Ustadz Akhsin Sakho’: Penyiksaan Manusia karena Beda Keyakinan Tidak Boleh Terulang!

Ustadz Akhsin Sakho’: Penyiksaan Manusia karena Beda Keyakinan Tidak Boleh Terulang!

Ustadz Akhsin Sakho’: Penyiksaan Manusia karena Beda Keyakinan Tidak Boleh Terulang!

Mendengarkan khutbah Jumat lalu (28/02) di Masjid Bayt Al-Quran yang disampaikan oleh Dr. Ahsin Sakho’ Muhammad, saya rasa perlu untuk menuliskan, dan mengabadikannya melalui tulisan. Hanya saya tuliskan beberapa poin intinya saja, dari penjelasan khutbah Jumatnya yang cukup panjang. Intisari khutbah ini juga sangat relevan dengan tragedi kemanusiaan yang sedang terjadi di sekitar kita, bahkan di penjuru dunia, seperti di India yang terjadi belakangan ini.

Dr. Ahsin Sakho’ Muhammad sendiri adalah Doktor Ahli Ilmu Qira’at lulusan Madinah dan pengasuh Pesantren Dar Al-Quran Arjawinangun Cirebon.

Menyampaikan khutbah bertemakan Keadilan, beliau menyampaikan beberapa hal mengenai keadilan. Yang pertama, mengenai kebebasan seseorang dalam menganut agama tertentu. Apapun pilihan kepercayaan yang dianut oleh siapapun, wajib dihormati. Sejarah penindasan, bahkan yang berakhir pembunuhan terhadap kelompok tertentu yang disebabkan oleh kepercayaan yang dianut, sebenarnya sudah ada sejak lama, dan Al-Quran menyebutkan hal ini.

Misalnya dalam QS. 85: 4-10. Dalam surat ini disebutkan terdapat sekelompok kaum Nasrani yang kemudian beriman pada Allah. Mereka hidup di wilayah Najran, suatu lembah yang terletak di perbatasan antara Saudi Arabia dan Yaman. Riwayat lain mengatakan mereka adalah penduduk Habasyah (Ethiopia). Peristiwa ini terjadi sekitar tahun 532 M pada masa kekuasaan Dzun Nuwas.

قُتِلَ اَصْحٰبُ الْاُخْدُوْدِۙ النَّارِ ذَاتِ الْوَقُوْدِۙ اِذْ هُمْ عَلَيْهَا قُعُوْدٌۙ وَّهُمْ عَلٰى مَا يَفْعَلُوْنَ بِالْمُؤْمِنِيْنَ شُهُوْدٌ ۗ وَمَا نَقَمُوْا مِنْهُمْ اِلَّآ اَنْ يُّؤْمِنُوْا بِاللّٰهِ الْعَزِيْزِ الْحَمِيْدِۙ الَّذِيْ لَهٗ مُلْكُ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ ۗوَاللّٰهُ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيْدٌ ۗ اِنَّ الَّذِيْنَ فَتَنُوا الْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنٰتِ ثُمَّ لَمْ يَتُوْبُوْا فَلَهُمْ عَذَابُ جَهَنَّمَ وَلَهُمْ عَذَابُ الْحَرِيْقِۗ

Binasalah orang-orang yang membuat parit (yaitu para pembesar Najran di Yaman), yang berapi (yang mempunyai) kayu bakar, ketika mereka duduk di sekitarnya, sedang mereka menyaksikan apa yang mereka perbuat terhadap orang-orang mukmin. Dan mereka menyiksa orang-orang mukmin itu hanya karena (orang-orang mukmin itu) beriman kepada Allah Yang Mahaperkasa, Maha Terpuji, yang memiliki kerajaan langit dan bumi. Dan Allah Maha Menyaksikan segala sesuatu. Sungguh, orang-orang yang mendatangkan cobaan (bencana, membunuh, menyiksa) kepada orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan lalu mereka tidak bertobat, maka mereka akan mendapat azab Jahanam dan mereka akan mendapat azab (neraka) yang membakar.

Penguasa saat itu menyiksa mereka dengan memasukkannya ke dalam parit yang dipenuhi kobaran api. Selain disalib, model penyiksaan dengan cara dibakar seperti ini sudah dikenal jauh di masa lalu. Hal ini pula yang menimpa, misalnya, pada Nabi Ibrahim AS yang dilempar ke dalam kobaran api oleh penguasa saat itu, namun beliau diselamatkan oleh Allah (QS. 21: 69).

Sementara motif perbuatan tersebut dinyatakan dalam ayat kedelapan dari surat ini. Penyiksaan yang dilakukan bukanlah sebab perbuatan buruk yang mereka lakukan atau balas dendam penguasa ataupun karena ingin merampas harta benda. Tetapi hanyalah karena keimanan yang mereka anut, dan penguasa tak menginginkan hal ini.

Kata naqamû yang terdapat pada ayat ini, menurut penjelasan Prof. M. Quraish Shihab, maknanya berkisar pada “tidak menyetujui sesuatu karena menilainya buruk”. Dari sini kemudian maknanya berkembang menjadi “menyiksa” dengan alasan tidak menyetujui sesuatu tersebut. Sebab, sesuatu tersebut dapat membuatnya marah bahkan terancam, hingga akhirnya ia menyiksanya.

Kata tersebut juga dapat ditemukan dalam ayat lain, dengan inti cerita yang tak jauh berbeda. Misalnya dalam QS. 7: 123.

Apa yang diuraikan Al-Quran mengenai umat terdahulu, oleh Allah disebutkan tiada lain adalah sebagai ibrah/nasehat bagi umat setelahnya. Maka kekerasan, penyiksaan dan bahkan berakhir dengan pembunuhan hanya karena perbedaan keyakinan, tidak sepatutnya terulang.

Kedua al-Musâwât, yakni kesetaraan, menghormati sesama manusia. Islam cukup detail mengenai hal ini, bagaimana seseorang harus menghormati sesamanya. Bahkan dalam Al-Quran, Allah sendiri merasa tidak rela jika makhluk yang diciptakan melalui “tangan-Nya” (baca: kuasa-Nya) tak dihormati oleh makhluk lainnya. (QS. 38: 75)

Dalam pandangan Islam, seluruh manusia memiliki kedudukan yang sama dari segi kemanusiaan, meski mereka berbeda suku, bangsa, warna kulit dan sebagainya. Semuanya telah Allah muliakan, dan kehormatannya harus tetap dijaga saat ia hidup ataupun setelah kematiannya.

Ada suatu riwayat, suatu ketika ada jenazah yang diusung melintas di depan Nabi Muhammad SAW, lalu beliau berdiri sebagai bentuk rasa hormat. Lantas ada salah seorang yang menginformasikan pada Nabi bahwa itu adalah jenazah non-Muslim. Maka Nabi mengatakan: “Bukankah ia juga seorang manusia?”

Begitu pula sikap Nabi SAW. saat mendapati musuh-musuhnya yang tewas dalam peperangan Badr. Beliau memerintahkan agar mereka yang mati dikuburkan dengan layak. Karena bagaimanapun mereka juga manusia. Bahkan ada yang mengatakan bahwa manusia lebih mulia daripada Ka’bah yang merupakan kiblat salat kaum muslimin dan simbol “rumah Tuhan”. Sebab, Ka’bah adalah hasil ciptaan manusia. Sementara manusia adalah ciptaan Allah.

Oleh karenanya, memperlakukan beda terhadap orang atau kelompok lain berdasar suku, ras, warna kulit dan keyakinan yang dianutnya, itu adalah sebuah kezaliman terhadap sesama. Sekali lagi, Allah tidak rela ciptaan-Nya dizalimi oleh sesama makhluk-Nya sendiri.

Hal ini sama juga dengan apa yang dikemukakan Nabi SAW. bahwa “manusia bagaikan gigi-gigi sisir, tidak ada keunggulan bangsa Arab atas bangsa Ajam (non-Arab), kecuali berdasar taqwanya”, atau ungkapan “tidak ada keunggulan bagi kulit putih atas kulit hitam, kecuali sebab taqwanya”.

“Salah satu prinsip keadilan sosial adalah manusia harus dihormati (dimanusiakan) karena kemanusiannya,” tegas Dr. Ahsin

Dalam sejarah, ada kisah mengenai putra Gubernur Mesir yang memukul seorang warga miskin. Lalu gubernur tersebut dipanggil oleh Sayyidina Umar bin Khattab dan beliau mengatakan “Matâ ista’badtum al-nâs wa qad waladathum ummahâtuhum ahrârâ?” (Sejak kapan engkau memperbudak orang lain, padahal ia dilahirkan oleh ibunya dalam keadaan bebas merdeka?).

Pernyataan-pernyataan di atas adalah menjadi sebuah bukti kuat tentang persamaan manusia dan menjadi basis utama dalam relasi kemanusiaan. Maka, sifat merdeka yang dimiliki oleh setiap insan sejak kelahirannya, harus dihormati bersama.

Ketiga adalah al-Muâkhât, rasa persaudaraan. Sebagai manusia, sudah selayaknya kita harus memiliki kesadaran bersama bahwa sesama manusia hakikatnya adalah bersaudara.

“Baik itu saudara sesama manusia, saudara sesama tanah air (ukhuwwah al-wathaniyyah), ataupun sesama satu kepercayaan, ini semua harus kita pupuk bersama untuk menjadikan kita semua (menyadari bahwa kita) bersaudara”, terang beliau.

Selain itu, sesama manusia juga harus memiliki kesadaran untuk memupuk rasa kepedulian sosial. Dr. Ahsin menegaskan, sebagai makhluq ijtima’i – makhluk sosial, manusia tak bisa terlepas satu sama lain. Beliau mengutip Syair Abu al-Ala’ al-Ma’arri, seorang filsuf dan penyair Arab (w. 1057), ia mengatakan:  “al-nâs li al-nâs min badwin wa hâdharatin, ba’dhun li ba’dhin wa in lam yasy’urû khadamu”. Seseorang, baik mereka berasal dari pedesaan maupun perkotaan, sejatinya mereka semua menjadi khadim (pelayan) bagi yang lainnya, meski mereka tak menyadarinya.

Satu hal lain yang patut kita ketahui, Tuhan tak hanya menuntut manusia untuk meningkatkan kesalehan spiritual, namun juga menuntut manusia untuk saleh secara sosial. Artinya, suatu kesalehan tidak serta merta hanya diartikan sebagai suatu hubungan antara manusia dengan Tuhannya, namun juga hubungan antar sesama manusia. Bahkan dalam suatu peristiwa tertentu, bisa saja kita harus atau wajib mendahulukan kepentingan sosial-kemanusiaan dibandingkan dengan spiritual-ketuhanan. Hal ini sama sekali tak menyalahi ajaran agama, dan mungkin saja itulah hakikat kesalehan yang sesungguhnya.

Dari hal-hal di atas, kita harus menyadari bahwa keadilan tak dapat terwujud tanpa gerak dan peran bersama. Keadilan dalam hal apapun itu. Karena melanggar keadilan adalah awal suatu kerusakan masyarakat.

Wallahu a’lam bissawab.