Akad Wadi’ah, Perkreditan (Mudayanah), dan Persoalan Bunga Bank (Bag-2 Habis)

Akad Wadi’ah, Perkreditan (Mudayanah), dan Persoalan Bunga Bank (Bag-2 Habis)

Akad Wadi’ah, Perkreditan (Mudayanah), dan Persoalan Bunga Bank (Bag-2 Habis)

Bagaimana dengan konsep perkreditan?

Konsep perkreditan berangkat dari konsep asal aqad utang-piutang (mudayanah). Dalam utang-piutang disyaratkan bahwa utang harus kembali sesuai dengan besaran utangnya. Jika pengembalian uang ternyata disyaratkan adanya tambahan yang lebih besar dari pokok utang, maka sudah pasti hal tersebut adalah termasuk aqad riba yang diharamkan. Lain halnya bila kelebihan tersebut tidak disyaratkan di muka, maka persentase kembalian tersebut adalah bagian dari hibah atau pemberian yang diperbolehkan bagi pemberi utang (kredit). Sabda Nabi SAW dalam sebuah hadits shahih riwayat Bukhari-Muslim:

خياركم أحسنكم قضاء

Artinya: “Sebaik-baik kalian adalah yang paling bagus dalam pembayaran utang.”

Masalahnya adalah persentase kembalian itu adalah sesuatu yang dilazimkan dalam tradisi perbankan. Dasar pelaziman ini adalah undang-undang dan peraturan yang berlaku. Di Indonesia, dasar persentase kembalian ini di atur lewat Peraturan Bank Indonesia (PBI) melalui kebijakan Penetapan Rasio Suku Bunga dengan pertimbangan utama menjaga hak nasabah yang dananya dipergunakan oleh bank. Jika bank tidak mampu memberi jaminan ini, justru bank yang terkena pasal sanksi karena dianggap abai terhadap hak nasabah.

Dengan memperhatikan pada alasan yang kedua ini, penulis menjadi ingat dengan konsepnya Al-Qurthuby, yang dalam kitab tafsirnya menyebut istilah hibbatu al-tsawab. Ada perbedaan memang, yaitu bila menerapkan konsep hibbatu al-tsawab, maka uang nasabah penabung dihadiahkan ke bank. Sementara yang kita tahu dengan meminjam keterangan sebelumnya adalah, uang nasabah hanya dititipkan ke bank, dengan izin pengelolaan bagi bank oleh nasabah namun disertai harapan uangnya bertambah. Padahal dalam pengelolaan, pasti ada harapan keuntungan. Pertanyaannya: bolehkah nasabah juga mengharapkan imbal itu?

Istilah hibbatu al-tsawab, muncul dengan mendasarkan diri pada riwayat tafsir dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma yang menjelaskan:

وما آتيتم من ربا” يريد هدية الرجل الشيء يرجو أن يثاب أفضل منه، فذلك الذي لا يربو عند الله ولا يؤجر صاحبه ولكن لا إثم عليه

Artinya: “Riba yang kalian berikan” maksudnya adalah terkait orang yang memberikan hadiah sesuatu kepada orang lain, dengan mengharapkan ganti yang lebih baik. Pemberian semacam ini tidak akan berkembang di sisi Allah, orangnya tidak mendapat pahala. Meskipun dia juga tidak mendapat dosa.”

Dasar lain yang juga dipergunakan oleh al-Qurthuby adalah riwayat tafsir dari Ikrimah radliyallahu ‘anhu:

الربا ربوان، ربا حلال وربا حرام، فأما الربا الحلال فهو الذي يهدى، يلتمس ما هو أفضل منه

Artinya: “Riba itu ada 2: riba halal dan riba haram. Riba halal adalah orang yang menghadiahkan sesuatu kepada orang lain, dengan harapan akan diganti yang lebih baik dari apa yang dia berikan.”

Al-Dhahak menyatakan bahwa:

هو الربا الحلال الذي يهدى ليثاب ما هو أفضل منه، لا له ولا عليه، ليس له فيه أجر وليس عليه فيه إثم

Artinya: “Itulah riba yang halal, yaitu orang yang memberi hadiah dengan maksud untuk mendapatkan kembalian yang lebih banyak. Tidak ada kelebihan untuknya dan tidak ada yang salah darinya. Artinya, tidak ada pahala untuknya dan tidak ada dosa darinya.”

Kesamaan hibbatu al-tsawab dengan bunga yaitu: “nasabah deposito (sumber utama dana perkreditan), memiliki harapan bertambahnya uang yang ia tabungkan. Dan kenyataan adanya harapan ini tak dapat dipungkiri benar adanya.

Sekarang mari abaikan sementara konsep hibbatu al-tsawab di atas dan keberadaan PBI yang mengatur wajibnya pemberlakuan rasio suku bunga yang wajib diterima oleh nasabah. Kembali ke soal aqad mudayaanah (perkreditan).

Jika kita terpaku pada konsep akad mudayanah ini, permasalahannya adalah benarkah bahwa perkreditan di bank diterapkan melalui konsep utang-piutang? Di sini kita mendapati di lapangan telah terjadi perdebatan seru di kalangan fuqaha’.

Sebagian fuqaha’ ada yang menganggap bahwa secara dhahir bahwa akad itu berangkat dari akad utang-piutang. Anggapan ini bukan tidak berdasar. Dasar yang mereka pakai adalah bahwa setiap nasabah yang mengajukan kredit ke bank selalu beranggapan bahwa mereka sedang berutang ke bank. Dan zhahir lafaz ini secara sharih terlihat dalam setiap kesempatan mau mengajukan kredit.

Sebagian fuqaha yang lain, ada juga yang menganggap bahwa akad itu tidak berasal dari akad utang-piutang, melainkan berangkat dari akad bagi hasil (mudharabah). Anggapan seperti ini juga bukan tidak memiliki dasar. Mereka menyampaikan fakta bahwa ada skim investasi dalam produk perbankan, seperti deposito dan reksa dana.

Sebagian lagi ada juga yang menganggap bahwa hal itu berangkat dari konsep jual beli dengan keuntungan (murabahah). Anggapan ini berangkat dari indikasi adanya agunan dalam setiap kredit perbankan. Ketika terjadi keterlambatan pembayaran kewajiban dari nasabah kredit, maka agunan itu dilelang oleh bank. Lelang ini merupakan dalil dzahir atas keberadaan jual beli dalam praktik perkreditan, meskipun secara sharih tidak disebutkan dalam teks perjanjian di awal akadnya. Hasil keuntungan jual beli itu kemudian dibagi antara nasabah dengan perbankan. Hasil pembagian tersebut kemudian dinamakan “bunga kredit”.

Ulama yang mengadopsi pendapat bahwa akad perkreditan dalam perbankan adalah  termasuk kategori akad “jual beli” adalah Syeikh Wahbah al-Zuhaily. Beliau menyatakan bahwa bunga bank (fawâidu al-bunuk) dari jalur akad perkreditan ini masuk dalam rumpun riba nasa’, yaitu riba yang berasal dari jual beli kredit yang tidak maklum harga pastinya. Bagaimana mungkin mau dianggap sebagai riba nasa’ jika tidak ada praktik jual beli kredit yang diakui secara dhahir dalam praktik penyaluran kredit itu? Masalah kemudian ia menjadi riba, adalah karena faktor tidak adanya kejelasan harga barang. Seandainya ada kejelasan harga, maka sudah pasti hilang illat riba tersebut dan keuntungan yang dibagikan (bunga deposito) menjadi jelas halalnya.

Pendapat terakhir secara tidak langsung melahirkan hukum syubhat terhadap bunga bank yang dihasilkan dari jalur perkreditan. Pertimbangan ini mungkin berasal dari kecenderungan pola pemenuhan kewajiban oleh nasabah kredit. Kadang nasabah ada yang tepat waktu dalam menunaikan tanggungannya, dan kadang tidak tepat waktu. Untuk yang tidak tepat waktu inilah akar masalah riba nasa’ tersebut timbul. Lain halnya dengan yang tepat waktu dalam pemenuhannya. Mungkin dalam hal ini perlu kajian lebih lanjut.

Dalam Musyawarah Nasional Jam’iyah NU Tahun 2002, telah diputuskan rincian hukum bunga kredit. Secara rinci dipilah antara perkreditan untuk jalur konsumtif dan jalur produktif. Jika perkreditan dilakukan untuk jalur konsumtif, maka sepakat diputus haram. Adapun untuk perkreditan untuk jalur produktif, maka diperbolehkan (halal). Keputusan pengharaman untuk jalur konsumtif dilatarbelakangi oleh illat keharusan pengetatan hukum untuk hal-hal yang sifatnya dimakan atau dikonsumsi. Hal ini tidak berlaku pada jalur produktif, disebabkan nuansa bagi hasil ini lebih menonjol dibanding jalur konsumtif.

Pada jalur produktif, umumnya perbankan menyalurkan kredit melalui akad istitsmar (investasi) atau akad istishna’ (jual beli pesan perakitan). Dalam investasi, bank merupakan wakil dari nasabah yang memilih jalur deposito atau reksadana. Sebagai wakil, ia berhak mendapatkan ujrah. Dalam fikih, wakil berkedudukan sama dengan muwakkil (nasabah), khususnya dalam tasharruf harta. Debitur (pihak yang berutang) merupakan mudharrib (pengelola dana investasi).

Efek dari bagi hasil ini, pihak perbankan selaku wakil nasabah berhak mewakili nasabah dalam menerima bagian bagi hasilnya. Selanjutnya hasil tersebut dikembalikan ke sejumlah nasabah produk investasinya dengan rupa “bunga deposito” atau “bunga reksadana”. Nah, apakah bunga ini termasuk riba? Sudah pasti tetap akan menyisakan banyak ragam pendapat mengingat cara pandang yang berbeda terhadap konsep perkreditan di atas.

Walhasil, sebagai kesimpulan, bagaimanapun juga menempatkan kedudukan bank sebagai lembaga ‘jasa’ merupakan kunci utama mendialogkan kembali kedudukan bunga bank. Tak terkecuali juga mencermati setiap akad produk perbankan yang diikuti adalah kunci memahami. Dengan bank didudukkan sebagai lembaga jasa, itu artinya wajib berlaku ujrah (upah). Ijarah dan ujrah merupakan satu kesatuan kinerja di lapangan.

Ujrah yang berlaku bagi bank bisa bermacam-macam, antara lain selaku ujrah karena jasa penitipan dan ujrah selaku wakil nasabah dalam menyimpan dan menyalurkan dana investasinya. Ada peluang pembacaan lain terhadap hukum bunga bank, yaitu memperhatikan keberadaan Peraturan Bank Indonesia (PBI) tentang penetapan rasio suku bunga yang mana hal ini menjadi dasar utama “budaya organisasi” (urf tsabit) di lingkup lembaga jasa keuangan.