Iklim demokrasi di negara-negara muslim dunia kian memburuk dalam sepuluh tahun terakhir. Di Afrika Barat, negara-negara muslim yang dulu lebih baik demokrasinya dibanding negara-negara Kristen kini berubah arah. Situasi Mali dan Tunisia hari ini misalnya semakin diperburuk oleh rezim otoritarian.
Per hari ini, setidaknya 60% dari negara-negara dunia telah memberlakukan demokrasi elektoral. Namun, hanya 14% dari negara-negara mayoritas muslim yang kini bersemat negara demokrasi. Situasi inilah yang melatarbelakangi pemaparan Ahmet T. Kuru dalam kuliah umum bertajuk “The Future of Ulema-State Alliances: Iran, Turkey & Saudi Arabia” (Masa Depan Aliansi Ulama-Negara: Iran, Turkey, & Saudi Arabia) yang disampaikan pada 7 November 2022 di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Di samping otoritarianisme, negara-negara muslim juga menghadapi berbagai persoalan sosial ekonomi yang cenderung menggambarkan ketertinggalan dibanding negara-negara lain. Kuru memaparkan, dari segi pertumbuhan ekonomi, rata-rata GNI (Gross National Income) per capita negara-negara muslim berada di angka $9.100 dibanding negara-negara dunia yang mencapai rata-rata $13.200.
Kemudian, tingkat literasi negara-negara muslim hanya mencapai 73% dibanding negara-negara lain yang mencapai angka 84%. Dalam hal pendidikan, usia sekolah di negara-negara tersebut adalah 5.8 tahun, tertinggal dari rata-rata negara lain yaitu 84%. Sementara itu, usia harapan hidup di negara-negara tersebut adalah 66 tahun, juga di bawah rata-rata negara lain yaitu 69 tahun.
Dari Era Keemasan, Stagnasi, hingga Ketertinggalan
Merespon situasi ini, Kuru menelusuri sejarah peradaban dunia muslim dan Eropa barat untuk melihat perbandingan kemajuannya. Dalam penelusuran historis ini, abad ke 7 hingga abad ke 12 dapat disebut sebagai era supremasi muslim. Era keemasan ini setidaknya ditandai dengan perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan alam mulai dari kemunculan para cendekiawan Baghdad hingga kematian Ibn Rushd (800-1198). Selain itu, secara ekonomi dunia muslim saat itu juga melahirkan basis-basis sistem perbankan yang ada saat ini. Kuru mencotonhkan istilah check yang digunakan saat ini berasal dari bahasa Persia, šāh.
Namun demikian, situasi mulai perlahan berubah di antara abad ke 12 hingga abad ke 17, masa di mana tingkat perkembangan dunia muslim mengalami stagnasi dan mulai diimbangi oleh Eropa barat, yang salah satunya ditandai dengan era revolusi industri. Sejak saat itu, supremasi ekonomi dan sains negara Eropa seperti Belanda dan Inggris semakin menguat di atas ketertinggalan negara-negara muslim.
Kuru menjelaskan bahwa transformasi dunia muslim dari era keemasan menuju stagnasi hingga kemunduran tidak lepas dari perubahan iklim akademik dan ekonomi di negara-negara tersebut. Era ini menurut Kuru tidak bisa hanya disebut sebagai sekedar era kesalehan. Sekalipun signifikansi Islam saat itu tidak dapat dipungkiri, namun faktor penting yang digarisbawahi Kurus sebagai ‘mesin’ dari era keemasan itu adalah karakter keberagaman, koeksistensi, dan separasi antara ulama dan negara.
Karakter keberagaman dan koeksistensi yang sangat kuat di era ini ditandai dengan bagaimana mereka belajar dari peradaban-peradaban masa lalu dan juga menerima kontribusi kekeristenan, Yahudi, agnostik, Buddhisme, Hindu, dan lain-lain.
Selain itu, era keemasan negara muslim (Muslim Golden Age) ini juga ditandai dengan independensi para cendekiawan dan para pedagang. Laporan Cohen (1970) menunjukkan bahwa dari sekitar 3.900 cendekiawan muslim dari abad ke 8 hingga pertengahan abad ke 11, hanya 9% yang berafiliasi dengan dan dibiayai oleh negara.
Kuru mencontohkan cendekiawan muslim seperti Abu Hanifa dan para filsuf seperti Khwarazmi, Razi, Ibn al-Haytham, Farabi, Ibn Sina, dan Biruni sebagai para akademisi yang sangat menjaga jarak dengan otoritas politik. Otonomi dan resistensi mereka pada akhirnya memang mesti dibayar dengan berbagai persekusi seperti pemenjaraan bahkan hukuman mati dengan racun seperti yang dialami Abu Hanifa.
Pada abad ke 11, dominasi otoritas dinasti Shiah di Timur Tengah dan Afrika Utara memancing respons dari pusat kekhalifahan saat itu sebab Khalifah Abbasiyah menjadi cenderung bersifat simbolis. Mereka kemudian meminta Al-Mawardi untuk menulis sebuah buku mengenai Khalifah dan seorang khalif kemudian mendeklarasikan sebuah kredo tentang kaum Shiah tertentu, filsuf Mutazila, dan muslim yang tidak taat sebagai kafir murtad yang dapat dihukum mati. Dengan demikian, lahirlah sebuah ortodoksi Sunni yang kemudian, dibarengi dengan krisis ekonomi, menjadi cikal bakal kebangkitan aliansi ulama dan negara.
Kombinasi faktor ideologis yaitu ortodoksi Sunni dan “Qadiri creed”, faktor ekonomi menyusul diberlakukannya sistem iqta atau pajak tanah, serta faktor politik seperti penaklukan dan militarisasi, mengakibatkan terpinggirkannya para cendekiawan dan pedagang yang independen dari negara. Sentralisasi ekonomi kemudian memarginalisasi para pedagang yang biasanya membiayai kerja-kerja akademis para cendekiawan independen.
Untuk itu, kekosongan iklim akademik yang ada diisi negara dengan membuat madrasah; suatu sistem akademik dengan pembiayaan negara. Namun demikian, pembiayaan tentu saja dibarengi dengan kontrol, otoritas, dan dominasi, sehingga madrasah menjadi tidak lebih dari pabrik pengetahuan untuk kepentingan ortodoksi Sunni.
Otonomi dan Desentralisasi
Penelusuran historis Kuru mengenai pasang surut peradaban muslim beserta faktor-faktor yang mempengaruhinya membantah tesis inkompatibilitas Islam dan kemajuan. Fenomena ketertinggalan dunia muslim hari ini sesungguhnya merupakan akumulasi dari berbagai faktor yang di antara akarnya adalah aliansi ulama dan negara. Kontras dengan ciri keterbukaan dengan keberagaman dan otonomi cendekiawan, negara-negara mayoritas muslim hari ini cenderung tertutup dan mengalami sentralisasi politik ekonomi dan pengetahuan.
Salah satu dampak dari aliansi ulama-negara adalah ketidakmampuan masyarakat muslim untuk merespons propaganda yang mengidentikkan Islam dengan kekerasan. Hal ini karena para ulama telah memonopoli interpretasi atas Islam sekaligus membuat produksi pengetahuan tersendat. Sementara itu, para ulama sendiri tidak mampu memberi narasi kontra karena terlalu berfokus pada bagaimana mempertahankan tradisi, meng-islam-kan wacana publik, dan mempromosikan posisi legal-politik mereka, alih-alih memproduksi ide-ide baru.
Turki yang ‘sekuler’ saja misalnya, telah mengontrol masjid-masjid melalui agen pemerintah seperti Direktorat Urusan Agama (Directorate of Religious Affairs – Diyanet). Dengan cara itu, para imam di masjid-masjid tersebut menjadi ‘pegawai’ negara yang konten khotbahnya dikendalikan oleh pemerintah. Pada masa-masa menjelang pemilihan umum misalnya, khotbah digunakan untuk mempropagandakan pandangan-pandangan rezim Erdogan.
Untuk itu, alih-alih menawarkan sekularisme, Kuru mengusulkan ide otonomi dan desentralisasi. Menurutnya, agama, politik, akademisi, dan semua ruang kehidupan yang lain, mesti memiliki otonomi dan kebebasan untuk menjaga kekhasannya masing-masing. Pencampuran ruang-ruang inilah yang menghalangi terwujudnya masyarakat berkeadilan.
Desentralisasi yang dimaksudkan Kuru berkenaan dengan berbagai aspek kehidupan demokrasi, bukan hanya soal bentuk pemerintahannya. Agama yang tersentralisasi dengan monopoli interpretasi akan menjadi problematis. Demikian juga pendidikan yang tersentralisasi dengan sistem dan materi yang homogen akan menghalangi kreativitas dan dinamika perkembangan pengetahuan.
Dari segi ekonomi, Kuru juga menggarisbawahi pentingnya bagi elemen-elemen masyarakat termasuk para ulama dan organisasi keagamaan untuk menghindarkan diri dari sistem pendanaan yang terlalu berpusat pada negara (state-centric). Menurut nya, iklim ekonomi yang lebih kompetitif mesti dibangun dengan mengandalkan kekuatan masyarakat sipil.
Dalam hal ini, jika ingin menggunakan istilah sekularisme, Kuru menegaskan bahwa sekularisme mesti dipahami sebagai sebuah sistem keadilan yang inheren di dalamnya pemisahan ruang-ruang seperti agama, akademisi, dan politik demi otonomi dan kemerdekaannya masing-masing, bukan sekedar pemisahan semu antara agama dan politik yang cenderung mengontrol agama dan dengan demikian menjadi otoriter. Dengan cara demikianlah akan berkembang kemandirian, kebebasan, dan kreativitas dari akademisi dan pelaku ekonomi yang kemudian dapat menjaga keseimbangan kuasa ulama dan negara.
Bagi Kuru, desentralisasi politik demi otonomi dan kebebasan tentu saja bukan satu-satunya faktor penentu demokrasi. Dalam kasus tertentu, desentralisasi juga nyatanya menggiring pada ketidakteraturan. Namun demikian, kombinasi desentralisasi politik dan faktor-faktor lain seperti berkembangnya kerja-kerja akademis yang kreatif dan kelas pedagang yang dinamis dan kompetitif akan membawa pada kemajuan intelektual dan ekonomi, sebagaimana yang dapat ditemukan pada periode-periode awal sejarah keislaman.