AI, Algoritma, Data: Saat Kita Hidup Bersama Mesin Cerdas

AI, Algoritma, Data: Saat Kita Hidup Bersama Mesin Cerdas

AI, Algoritma, Data: Saat Kita Hidup Bersama Mesin Cerdas
sains artificial intelligence manusia

Bayangkan ketika anda bangun pagi, sebelum mulai aktifitas rutin yang biasa anda lakukan, seperti biasa anda menyalakan smartphone yang telah anda charge semalaman dan anda melihat banyak notifikasi yang muncul di layar smartphone anda, mulai dari rekomendasi sarapan, rute tercepat ke kantor, hingga lagu yang diputar di aplikasi musik. Pertanyaanya, dari mana semua itu muncul, jawabnya adalah semua telah ditentukan oleh algoritma.

Kita saat ini hidup di tengah zaman ketika data adalah mata uang baru, dan kecerdasan buatan (AI) menjadi otaknya. Kehadiran berbagai teknologi tersebut tentu membantu dan memudahkan setiap aktivitas kita sehari-hari. Hidup kita telah dimanjakan oleh teknologi, kita menikmatinya, dan pelan tapi pasti kita mulai ”kecanduan” dan susah lepas dari ketergantungan pada teknologi.

AI (Artificial Intelligence), sederhananya, adalah kecerdasan buatan yang dibuat oleh manusia agar komputer atau mesin bisa meniru cara berpikir manusia. Di balik kecanggihan AI ini ada algoritma—semacam resep atau rangkaian instruksi yang jelas dan detail, yang digunakan komputer untuk memproses data dan menghasilkan keputusan atau tindakan. Data sendiri adalah bahan baku utama yang diperlukan agar algoritma AI bisa bekerja maksimal. Semakin banyak data yang diberikan, semakin baik pula kinerja algoritma dalam mengenali pola, mengambil keputusan, atau bahkan memprediksi sesuatu di masa depan.

Bayangkan AI seperti koki handal, algoritma sebagai resep masakannya, dan data adalah bahan-bahannya. Tanpa bahan-bahan (data) yang cukup dan berkualitas, sebaik apapun resep (algoritma) dan koki (AI), hasil akhirnya tidak akan maksimal. Begitu juga sebaliknya, tiga elemen ini harus berpadu padan untuk menghasilkan ”masakan” yang lezat.

Setiap hari, menurut Statista (2023) manusia menghasilkan sekitar 181 zettabyte data per tahun. —dari unggahan media sosial, transaksi belanja, sensor IoT, hingga rekam medis. Data ini tak lagi mengendap di gudang, tapi ada di server-server yang tersebar diseluruh dunia baik yang fisik maupun cloud yang kemudian diolah oleh algoritma dan AI untuk membuat keputusan yang cepat dan presisi.

Sebagai contoh, Netflix tahu film apa yang Anda suka bahkan sebelum Anda sadar ingin menontonnya. Google Maps bisa menghindarkan Anda dari kemacetan berkat analisis jutaan ponsel yang jadi “sensor” lalu lintas. Bahkan di bidang kesehatan, AI seperti IBM Watson sudah bisa membantu diagnosis penyakit kanker dengan akurasi tinggi berdasarkan jutaan jurnal medis.

Data adalah bahan bakar utama dalam dunia digital. Menurut laporan McKinsey Global Institute (2011), organisasi yang memanfaatkan data secara intensif memiliki peluang hingga 23 kali lebih besar untuk menarik pelanggan baru dan hingga 19 kali lebih besar untuk meningkatkan profitabilitas, meskipun angka ini bersifat indikatif dan tergantung pada konteks industrinya.

AI bukan lagi sekadar robot di film fiksi ilmiah. Ia sudah bekerja di bank, rumah sakit, gudang logistik, bahkan menjadi asisten pribadi di ponsel anda. AI bisa belajar, memperbaiki dirinya sendiri, dan dalam beberapa kasus, mengalahkan manusia dalam tugas-tugas tertentu—misalnya menganalisa data dalam jumlah yang sangat besar, atau sekedar menulis puisi untuk merayu pasangan anda.

Namun, ini juga menimbulkan kekhawatiran. Oxford University memperkirakan bahwa 47% pekerjaan di negara maju bisa digantikan oleh AI dalam 20 tahun ke depan. Pertanyaan penting yang muncul kemudian adalah Apa yang akan terjadi jika manusia kalah cepat dari algoritma?, Apakah  anda pernah berpikir mengenai impilikasi jangka panjang terhadap masa depan manusia? Apakah kita semakin terbantu, atau justru perlahan kehilangan arah?

Manusia: Tetap Pusat Semesta atau Sekadar Variabel?

Bila kita menengok sejarah perkembangan teknologi sejak Revolusi Industri Pertama hingga Revolusi Keempat, teknologi selalu membawa perubahan mendasar bagi peradaban manusia, namun dimasa itu setiap perkembangan teknologi baru manusia tetap menjadi pemegang kendali atas teknologi. Misal saat James Watt menemukan mesin uap atau Alan Turing menemukan komputer, dan seterusnya.

Namun kali ini berbeda dengan ditemukannya AI, AI dengan segala kemampuan kecerdasannya bisa berpotensi menjadi embrio ”lawan” manusia. Saat ini memang belum terjadi secara masif, tapi tanda-tanda menuju arah kesana bukan tidak mungkin bisa terjadi. Kita harus sadar bahwa teknologi seharusnya bukan menggantikan manusia, tapi memperkuatnya. Masa depan bukan tentang manusia versus mesin, tapi manusia dengan mesin. Dalam istilah para futuris, kita menuju “co-evolution“, manusia dan mesin berkembang bersama.

Masa depan akan dipenuhi oleh keputusan yang diambil oleh sistem yang belajar sendiri. Pada situasi inilah kita dihadapkan pada satu pertanyaan kunci: Apakah manusia masih menjadi pemegang kendali? Jika tidak, maka kita hanya akan menjadi penumpang dalam kapal besar bernama “peradaban data”.

Oleh karena itu, memahami bagaimana AI bekerja, bagaimana data dikumpulkan dan dipakai, serta bagaimana algoritma mengarahkan hidup kita—adalah langkah pertama untuk memastikan bahwa masa depan tetap manusiawi.