Akad Wadi’ah, Perkreditan (Mudayanah), dan Persoalan Bunga Bank (Bag-1)

Akad Wadi’ah, Perkreditan (Mudayanah), dan Persoalan Bunga Bank (Bag-1)

Akad Wadi’ah, Perkreditan (Mudayanah), dan Persoalan Bunga Bank (Bag-1)

Tulisan ini bermula dari sebuah perdebatan panjang persoalan bunga bank. Argumen satu tidak bisa mematahkan argumen lain. Sulitnya memaksakan teks literal, karena kadang dirasa belum mampu memberikan solusi terhadap permasalahan lembaga jasa keuangan yang dalam beberapa aspek harus mengikuti aturan yang digariskan. Yang ada terkadang malah menyebabkan macet bila hal itu diterapkan. Padahal, yang diinginkan adalah terwujudnya kemaslahatan. Bagaimana mungkin sesuatu yang maslahah justru macet? Ini yang mengundang pemikiran banyak pihak.

Dalam kajian ini, kita akan berikan dua contoh kupasan akad yang lazim dipergunakan dalam produk lembaga jasa keuangan. Kedua akad tersebut adalah akad wadi’ah (titipan) dan mudâyanah (perkreditan).

Penerapan Akad Wadi’ah dalam Produk Tabungan

Kita ambil contoh misalnya penerapan konsep asal wadi’ah (akad titipan) yang merupakan dasar dari akad tabungan. Konsep asal wadi’ah menyebutkan bahwa setiap barang yang dititipkan wajib kembali seperti sedia kala saat ia dititipkan. Titip sepeda dengan merek A, ya harus kembali dengan sepeda merek A sebagaimana awal penitipan. Tapi, ini tidak terjadi di lembaga jasa keuangan karena mustahil menerapkan akad wadi’ah (titipan) ini, atau setidaknya adalah masyaqqah (kesulitan) bila hal itu diterapkan. Hal ini mengingat, bahwa praktik yang berlaku dalam perbankan atau lembaga keuangan adalah bahwa uang yang ditabungkan (baca: dititipkan), sudah berbeda dengan uang yang diambil oleh nasabah, meskipun nilai dan nominalnya sama. Lantas, ini disebut dengan akad apa?

Berangkat dari sini, lalu muncul turunan (cabang) dari akad titipan (wadi’ah), yaitu akad wadi’ah yadu al-amanah (titip disertai amanah/kepercayaan) dan wadï’ah yadu al-dhammanah (yaitu: titip yang disertai jaminan bahwa bila uang itu dibutuhkan, maka penitip harus bisa menerima uang itu kembali secara utuh). Dalam akad wadi’ah yang pertama, menyimpan makna bahwa lembaga tempat menitipkan barang (bank), tidak boleh menggunakan barang yang dititipkan. Sedangkan dalam akad wadi’ah yang kedua, lembaga jasanya boleh menggunakan barang titipan, asalkan nilainya tetap dijamin.

Sampai di sini, maka jelas sudah bahwa telah terjadi perubahan makna dan praktik dari konsep asal akad wadi’ah sebagaimana tertuang dalam kutub al-mu’tabarah yang mensyaratkan harusnya kembali berupa barang dan nilai yang dititipkan, dan tidak hanya sekedar berjamin nilainya saja. Dalam kutub al-mu’tabarah disebutkan bahwa الوديعة أمانة (wadi’ah itu adalah amanah). Pertanyaannya, lantas bagaimana hukumnya mengikut wadi’ah yadu al-dhammanah? Apakah sah menggunakan akad turunan ini?

Jika kita sekedar terpaku dan berhenti pada konsep asal bahwa wadi’ah adalah amanah dengan praktik titip barang A harus kembali A, maka sudah pasti akan diputus bahwa akad itu tidak sah, karena telah terjadi perubahan pada barang yang dititipkan. Karena, uang lama saat dititipkan, berubah menjadi uang baru saat diambil. Namun, bila kita mencermati kembali terhadap konsep uang dengan illat bahwa ia adalah harta, maka akad wadi’ah semacam di atas, adalah sah. Hal ini adalah berangkat dari mengingat kembali bahwa harta dalam fikih, tidak hanya berhenti pada pengertian sebagai barang yang nampak mata. Akan tetapi ‘manfaat’, ternyata juga bisa disebut sebagai harta.

Manfaat adalah sesuatu yang tak nampak oleh mata, namun bisa dirasakan kehadirannya. Pulsa dari sisi wujud barangnya, ia tidak nampak. Namun keberadaan pulsa bisa dirasakan manfaatnya. Jika pulsa habis, nyatanya tidak bisa menggunakan pesawat telepon genggam. Itu sebabnya, pulsa bisa juga disebut sebagai harta.

Dengan konsep harta yang bisa terdiri atas manfaat ini, maka akad pertama saat orang menabung menitipkan uang di bank, maka hakikatnya adalah ia sedang tidak menitipkan “barang,” melainkan ia seharusnya dipandang sebagai menitipkan “manfaat” dari uang yang diukur lewat nilai tukarnya.  Sampai di sini, harap kita mencermati perbedaannya.

“Konsep ashal wadi’ah” sebagai amanah di atas, secara jelas tidak mungkin diterapkan di lembaga keuangan mengingat bank adalah lembaga jasa. Sesuai dengan namanya, setiap jasa pasti menghendaki imbal jasa (ujrah). Tanpa keberadaan imbal jasa itu, maka sebuah lembaga jasa tidak bisa disebut sebagai lembaga jasa. Mungkin ia adalah lembaga donasi, atau lembaga semacam sukarelawan (volunteer).

Nah, dalam perkembangannya, kemudian ujrah bagi lembaga jasa keuangan ini, dalam bank konvensional dinamakan sebagai “bunga”. Dari sini lahir permasalahan, apakah bunga memenuhi syarat sebagai “ujrah” dari jasa yang diberikan oleh bank bilamana ia bergerak dalam akad turunan di atas, yaitu akad wadi’ah yadu al-dhammanah (tabungan)?

Menerima akad wadi’ah yadu al-dhammanah sebagai bagian dari akad tabungan, itu artinya sama dengan membuka kran ‘urf yang dilazimkan bahwa nasabah telah mengizinkan lembaga jasa keuangan untuk menggunakan uangnya. Jadi, andaikan perbankan mentasarufkan harta titipan itu ke sebuah bidang usaha, maka sama artinya bahwa pentasarufan bank telah diberi izin oleh nasabah, meskipun kalimat izinnya itu tidak lagi perlu dilafadzkan.

Prinsip izin yang berlaku di bank ini layaknya menyerupai akad bai’ muathah, yaitu akad jual beli tanpa akad transaksi, melainkan berdasar kelaziman. Seseorang yang nongkrong di warung, berani ambil pisang goreng, karena ada keyakinan bahwa harganya tidak terlalu mahal. Biasanya berharga 2 ribu rupiah per biji. Jika kita ikuti hukum yang ketat, seharusnya sebelum makan pisang goreng, harus ada shighat aqad transaksi dulu. Namun, hal itu tidak dilakukan disebabkan unsur yasiir (sedikit).

Demikian pula dalam tradisi izin, umumnya perlu langsung bicara ke pihak yang bersangkutan. Misalnya: “Cak, Kang, saya izin pinjam motornya, ya?” Lalu dijawab oleh pihak yang dimintai izin: “iya, silahkan!.” Nah, lafaz izin seperti ini tidak lazim di bank.

Buntutnya adalah, setiap ada uang yang dititipkan ke bank lewat produk tabungan, secara otomatis langsung seolah berbunyi “diizinkan” untuk “ditasarufkan” oleh bank, dan ini menjadi budaya organisasi (urf). Yang terpenting bagi nasabah adalah keamanan barang yang dititipkan ditambah catatan sewaktu-waktu ia membutuhkan, ia bisa mengambil dananya.

Melihat sisi urf organisasi dan penerapan budaya akad wadi’ah ini, maka seolah berlaku qa’idah ushuliyah bagi dasar kelaziman tersebut, yaitu:

الثابت بالعرف كالثابت بالنص

Artinya: “Sesuatu yang bersifat tetap berdasar ‘urf hukumnya seperti sesuatu yang tetap berdasarkan nash.”

Sampai di sini berarti ada perbedaan mengenai status uang itu oleh nasabah terhadap bank. Status uang tidak dipandang sebagai “nasabah mengutangi bank” melainkan dipandang sebagai “nasabah telah memberi izin ke bank.”

Kiranya dua status ini berbeda dalam efek fikihnya. Di sini penting untuk kita cermati. Dan ini berlaku pada produk “Tabungan.” Karena status izin pengelolaan ini, maka “bunga tabungan” seolah bukan berasal dari “bunga yang muncul dari akad utang-piutang”, melainkan berasal dari harta titipan yang diizinkan penggunaannya oleh perbankan dengan besaran nilai pengembalian yang dijamin. Dengan demikian, persentase “Bunga Tabungan” yang ada di muka seolah bukan merupakan “syarat yang ditetapkan di muka” sehingga tidak menabrak pada qaidah:

كل قرض جرى نفعا للمقرض فهو ربا

Artinya: “Setiap utang yang menarik/memberi kemanfaatan bagi pemberi utang, maka ia adalah riba.”