, kebahasaan, kearsipan, arkeologi, sosiologi, dan antropologi selalu bekerja dengan teks. Ilmu tentang kajian naskah dan teks itu, atau Filologi, (atau kajian teks lainnya, tekstologi, atau analisis wacana/discourse analyse, dll.) amat bermanfaat dalam kajian Islam.
Khazanah klasik Islam dapat terbaca seperti sekarang berkat kerja keras para filolog. Dengan bantuan kajian naskah, akan membentuk dan memberikan hujjah yang sangat kuat. Sebab, semua hujjah berdasarkan teks yang berasal dari masa lampau, yaitu dari masa dan waktu yang menjadi inti kajian tersebut.
Kelompok Jihadis, Salafi-Wahabi, dan Takfiri berpaku pada teks, tanpa melihat konteks sejarah teks tersebut, proses pembuatan teks, latar belakang, dan keadaan yang mengitari teks itu, dan lainnya. Filologi mendorong peneliti dan para sarjana untuk melihat teks dari berbagai sudut pandang. Ia sangat bermanfaat untuk melihat teks-teks keagamaan dari segala arah keilmuan. Filologi mendekati kepada teks dan maksud yang asli dari penulis atau pembuatnya. Namun, tidak bermaksud memberikan penafsiran tunggal.
Kajian atas naskah-naskah teks keagamaan amat berguna untuk melihat bahwa produksi teks tidak dihasilkan dari ruang hampa. Teks berkait-kelindan dengan lingkungan, bahasa, budaya, dan rasa yang berada dan melingkupinya. Dalam hal ini, Alquran yang merupakan kalam suci tidak luput dari proses kebudayaan dan kesejarahan. Latar belakang masyarakat, keadaan politik, sifat dan sikap kebahasaan, perasaan dan prilaku orang, dan semua aspek kemanusiaan dan kealaman memengaruhi pembentukan Alquran itu, apalagi hadis dan sunah.
Ambil contoh soal memakai jubah dan memanjangkan jenggot. Bagi yang melulu terpaku pada teks, maka sabda dan laku Rasulullah saw. tentang jubah dan jenggot adalah hal yang harus diikuti secara mutlak. Akibatnya, bagi yang tidak memakai jubah dan tidak memanjangkan atau tidak mempunyai jenggot, maka dianggap tidak mengikuti sunnah Nabi, dan karenanya bukan umat Islam yang baik. Alasannya sederhana: tidak mengikuti apa yang telah Rasulullah contohkan.
Namun, bagi yang memahami keadaan dan latar-belakang hadis dan sunah tersebut, maka sikap dan laku Rasulullah yang terkait dengan pribadinya bukan hal yang wajib mutlak diikuti., sebab terkait dengan pribadi (basyar) Nabi dan kebudayaan Semenanjung Arab saat itu. Ini soal menarik tentang apa yang universal/berlaku umum di manapun dan mana yang partikular/khusus dalam Islam, tentang mana yang global dan mana yang tempatan/lokal di dalam Islam: ini salah satu kegalauan Shahab Ahmed (w. 2015) hingga ia terdorong menulis What Is Islam?, salah satu buku yang amat penting dalam kesarjanaan Islam saat ini.
Apa yang universal dalam Islam adalah apa yang tercakup dalam kalimat Islam rahmatan lilalamin. Dengan kata lain, hal yang harus diikuti umat Islam adalah hal-hal yang bernilai universal, artinya berlaku umum di manapun dan kepada siapapun: menghormati orang lain, mengasihi mereka yang duafa dan mustadafin, menjaga alam dan merawat lingkungan-hutan dan mencegah perusakan hutan, menjaga laut dan sungai dari sampah dan limbah, berlaku jujur, tidak mencuri, membunuh, memperkosa, dll.
Nah, sikap mencoba memahami dan membedakan mana yang masuk dalam ranah pribadi Rasulullah dan mana yang masuk dalam ranah kesunahan, sesungguhnya didukung penuh dan telah diajarkan oleh keilmuan amat penting dalam Islam, yaitu Usul Fikih atau Filsafat Hukum Islam. Kita bisa ambil satu kitab Usul Fikih kontemporer, seperti karya Muhammad Abu Zahrah (w. 1974): Ushûl al-Fiqh. Dengan amat gamblang, Abu Zahrah menjelaskan bahwa apa yang terkait dengan pribadi dan kebiasaan Nabi Muhammad dan itu bagian dari adat dan kebiasaan masyarakat Arab bukanlah sunah yang harus diikuti, seperti jubah dan jenggot. Dalam kajian usul fikih, hal-hal yang bisa jadi kita anggap melampaui teks dan tidak islami, ternyata merupakan pembahasan yang lumrah.
Bagi yang berpandangan kurang-terbuka akan berpendapat bahwa landasan dalam Islam adalah hanya Alquran dan Hadis (dikenal sebagai gerakan pasca-mazhab). Oleh karena itu, usul fikih yang mengandalkan kemampuan kajian teks yang kuat dianggap tidak bersumber dalam Islam, dan akibatnya harus dikesampingkan. Tentulah, bagi yang punya pandangan seperti ini hanya memperlihatkan bahwa ia tengah menolak ilmu pengetahuan.
Justru, saat para fukaha (ahli hukum Islam) mencoba memahami Alquran dan Hadis, mereka menemukan metodologi yang bisa digunakan oleh fukaha setelah mereka. Bapak pendiri Usul Fikih ini adalah Imam Syafii, pendiri mazhab Syafii yang menjadi anutan Muslim se-Asia Tenggara.
Keilmuan di dalam Islam sangat mengandalkan kemampuan mengkaji teks. Filologi atau metodologi dan pendekatan lainnya atas teks akan menjadi alat bantu yang amat baik bagi para sarjana/ustad dalam memahami teks-teks keislaman. Memang, menjadi ahli agama itu harus orang yang sudah melalui pendidikan, seperti di pesantren, sehingga ia mampu memahami teks keagamaan.
Sayangnya, sekarang, siapapun bisa dan ‘mendadak jadi ahli agama’ berkat mesin pencari ‘google’ atau mengaku langsung berguru kepada Rasulullah dan para sahabat (astagfirullah, sombong sekali ya)….., kemudian mereka para “ustad karbitan” ini berceramah di hadapan khalayak ramai dan memberikan informasi yang salah. Jadilah mereka dâllun wa mudillun, tersesat dan menyesatkan (umat). Wa al-iyâzu billâhi…
Belajar agama tanpa guru, gurunya adalah setan, kata Imam Ali Ibn Abi Thalib kw. Belajar mengharuskan: waktu yang lama, kesabaran, ketekunan, kepintaran, dan pengabdian pada gurunya (kyai, ustad…), demikian nasehat Imam Waqi’ kepada muridnya Imam Syafii.
Jika tidak belajar agama dengan benar kepada guru yang benar dalam waktu yang lama, maka terjadilah seperti yang kita saksikan sekarang. Menelan bulat-bulat dan mengambil satu teks suci agama secara harfiah akan berdampak fatal bagi kehidupan masyarakat dan bangsa. Terlebih, jika hal ini dilakukan oleh para muallaf, mantan-narapidana yang tobat, atau santri post-islamisme, yang menjadi ‘ustad/ulama’ dadakan. wallahu a’lam