Kehadiran Nabi SAW tak lain untuk menenun benang kemanusiaan. Ia hadir mempersatukan dan mempersaudarakan (al-muakhkhah) antar sesama. Misalnya, pesan al-Qur’an surat al-Hujurat ayat 10 katakan bahwa orang mukmin itu bersaudara (ikhwatun). Untuk menyatakan orang mukmin bersaudara al-Qur’an menggunakan ikhwatun, artinya ikatan saudara seagama semestinya diperlakukan tak ubahnya saudara se-biologis.
Namun, rasa persaudaraan nan kasih se-agama itu tak cukup hanya karena seagama atau sekeyakinan, sebab apa yang disebut beriman, maka kasih sayang, kepedulian sosial, mecintai tanah airnya adalah buahnya. Nabi SAW kerap mengingatkan iman itu jika engkau menyayangi sesama tak ubahnya engkau peduli pada dirimu sendiri, atau nasihat ulama cinta dan peduli terhadap bangsamu tanda sebagai orang beriman
Dari titik kesadaran itu, ulama mengajak kita untuk merekatkan dua catatan persaudaraan tersebut yaitu ukhuwwah wathaniyyah (rasa senasib sesama anak bangsa) dan ukhuwwah insaniyyah (senasib dan sepersaudaraan sesama manusia). Lantas, apa makna dan untuk apa keduanya?
Pertama, ukhuwwah wathaniyyah (komitmen kebangsaan), umat Islam usai menunaikan shalat sebagai tanda orang beriman, maka kewajiban yang lain ada pada jalinan untuk meneguhkan cita kebangsaan. Bagaimana itu diterapkan? Ia akan membawa watak ke-Islamannya dengan semangat dan nilai-nilai dalam ibadah shalatnya yaitu persatuan dan kesamaan.
Mengapa dengan cara persatuan dan kesamaan? Sebab tak ada jejak yang bisa dilalui untuk bahagia dan tentram kecuali dengan cara al–muakhkhah (mempersaudarakan), dan itulah perjuangan mulia Nabi SAW. Maka kesenjangan ekonomi tak tampak karena yang miskin didekatkan dengan orang kaya, kesenjangan sosial ditata dengan cara “preman” kala itu didekatkan dengan orang shaleh, bahkan kalangan pemikir didekatkan dengan ahli ibadah. Cara Nabi begitu cerdas guna menyatukan umat manusia tanpa ada sekat-sekat dan pemisah perbedaan manusia.
Kedua, ukhuwwah insaniyyah (tali persaudaraan sesama manusia), yaitu tak ada lagi bicara soal suku, agama, budaya dan warna kulit seseorang melainkan kesadaran bahwa sesama manusia dari sumber penciptaan yang sama idealnya saling meng-arifi, memahami dan menghormati pada sesama. Karena itu, Islam mengajarkan pada umatnya dunianya bahagia dan berdampak baik pula di kehidupan akhirat.
Di antara ajaran Nabi SAW untuk menyatukan rasa kemanusiaan adalah Nabi SAW selalu berpesan pada sahabatnya afsyu al–salam (tebarkanlah salam). Sehari-hari Nabi SAW tak pernah ada dendam dan benci pada sesama walaupun kerap didzalimi. Karena itu, menyebarkan salam (keselamatan) atau kedamaian pada sesama lebih bermartabat ketimbang membalas dengan kejahatan yang sama. Seperti ungkapan orang bijak memaafkan adalah kunci untuk tindakan dan kebebasan.
Sisi lain, perekat kemanusiaan itu ditandai sikap peduli, tak senang jika orang lain susah dan menderita, tak ingin membebani orang lain bahkan ingin meringankan beban kepada sesama apapun agamanya. Rasa kemanusiaan seperti ini kerap di sampaikan oleh Nabi ith’amu al–tha’am (berilah makan pada orang lain). Rasa cinta kemanusiaan itu yang digaungkan oleh Nabi, sehingga cinta kemanusiaan seseorang punya mata untuk melihat derita orang, punya telinga untuk mendengar pilu dan kesengsaraan orang, bahkan punya tangan untuk menolong pada siapapun.