Akankah Pilihanku untuk Bahagia Membawa Keberkahan?

Akankah Pilihanku untuk Bahagia Membawa Keberkahan?

Akankah Pilihanku untuk Bahagia Membawa Keberkahan?

Semua manusia ingin menentukan pilihan atas kehendaknya sendiri. Pandangan ini meyakini manusia punya pilihan yang sangat merdeka demi kepentingan mereka, asal konsekuen dengan rentang resiko dan tanggung jawabnya. Mulai dari urusan life-changing seperti memilih pasangan, memilih pekerjaan, jurusan kuliah, sampai hal yang remeh temeh seperti memilih warna celana dalam atau pilihan rasa mie instan di minimarket.

Didorong dengan pola pikir rasional dan logis, serta gaya hidup yang makin individualistis, semua individu seperti berhak untuk mengakomodasi kepentingannya lewat menentukan pilihannya sendiri. Ekstremnya, bahkan risih menerima masukan, dan menganggapnya melanggar teritori individu.

Akan tetapi, apakah semua orang cocok dibiarkan menentukan pilihannya sendiri?

Kurang lebih itu pertanyaan yang diajukan oleh Shena Iyengar, seorang profesor di Columbia Business School, Amerika Serikat. Dalam bukunya, The Art of Choosing (2010), Iyengar mengajak kita merenungkan kembali tentang pilihan-pilihan yang kita ambil, dan bagaimana itu berpengaruh dalam kehidupan.

Iyengar meneliti tentang pengaruh pilihan dalam kehidupan manusia. Ia bereksperimen dengan mengajak anak-anak usia 7 tahun untuk menggambar dan mewarnai. Anak-anak ini terdiri dari dua kelompok, anak asli keturunan Anglo-american dan anak imigran keturunan Asia di San Fransisco. Masing-masing kelompok diajak bermain menyusun gambar dan mewarnai, dengan instruksi yang berbeda. Instruksi pertama; mereka diberi kebebasan menyusun gambar dan mewarnai dengan pilihan warna mereka sendiri, dan kedua; dengan warna yang dipilihkan oleh orang tua mereka.

Hasil penelitian ini cukup menarik. Bagi keturunan Anglo-american, mereka lebih cepat selesai dan merasa lebih puas dengan hasil pekerjaan mereka ketika diinstruksikan memilih gambar dan warna sendiri. Mereka justru kurang puas ketika diberi instruksi mewarnai dengan warna pilihan orang tua mereka.

Sebaliknya bagi anak imigran Asia, mereka lebih cepat selesai mengerjakan dan lebih puas dengan hasil pekerjaan mereka, ketika diberitahu bahwa warna dan gambar sudah dipilihkan orang tua. Ringkasnya, bagi para imigran Asia, meminta saran atau konsultasi kepada orang yang dipercaya ternyata menjadi unsur penting dalam menentukan pilihan, dan memiliki pengaruh dalam kebahagiaan dan rasa bangga.

Lantas, bagaimana Islam berbicara terkait pilihan dan kebahagiaan itu?

Qur’an telah memberikan pandangan, bahwa kita perlu untuk mengkonsultasikan kepada ahlinya ketika ada di tengah ketidaktahuan. QS Al-Anbiya’ mencatat: “..maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui.”

Term ahli dzikir ini tidak bisa dimaknai sebagai ahli ilmu pengetahuan saja. Menurut Habib Luthfi bin Yahya dalam bukunya Secercah Tinta (2012), ahli dzikir ini juga harus disertai dengan ketaatan dan rasa takut kepada Allah. Pada dasarnya ilmu pengetahuan itu sangat luas. Jika yang dimaksud di sini adalah orang-orang yang ahli dalam ilmu pengetahuan, maka mereka mungkin hanya tahu hal-hal yang kasat mata. Sementara dimensi manusia sangat luas, situasi ketidaktahuan ini yang perlu kita cermati.

Ketidaktahuan ini tidak bisa dimaknai sebagai ketidaktahuan secara rasional saja. Penulis asumsikan ketidaktahuan ini juga sebagai kondisi kegamangan, down, atau mood yang sedang tidak stabil. Ada ungkapan populer “Jangan berjanji saat senang, dan jangan mengambil keputusan ketika marah.” Ini menunjukkan betapa manusia kadang terperdaya oleh kepentingan dan egonya sendiri, yang berpotensi salah. Meski secara kognitif ia baik-baik saja.

Aspek kejiwaan, batin, dan rohani hanya bisa dilihat oleh mereka yang mampu  “mengamati” diri secara batin. Oleh karena itu Muslim di Indonesia akrab dengan tradisi sowan, yakni konsultasi kepada orang yang dihormati atau dituakan (Kiai, Ulama, dsb.), yang dianggap mampu membaca dan memberi rekomendasi dengan lebih jernih, melampaui ego pribadi berkat ilmu, pengalaman dan ketakwaannya.

Selain itu, Islam juga mengenal konsep berkah. Dalam tradisi Islam, berkah tertuang dalam definisi “ziyadat al-khairi wa al-sa’adah” yang berarti tambahnya kebaikan dan kebahagiaan. Kebahagiaan ini merupakan kebahagiaan kolektif bagi keluarga dan orang di sekitar kita.

Maka di sini lah perlu merenungkan kembali apa dan bagaimana pilihan itu. Ketika paradigma rasional memberi ruang bebas bagi individu atas pilihan dan kebahagiaannya sendiri, kiranya bisa saya katakan bahwa dalam Islam, masyarakat di sekitar ikut memikul tanggung jawab untuk memberi masukan terhadap pilihan seseorang. Hal tersebut tidak bisa dimaknai sebagai pelanggaran teritori individu, akan tetapi lebih kepada panggilan untuk ikut mengarahkan seseorang pada kebaikan bersama. Tentu dengan cara yang baik, dan tanpa memaksa.

Walhasil, pilihan itu bukan sekadar cara menyatakan, penegasan sikap pribadi semata. Meski dibarengi dengan kesiapan tanggung jawab, manusia perlu memastikan apakah pilihan pribadi berasal dari pandangan yang jernih. Lebih utama lagi, perlu dipertanyakan, akankah hasilnya membawa keberkahan – berupa tambahnya kebaikan dan kebahagiaan diri sendiri dan orang di sekitar?