Air hujan sangat bermanfaat bagi manusia. Dengannya, makhluk hidup menjadi bungah. Allah Swt berfirman, “Dan Kami turunkan dari langit air yang banyak manfaatnya, lalu Kami tumbuhkan dengan air itu pohon-pohon dan biji-biji tanaman yang diketam.” (QS. Qaf [50]: 9).
Dalam sebuah hadis, ketika hujan turun, Nabi Muhammad Saw mengajarkan dan menganjurkan setiap muslim untuk bedoa dengan merapal “Allahumma shayyiban nafi’an” (Ya Allah, jadikan hujan yang turun ini sebagai hujan yang bermanfaat). (HR. Bukhari)
Meski begitu, di sisi lain, diakui atau tidak, hujan juga kadang menjadi masalah tersendiri bagi sebagian orang. Misalnya saja mereka yang sedang bepergian dan tidak membawa payung; atau mereka yang memiliki tanaman yang akan rusak jika kebanyakan terkena air; dan mereka yang sedang melakukan kegiatan yang melibatkan orang (hajatan, pengajian, dan lain-lain).
Nabi mengajarkan untuk berdoa bagi siapa saja yang merasa perlu berlindung dari derasnya hujan, yakni lewat sabdanya yang diriwayatkan oleh Sahabat Anas,
“Allahumma hawalayna wa la ‘alayna, Allahumma alal akami wad thirobi, wa buthunil audiyyati wa manabitis syajari”
(Ya Allah turunkanlah hujan di sekitar kami, namun jangan untuk merusak kami. Ya Allah turunkanlah hujan di dataran tinggi, beberapa anak bukit, perut lembah dan beberapa tanah yang menumbuhkan pepohonan).
Meski begitu, urusan pengabulan doa ini, Allah Swt sepenuhnya memiliki hak prerogatif untuk mengabulkan dan tidak mengabulkan, atau bahkan mengabulkan dalam wujud yang lain.
Namun bagi mereka yang telah dekat dengan-Nya, sudah pasti segala urusan mereka yang bersangkutan akan dipermudah oleh-Nya.
Apa yang pernah terjadi di Pesantren Situbondo, misalnya, menjadi bukti betapa krusialnya air hujan dan fenomena terkabulnya doa seorang waliyullah. Cerita ini tertuang dalam Karamah Para Kiai karya Samsul Munir Amin.
Jadi, pada tahun 1984, organisasi keagamaan Nahdlatul Ulama (NU) mengadakan muktamar yang bertempat di pesantren Salafiyyah Sya’fi’iyyah, asuhan Kiai As’ad Syamsul Arifin.
Kegiatan itu rencananya akan didatangi oleh almarhum Presiden Soeharto. Agendanya, presiden akan tiba dengan menggunakan helikopter dan mendarat di lapangan Sodung, sekitar 2 km dari pesantren.
Karena kondisi lapangan sangat berdebu, maka dibentuklah para panitia khusus yang mengemban tugas spesifik untuk menangani mendaratnya helikopter presiden itu dan berencana menyiram lapangan dengan hujan buatan, yakni menggunakan truk tangki yang berisi air.
Saat panitia khusus itu sedang bekerja membahasi lapangan, tiba-tiba Kiai As’ad datang. Beliau mengatakan bahwa anggaran yang digunakan untuk menyirami lapangan itu hendaknya digunakan untuk membenahi jalan di sebelah utara pesantren saja.
Lalu, Kiai As’ad menambahkan, “Sebentar lagi juga akan turun hujan. Lagi pula, presiden Soeharto tidak akan turun di lapangan ini.”
Komandan penyiraman itu tentu saja merasa serba salah dan serba dilema.
“Kami hanya menjalankan tugas saja, Kiai,” katanya kepada Kiai As’ad.
Sejurus kemudian, apa yang dikatakan Kiai As’ad ternyata menjadi kenyataan. Ketika beliau meninggalkan lapangan, perlahan hujan turun. Bahkan, air hujan itu semakin lama semakin deras. Para petugas yang menyiram lapangan itu akhirnya mencari rumah penduduk sekitar untuk berteduh.
Namun, apa yang terjadi berikutnya sungguh di luar dugaan mereka. Ternyata di sekitar lapangan tidak hujan. Yang hujan hanya di lapangan saja. Sungguh aneh. Dan satu hal lagi, apa yang dikatakan Kiai As’ad terbukti: presiden tidak jadi mendarat di lapangan itu dan memiilih tempat lain.
Demikianlah, orang yang dekat dengan Allah akan menjadi kekasih-Nya. Apa yang inginkannya, baik yang terucap atau masih menjadi keinginan hati, pasti akan dikabulkan oleh Allah. Bahkan bisa jadi, mereka mendapat bocoran dari Allah atas apa yang akan terjadi. Wallahu a’lam.