Untuk menggalang dukungan, Nu’man bin Bisyir membawa baju gamis Sayidina Ustman yang berlumur darah ke kota Syam (Siria). Baju yang dikenakan Ustman saat dibunuh oleh penyusup ketika rumahnya dikepung 25.000 demonstran dari Mesir dan Kufah (Iraq saat ini). Nu’man juga membawa serta jari-jari istri Ustman yang dipotong oleh penyusup saat peristiwa pembunuhan itu terjadi.
Sayidina Muawiyah menempatkan baju gamis Ustman dan potongan jari istrinya di podium. Khalayak ramai menangis histeris menyaksikan gamis berlumur darah dan jari Istri Ustman. Muawiyah berorasi, “tidak akan menyetubuhi istri dan tak akan beristirahat diranjang sampai bisa mengeksekusi pembunuh Utsman”. Muawiyah menuntut Imam Ali untuk mengeksekusi para pembunuh Ustman, Ali menolak, selain karena jumlahnya banyak juga Ali khawatir jika itu dilakukan akan mengganggu stabilitas. Terlebih transisi kekuasaan dari Sayidina Ustman yang terbunuh kepada Imam Ali belum lama berselang.
Singkat cerita kedua pasukan berhadap-hadapan, terjadilah perang antara Sayidina Muawiyah dan Imam Ali. Puncak peperangan terjadi pada Jumat dinihari. Kemenangan segera berpihak pada Imam Ali. Melihat pasukan Muawiyah terdesak Amr bin Ash memberi advis pada Muawiyah, “pasukan kita perintahkan mengangkat tombak tinggi-tinggi, diujungnya kita ikatkan al-Quran lalu mereka kita perintah untuk berteriak ‘kita kembali pada al-Quran’. Kalau pasukan Ali menerima ajakan ini, perang selesai, kalau sebagian pasukan menolak, pasukan Ali akan pecah. Ini cukup untuk membuat pasukan kita istirahat’ perang”.
Sebagian pasukan Imam Ali berseru ” Kami menyambut seruan al-Quran”. Imam Ali berteriak;
“يا عباد الله ! امضواعلى حقكم وقتال عدوكم فان معاوية وابن أبي معيط حبيبا وابن أبي سرح والضحاك ليسوا باصحاب دين ولا قران انا اعرف بهم، صحبتهم اطفالا ورجالا فكانواشرا اطفال وشر رجال. ويحكم والله ما رفعوها الا مكيدة وخديعة”
“Wahai Hamba Allah, rebut hak kalian perangi musuh-musuh kalian. Muawiyah, Ibn Abi Muith, Habib, Ibn Abi Sarah, Dohak bukan orang “beragama” bukan pula ahli al-Quran, aku sangat mengenal mereka. Aku berkawan saat kanak-kanak dan setelah dewasa, mereka seburuk-buruknya anak kecil dan seburuk-buruknya orang dewasa. Demi Allah seruan mereka untuk ‘kembali pada al-Quran” hanya tipu daya dan kelicikan semata-mata.(Tarikh Ibn Khaldun, Dar Turats Ihya Arabi, Jilid II, hlm 508-529)
Sebagian pengikut Imam Ali yang kelak menjadi embrio Khawarij menjawab, “bagaimana mungkin seruan untuk kembali pada al-Quran kami tolak”.
Imam Ali berseru lantang, “Kita memerangi mereka justru agar mereka berpegang teguh pada al-Quran karena selama ini mereka menelantarkan al-Quran”.
Demikian sejak dahulu, saat cara-cara gentel dan terhormat tidak mungkin menghantarkan kemenangan maka jalan pintas digunakan, “kembali pada al-Quran”, seperti seruan Amr bin Ash. Ada juga sekelompok orang yang merasa paling Islam, paling taat dan paling membela al-Quran seperti Khawarij, saat dinasehati Imam Ali bahwa seruan itu tipu daya belaka, mereka menceramahi seorang yang disebut “pintu kota Ilmu” oleh Nabi saw,
لا يسعنا ان ندعى الى كتاب الله فلا نقبل.
“Tidak mungkin kami menolak seruan kembali pada al-Quran”.
Seruan berhukum dengan al-Quran yang di dengungkan Muawiyah memicu peperangan antara Imam Ali dan Muawiyah, sebab Muawiyah “ngotot” menegakan hukum qishos yang dinyatakan al-Quran, sehingga Muawiyah menuntut Imam Ali mengeksekusi puluhan ribu demonstran yang terlibat pembunuhan Ustman. Seruan ini menimbulkan perang Jamal dan sifin.
Seruan kembali pada al-Quran yang dicetuskan Amr bin Ash pada perang Sifin yang menyebabkan Imam Ali kehilangan haknya sebagai Pemimpin, Imamnya Kaum Muslimin.
Dan pengakuan cemburu (ghirah) pada al-Quran yang diklaim Khawarij membuat pasukan Ali kehilangan soliditas dan akhirnya Ali kalah dalam perang sekaligus kehilangan jabatan sebagai Amirul Mu’minin.
Seruan-seruan semacam itu pekerjaan “ringan” tapi dampaknya luar biasa. Mungkin Amr bin Ash tidak membayangkan dampak seruannya itu kelak, Ahli Bait dibantai selama berabad-abad lamanya.
Mungkin pula, banyak yang tidak akan menduga bahwa energi yang dikeluarkan sangat besar dan dampaknya akan sangat luar biasa bagi kebangsaan dan cara kita bernegara kedepan. Ibn Khaldun menulis, dimasyarakat primitif hanya ada dua cara untuk memobilisasi masa dan membuatnya solid, pertama isu primodialisme dan rasialisme-kesukuan yang kedua isu dan klaim-klaim keagamaan.
Kita perlu merenungkan nasihat Imam Ali di atas, subtansinya, bahwa beragama itu tidak cukup semangat membabi-buta atau sok memiliki ghirah Islam, tidak cukup itu saja. Beragama itu harus pake otak dan nalar sehat. Nampaknya ini yang kita alami saat ini, keberagamaan semakin semarak namun akal dan nalar sehat semakin tidak mendapatkan tempat.