Foto, video dan media sosial seakan tidak terpisahkan. Ketiga hal ini mewarnai kehidupan manusia bahkan mengkonstruksi kehidupan sosial manusia, termasuk ibadah. Hampir tidak ada momen yang dilewati manusia tidak ditangkap kamera menghasilkan foto atau video, kemudian diupload ke media sosial sebagai tanda eksistensi diri. Coba kita buka media sosial kita, lini masa atau beranda media sosial kita akan dipenuhi foto dan video pendek sebagai eksistensi diri penggunannya.
Kemunculan kamera dalam telefon pintar ditambah kelahiran media sosial berbasis foto dan video, memang menyihir perilaku masyarakat kita agar selalu menggunakan kamera untuk menangkap momen biar bisa diabadikan dalam bingkai foto dan video atau dimasukkan dalam media sosial tersebut.
Tidak ada momen kehidupan manusia yang tidak terekam di media sosial, bahkan ibadah sekalipun. Misalnya sedang mengikuti pengajian, bukannya mendengarkan dan menyimak isi pengajian malah disibukkan dengan foto dan video sebagai tanda kehadiran dalam pengajian tersebut. Banyak momen ibadah direkam oleh kamera pribadi dan diupload di media sosial. Perilaku ini bukan tidak menimbulkan masalah, sebab ada seorang ustadz diserang dan dibela bahkan dipuja melalui potongan-potongan video ceramah dan foto yang dikreasi menjadi meme.
Kata “Instagramable” menjadi kata sakti, menggantikan kata “fotogenic” bahkan lebih kuat dibanding adagium “sebuah foto memiliki beribu cerita”. Di hampir semua acara resepsi pernikahan, seminar, hingga acara-acara keagamaan tidak lupa membuat sebuah tempat khusus bernama “photo booth”, agar para undangan, peserta juga jemaah mudah untuk mengabadikan kehadiran mereka di acara-acara tersebut.
Beberapa spot di kota pun tak luput dari sihir kata “Instagramble” ini, yang kemudian disulap menjadi tempat yang layak untuk difoto atau direkam video. Beberapa tempat yang dulunya terlihat kumuh pun dicat berwarna-warni dan diberi nama kampung pelangi. Namun, menurut laporan koran ternama ibu kota, seiring melunturnya cat tersebut maka menurun pula jumlah kedatangan orang ke tempat tersebut. Jawaban “tidak lagi bagus untuk difoto” atau “sudah datang berkali-kali” dari dengan mudah keluar mulut pengunjung pun saat ditanya kenapa tidak lagi mengunjungi tempat tersebut.
Selain “Instagramable”, ada lagi kata sakti dalam media sosial yaitu “viral”. Kata ini benar-benar menyihir pengetahuan masyarakat. Sebab, apabila foto atau video yang viral bisa menjatuhkan atau melambungkan seseorang. Yang terbaru ada video pendek seorang ustadz menghina ustadz yang lain dengan menyerang hal-hal yang bersifat pribadi sekali. Foto dan video sekarang ini benar-benar bisa merubah kondisi sosial masyarakat dalam waktu yang singkat.
Maurice Halbwachs menuliskan “Waktu itu bukan cuma soal rentang, tapi juga soal memori yang dihidup didalamnya”. Foto atau video memang bisa menangkap momen dari sebuah kejadian, tapi memori akan kejadian tersimpan rapi dalam pikiran manusia. Oleh sebab itu, foto dan video hanya medium pembantu untuk memantik memori yang tersimpan dalam otak manusia.
Namun di masa posmodern ini, tatanan sosial seakan dibentuk dari citra yang mendominasi rasa realitas kita sekarang. Citra seakan menjadi cara kita mendefenisikan diri kita dan dunia sekitar kita. Tampilan permukaan dan gaya menjadi lebih penting dan pada gilirannya sampai pada “Citra mendominasi narasi” tulis Harvey dalam bukunya The Condition of Postmodernity.
Kita sekarang lebih sering mengkonsumsi citra dan tanda, dan sering mengabaikan pertanyaan tentang nilai dan kegunaan. Inilah yang membuat kita mempertanyakan ulang apakah momen yang kita tangkap melalui foto dan video itu merekam memori atau cuma sebuah permainan citra yang kita tampilkan sebagai konstruksi diri.
Substansi seakan luntur dengan sendirinya tanpa bekas sedikitpun. Konstruksi diri melalui citra yang kita lakukan hanya membuat kita mengkonsumsi kepalsuan dalam citra ketimbang manfaat atau nilai-nilai yang lebih dalam dari simbolisasinya. Foto atau video yang penuh dengan citra akan mendistorsi juga cenderung mengabaikan memori, integritas, realisme, kedalaman intelektual.
Jika kita jalan ke sebuah mall, menonton di sebuah bioskop, menonton sebuah konser, bahkan menghadiri seminar, maka kamera telefon pintar tidak putusnya merekam atau memfoto, baik untuk selfie atau cuma mengabdikan momennya. Namun pernahkah kita mempertanyakan, apakah ini bagian dari mencitrakan diri atau memang kepentingan dokumentasi? Namun perjalanan foto atau video itu tidak berhenti di memory card telefon pintar tersebut, tapi sering dipancak di media sosial seperti Instagram, Facebook atau Twitter sebagai tanda eksis diri kita, kemudian ditambah tanda pagar atau hastag sebagai pengelompokan foto tersebut.
Memori sebuah foto atau video seakan lenyap disapu pencitraan. Misalnya, saat kita menghadiri seminar atau ceramah, nilai-nilai yang disampaikan dalam seminar atau ceramah pun sering luput tersimpan dalam memori kita karena kesibukan kita menampilkan pencitraan.
Inilah refleksi bagi kita semua, melaksanakan ibadah seperti mendengarkan ceramah, ibadah haji, berbuka puasa, dan lain-lain seharusnya tidak dirusak dengan pencitraan yang bisa saja dilakukan kita pribadi tidak hanya politisi yang selama ini kita tuduh sering melakukan pencirtraan.
Yuk jagalah kekhusyukan dalam beribadah untuk menyingkirkan kamera dan telepon pintar, biarlah kenikmatan beribadah berpadu dengan mesra dengan memori kita sendiri tanpa dirusak pencitraan. Jangan sampai nasib ibadah kita, berhenti disebabkan oleh tidak lagi “Instagramable”.