Ahmad Surkati, Pendiri Al-Irsyad yang Menolak Status Sayyid dan Non-Sayyid

Ahmad Surkati, Pendiri Al-Irsyad yang Menolak Status Sayyid dan Non-Sayyid

Ahmad Surkati adalah ulama dari Sudan, pendiri al-Irsyad dan juga mempunyai andil dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Ahmad Surkati, Pendiri Al-Irsyad yang Menolak Status Sayyid dan Non-Sayyid

Ahmad Surkati adalah ulama dari Sudan yang juga mempunyai andil dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Beliau merupakan pendiri organisasi Al-Irsyad, salah satu ormas yang lahir dari kultur Indonesia.

Ahmad Surkati adalah seorang keturunan Arab yang berasal dari Sudan. Nama lengkapnya Ahmad bin Muhammad bin Muhammad bin Muhammad Assurkati al-Khazrajiy al-Anshary, beliau lahir di daerah Urfu, Jazirah Urqu, Donggola, Sudan pada tahun 1292 H atau 1872 M. Kata Surkati sendiri merupakan sebuah dialek Donggola kuno, yang dipakai untuk gelar ilmuan. Sebagaimana dijelaskan oleh Hussein Badjerei dalam karyanya Al-Irsyad Mengisi Sejarah Bangsa.

Ahmad Surkati lahir dari keluarga yang memiliki dedikasi tinggi dalam pendidikan agama, yang ditanamkan sejak usia dini. Sejak kecil Ahmad Surkati dikenal sebagai anak yang mempunyai kecerdasan yang tinggi melebihi teman sebayanya, sehingga ayahnya yang merupakan lulusan Al-Azhar sering mengajaknya untuk menghadiri majlis ta’lim dan pengajian-pengajian, dari sinilah Ahmad Surkati banyak mendengarkan diskusi-diskusi agama.

Ahmad Surkati tercatat pernah menghafal dan belajar Al-Qur’an di masjid Qaulid, kemudian setelah itu beliau melanjutkan di Ma’had Sharqi Nawi yang dipimpin oleh ulama besar di Donggola. Setelah lulus dari Ma’had Sharqi Nawi, ayah Ahmad Surkati berencana mengirimkan putranya ke Al-Azhar. Karena konflik politik, hal tersebut tidak terjadi.

Pada tahun 1881-1898 M, terjadi krisis politik di Sudan, yaitu pemberontakan yang dipimpin oleh Abdullah Al-Ta’asyihi yang ingin memisahkan Sudan dari cengkraman Inggris-Mesir.

Dari Sudan, Ahmad Surkati kemudian pindah ke Saudi Arabia, awalnya Ahmad Surkati menetap dan belajar di Madinah selama 4 tahun. Selama di Madinah, beliau mendalami berbagai ilmu agama dan bahasa Arab serta belajar ilmu hadis dari ulama besar Maroko Syekh Salih dan Syekh Umar Hamdan.

Setelah itu beliau melanjutkan belajarnya ke Mekkah. Melalui karyanya yang berjudul Al-Qadha wal Qadar, Ahmad Surkati mendapat gelar Al-Allamah dibawah asuhan Syekh Muhammad bin Yusuf Al-Khayaath dan Syekh Syuaib bin Musa Al-Maghribi.

Ahmad Surkati adalah orang Sudan pertama yang mendapat gelar tersebut dan namanya tercatat dalam daftar ulama Mekkah. Di Haramainlah, Ahmad Surkati banyak belajar kepada ulama-ulama disana di antaranya Syekh al-Falih Al-Faqih, Syekh Ahmad bin Haji Ali Madjub,  Syekh Gurra’ Al-Allamah Syekh Muhammad al-Maghribi

Ahmad Surkati datang ke Indonesia pada tahun 1911 M, beliau didatangkan oleh Jamiatul Khair, sebuah perkumpulan yang anggotanya dan pengurusnya terdiri dari orang-orang Indonesia keturunan Arab dari golongan  Alawi yang ada di Jakarta. Beliau didatangkan untuk menjadi tenaga pengajar di sekolah Jamiatul Khair.

Maksud pengurus Jamiatul Khair mendatangkan Ahmad Surkati ialah dalam rangka memenuhi kebutuhan guru. Sekolah Jamiatul Khair sendiri  bukan hanya lembaga pendidikan yang semata-mata bersifat agama, tetapi juga mengajarkan ilmu berhitung, sejarah dan pengetahuan umum lainnya.

Hubungan Ahmad Surkati dengan Jamiatul Khair pada awalnya baik-baik saja, namun hal tersebut tidak berlangsung lama, karena adanya perbedaan pemikiran perihal status sosial keturunan Arab yang mengakibatkan terjadi perselisihan antara Ahmad Surkati dengan Jamiatul Khair.

Salah satu penyebab perselisahan tersebut adalah pendapat Ahmad Surkati yang mengatakan bahwa wanita syarifah boleh menikah dengan laki-laki non-alawiyah (bukan keturunan nabi). Pendapat tersebut sendiri disampaikan oleh Ahmad Surkati ketika ditanya oleh salah seorang keluarga Alawiyah yaitu Umar bin Said Sungkar Solo, yang kemudian dikenal dengan Fatwa Solo.

Setelah keluar dari Jamiatul Khair, Ahmad Surkati bersama para sahabatnya kemudian mendirikan sebuah perkumpulan yang bernama Al-Irsyad pada tahun 1913 M, dan membuka lembaga pendidikan dengan nama Madrasah AI-Irsyad Al-Islamiyah dan juga mendirikan jamiyah yang bernama Jami’at Al-Islah wa Al-Irsyad Al-Arabiyah.

Dakwah yang dilakukan oleh Ahmad Surkati juga mampu mengubah tradisi sebagian masyarakat keturunan Arab yang ada di Indonesia, serta menjadi penggerak lahirnya tokoh-tokoh reformasi di Indonesia. Bahkan muridnya tidak hanya dari kalangan keturunan Arab dan pribumi, tetapi juga orang Belanda, salah satunya adalah Van Der Plas yang merupakan seorang pejabat pemerintahan belanda. Sedangkan para tokoh reformasi yang dipengaruhi oleh pemikiran Ahmad Surkati di antaranya adalah KH. Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah dan Ahmad Hassan, pendiri Persis (Persatuan Islam).

Lahirnya pemikiran Ahmad Surkati juga dilatarbelakangi oleh keadaan masyarakat Arab dan umat Islam di Indonesia pada awal abad ke-20. Saat itu, keturunan Arab di Indonesia mayoritas berasal dari Hadramaut yang terbagi dalam dua golongan besar, yaitu sayyid dan non-sayyid.

Golongan sayyid mengaku sebagai keturunan Nabi Muhammad SAW dan menganggap keturunan mereka yang paling mulia serta menganggap rendah mereka yang bukan golongan sayyid. Karena merasa lebih mulia, golongan sayyid mempertahankan hak-hak istimewa yang mereka nikmati selama berabad-abad secara turun-temurun.

Di antara hak-hak istimewa itu seperti hukum kafa’ah (peraturan yang melarang laki-laki non sayyid menikahi wanita sayyid) dan taqbil (peraturan cium tangan apabila bertemu dengan golongan sayyid).

Gagasan dan ide-ide Ahmad Surkati sendiri banyak dituangkan dalam bentuk tulisan yang diterbitkan dalam bahasa Arab, Melayu dan Belanda serta beberapa dimuat di majalah dan surat kabar. Salah satu majalah yang menerbitkan tulisan Ahmad Surkati adalah Suluh Hindia, yang diketuai oleh H.O.S Tjokroaminoto dan Azzachratoel Islamiyah. Melalui media inilah, pemikiran Ahmad Surkati kemudian tersebar luas.

Ahmad Surkati juga menulis karya, di antaranya adalah Risalah Surat al-Jawab, yang berisi tentang pertanyaan dari H.O.S. Tjokroaminoto tentang kafa’ah; Risalah Tawjih Al-Qur’an, yang berisi tentang kedekatan seseorang dengan Rasulullah SAW bukanlah karena nasab, tetapi karena ketaatannya dalam menjalankan syariat yang telah dibawa oleh Rasulullah SAW; Al-Wasiyyat Al-Amiriyyah, yang berisi anjuran Amar Ma’ruf Nahi Munkar.

Selain itu ada juga karyanya yang bernama al-Dakhirah al-Islamiyah, al-Masail al-Thalath, Zeedeleer Uit De Qor’an, yang merupakan terjemahan dari Risalah Adab Al-Qur’aniyah, Al-Khawatir Al-Hisan yang berupa sajak kenangan Ahmad Surkati dengan teman seperjuangannya, Huqqus Zaujain sebuah tulisan dari kumpulan ceramahnya tentang hak seorang istri dan suami istri dan  Tafsir Al-Fatihah serta Ummahatul Akhlaq.