Agama merupakan risalah ketuhanan yang berisi ajaran-ajaran untuk menyembah Tuhan. Tidak hanya itu, agama juga berisi ajaran-ajaran akhlak dan memuliakan sesama manusia. Tak terbatas hanya sesama pemeluk ajaran agama. Sederhananya agama merupakan manifestasi kasih sayang yang diturunkan Tuhan kepada manusia. Agar manusia dapat hidup damai, cinta dan penuh kasih sayang.
Akhir-akhir ini justru yang terjadi kebalikan dari ajaran agama tersebut. Kekerasan dan pembantaian terjadi di mana-mana. Parahnya dengan nama agama menodai kemanusian dan citra agama itu sendiri. Tentu ini tidak selaras dengan apa yang diajarkan oleh agama. Agama apapun itu.
Pemahamaman Dangkal dan Fanatik dalam Beragama
Akar masalah kekerasan yang mengatasanamakan agama yang pertama adalah pemahaman tentang agama seseorang yang belum cukup memadai. Hanya menyentuh ranah kulitnya saja tanpa menyentuh dimensi esensial agama. Semisal tentang perintah dalam agama Islam perihal jihad. Kata jihad pun mengalami pendangkalan. Jihad identik dengan berperang. Dulu Allah menurunkan ayat untuk berjihad karena konteks, situasi dan kondisi memungkinkan untuk berjihad (perang). Sehingga Nabi Muhammad menyeru umatnya untuk berjihad.
Berbeda dengan konteks sekarang. Keadaan sudah damai. Maka jihad dalam artian sekarang yaitu melawan kebodohan, melawan kemiskinan, melawan korupsi, melawan kesewenang-wenangan, menciptakan situasi dan kondisi yang aman dan damai.
Gus Dur melalui esai dalam bukunya Islamku, Islam Anda dan Islam Kita berpendapat, pernah dalam sebuah diskusi di Masjid Sunda Kelapa, Jakarta, Gus Dur dikritik oleh Dr.Yusril Ihza Mahendra. Kata Yusril, ia kecewa dengan Gus Dur karena bergaul terlalu erat dengan umat Yahudi dan Nasrani. Bukankah kitab suci al-Quran menyatakan salah satu tanda-tanda seorang muslim yang baik adalah bersikap keras terhadap orang kafir dan bersikap lembut terhadap sesama muslim (Asyidda a’la al-kuffar ruhama baynahum). Menanggapi hal itu, Gus Dur menjawab, sebaiknya Yusril mempelajari kembali ajaran Islam, dengan mondok di pesantren. Karena ia tidak tahu, bahwa yang dimaksud al-Quran dalam kata “kafir” atau “kuffar” adalah orang-orang musyrik (polytheis) yang ada di Mekkah, waktu itu.
Beranjak dari pendapat Gus Dur di atas, kontekstualisasi dan pemahaman dalam mempelajari agama (Islam) khususnya terhadap teks kitab suci dan hadis perlu dipertanyakan kembali. Lebih baik belajar melalui kitab-kitab salaf yang kebanyakan justru diajarkan pesantren. Karena kitab-kitab tersebut merujuk kepada teks al-Qur’an dan Hadis, tetapi sudah disaring dan dipadukan pemahaman mendalam musonnifnya (ulama pengarang). Soal sanad dan keilmuan ulama mushonnif tidak perlu diragukan lagi. Masak iya, kita ragu terhadap ulama-ulama salaf sekaliber Imam Syafi’i, Imam Ghozali, Imam Abu Zakariya Yahya bin Syaraf, Imam Abu Syuja’ Ahmad bin Husain, Imam Bukhari, Imam Muslim, dan masih banyak lainnya.
Ibarat kita belajar kitab-kitab, khususnya kitab salaf, seperti kita makan nasi. Tanpa ikut memasaknya, tanpa ikut menanamnya, tidak ikut merawat padi dan tidak pula ikut memanen. Kita hanya tinggal memakan nasi yang sudah ditanak. Kalau belum bisa memahami ilmu dari kitab-kitab tersebut, maka belajarlah ke pesantren. Karena di sana banyak sekali ustadz-ustadz dan kyai-kyai yang mengkaji kitab-kitab salaf tentang agama khususnya Islam.
Yang kedua yakni fanatik yang berlebihan terhadap Agama. Merasa paling eksklusif. Ini tentu sangat berbahaya. Menganggap agamanya paling benar sendiri (meskipun tiap pemeluk agama mengklaim agamanya paling benar). Jika hal ini tidak diiringi dengan toleransi, maka akan berdampak pada perpecahan antarumat beragama hingga bangsa dan negara.
Prof. Sumanto, seorang pakar antropolog menjelaskan, fanatik dalam beragama timbul karena pemahaman yang instan, parsial dan fragmentedumat beragama terhadap ajaran agama terkhusus agama Islam. Sebagian besar umat Islam di Indonesia bukanlah orang yang ahli agama dalam artian dididik agama secara intensif dilingkungan agama. Sebagian besar informasi keagamaan kaum Muslim di Indonesia diperoleh melalui dunia medsos, yang sumbernya tidak jelas (atau abal-abal) serta dunia kaki lima, yakni tempat-tempat yang menyajikan ajaran dan doktrin Islam secara sederhana dan instan seperti mimbar-mimbar khotbah di masjid, bulletin ruhani, ceramah tujuh menit, kuliah keagamaan di TV dan radio dan tempat-tempat lain dengan informasi keislaman diobral secara murah dalam retorika keagamaan yang sempit.
Hal tersebut tentu berbahaya. Informasi agama yang secara parsial dan instan berpengaruh terhadap konstruk seseorang dalam memahami agama. Lama-kelamaan akan melahirkan kesempitan dalam berpikir dan fanatisme yang kuat dalam beragama. Ujung-ujungnya mengklaim sepihak agama yang dianutnya yang paling benar.
Sederhananya dari uraian panjang penulis di atas, akar dari perpecahan dan kekerasan yang mengatasnamakan agama yakni pemahaman yang dangkal dan fanatik yang berlebihan terhadap agama. Apalagi belakangan ini marak di media sosial dan portal online yang mengajarakan pemahaman islam yang parsial dan kontenya cenderung provokatif. Sudah seharusnya kita turut serta mencegah fenomena ini dengan tidak men-share konten sembarangan dan melakukan gerakan memahami islam yang objektif serta mendalam.