Ahmad Mustafa al-Maraghi, seorang ulama ahli tafsir terkemuka dari kebangsaan Mesir. Beliau kerap disapa dengan sebutan al-Maraghi yang merupakan penisbatan dari kota kelahirannya. Murid dari Syaikh Muhammad Abduh ini, memiliki nama lengkap Ahmad Mustafa bin Muhammad bin Abdul Mun’im al-Maraghi. Lahir di kota al-Maraghah, sebuah kota yang terletak di pinggiran sungai Nil, kira-kira 70 km arah selatan kota Kairo, Mesir, pada tahun 1300 H/1883 M. Ayahnya bernama Musthafa al-Maraghi, seorang ulama besar yang cukup terkenal di Mesir pada masanya.
Tanah al-Maraghah adalah tempat pertama al-Maraghi menimba ilmu. Mendapat pendidikan di lingkungan keluarga dengan tradisi keilmuan yang sangat kental, beliau kemudian melanjutkan belajar al-Qur’an di sebuah madrasah yang berada di desanya. Kecerdasan beliau sudah terpancar sebelum genap berusia 13 tahun dengan berhasil menghafal seluruh al-Qur’an. Selain itu, beliau juga belajar ilmu tajwid dan dasar-dasar ilmu syari’ah sampai menyelesaikan pendidikan tingkat menengah.
Tidak hanya berhenti di tanah kelahirannya, pencarian ilmunya pun berlanjut ke Cairo tepatnya di Universitas al-Azhar dan Universitas Dar al-Ulum. Di kota seribu menara itu, beliau mempelajari berbagai disiplin ilmu, seperti: ilmu tafsir al-Qur’an, hadis, balaghah, bahasa arab, fiqih, ushul fiqih, akhlak, ilmu falak. Karena kecerdasan yang luar biasa, beliau berhasil menyelesaikan pendidikan di dua universitas tersebut pada tahun yang sama. Ada beberapa ulama yang memiliki andil sangat besar dalam membentuk intelektualitas al-Maraghi sehingga beliau menguasai hampir seluruh cabang ilmu, yaitu : Muhammad Abduh, Muhammad Bukhai al-Muth’i, Ahmad Rifa’i al-Fayumi.
Ahmad Mustafa al-Maraghi wafat pada usia 69 tahun (1371H/1952M) di Hilwan, sebuah kota kecil di sebelah selatan kota Cairo. Beliau meninggalkan banyak karya dalam berbagai disiplin ilmu, yaitu: al-Fath al-Mubin fi Tabaqat al-Ushuliyyin, Tarikh `Ulum al-Balâghah wa Ta`rif bi Rijaliha, Mursyid al-Thullab, al-Mujaz fî `Ulum al-Ushul, al-Diyanan wa al-Akhlaq, Syarh Tsalatsin Hadîtsan, Tafsir Juz Innama al-Sabil, Risalah fi Zaujat al-Nabi, al-Khutaba fi Daulah al-Ummawiyyah wa al-`Abbasiyyah, Risalah fi Mustalah al-Hadis
Ahmad Mustafa al-Maraghi dikenal sebagai salah satu ahli tafsir kontemporer berpengaruh melalui karya monumentalnya berjudul tafsir Al-Qur’an al-Karim atau lebih dikenal dengan tafsir Al-Maraghi yang berjumlah 30 juz dan ditulis selama kurang lebih 10 tahun (1940-1950 M). Konon selama menulis tafsirnya, beliau hanya beristirahat selama 4 jam, sedangkan 20 jam digunakan untuk mengajar dan menulis. Aktifitasnya dimulai pada sepertiga malam dengan shalat tahajjud dan shalat hajat seraya berdoa memohon petunjuk dari Allah, kemudian dilanjutkan dengan menulis tafsir ayat demi ayat. Beliau istirahat menulis ketika berangkat kerja, setelah pulang kerja beliau langsung melanjutkan tulisannya yang kadang-kadang sampai larut malam.
Penulisan tafsir tersebut konon dilatarbelakangi oleh sebuah kenyataan bahwa mayoritas orang enggan membaca kitab tafsir yang ada karena sukar dipahami, bahkan beberapa istilah hanya dapat dipahami oleh orang yang ahli dalam bidang tersebut. Oleh karenanya, beliau terdorong untuk menulis sebuah karya tafsir dengan gaya bahasa yang sederhana serta mudah dipahami oleh pembacanya. Tujuannya tidak lain agar para pembaca dapat memahami rahasia-rahasia yang terkandung dalam al-Qur’an tanpa adanya kesulitan. Berangkat dari hal tersebut, lahirlah sebuah kitab tafsir bernama tafsir Al-Qur’an al-Karim atau lebih familiar dengan nama tafsir Al-Maraghi.
Sebagai ulama ahli tafsir yang bertanggung jawab untuk mencari solusi terhadap berbagai permasalahan masyarakat modern, al-Maraghi menawarkan sebuah tafsir dengan gaya bahasa yang disesuaikan dengan kondisi masyarakatnya. Beliau menggunakan metode baru yang tentunya belum digunakan pada tafsir-tafsir sebelumnya, yaitu dengan memisahkan penjelasan umum (global) dan penjelasan khusus (terperinci) dengan pertimbangan sumber riwayat dan penalaran logis. Sehingga penjelasan ayat-ayat di dalamnya terbagi menjadi dua, yaitu makna ijmali dan makna tahlili.
Di dalam muqaddimahnya, al-Maraghi menyebutkan beberapa kitab lain yang dijadikan sebagai rujukan dan bahan perbandingan, yaitu: Tafsir al-Thabari, Tafsir al-Kasysyaf, Anwar al-Tanzil, Tafsir Abi al-Qasim al-Husain bin Muhammad karya, Mafatih al-Ghaib, Tafsir al-Husain Ibn Mas’ud Al-Baghawi, Tafsir Ibnu Katsir, Ruh al-Ma’ani, Tafsir al-Manar, Al-Jawahir fi Tafsir al-Qur’an, Fath al-Bari, Umdah al-Qari, Lisan al-‘Arab, Syarh al-Qamus, Asas al-Balagah, Al-Ahadis al-Muhtarah, Tabaqat al-Syafi’iyyah, A’lam al-Muwaqqi’in, Al-Itqan fi Ulum al-Qur’an, Muqaddimah Ibnu Haldun.
Sumber penafsiran yang digunakan dalam tafsir Al-Maraghi adalah bi al-ma’tsur (riwayat) dan bi al-Ra’yi (nalar) dengan corak adabi ijtima’i (sastra budaya dan kemasyarakatan). Al-Maraghi menyadari bahwa dalam konteks modern, hampir bisa dikatakan tidak mungkin menyusun sebuah tafsir hanya dengan menggunakan riwayat, selain karena jumlah riwayat yang terbatas, permasalahan masyarakat modern juga semakin luas. Sebaliknya, jika hanya dengan menggunakan riwayat maka dikhawatirkan rentan terhadap berbagai penyimpangan.
Perihal sistematika dan karakteristik tafsir al-Maraghi, telah tertuang dalam muqaddimah (pendahuluan) tafsirnya, yaitu: pertama, menyampaikan ayat-ayat di awal pembahasan. Kedua, menjelaskan kosakata yang sulit dipahami. Ketiga, menjelaskan pengertian ayat-ayat secara global. Keempat, mencantumkan asbab al-nuzul ayat (sebab turunnya ayat). Kelima, meninggalkan istilah yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan. Keenam, menggunakan gaya bahasa mudah dipahami. Ketujuh, seleksi terhadap cerita israiliat.
Pada akhirnya, al-Maraghi mendapat pujian dari beberapa ulama di Universitas Ummul Qura Makkah, Universitas Islam Madinah, Universitas al-Azhar dan Universitas Kairo. Menurut mereka, al-Maraghi adalah seorang ulama yang ahli dalam berbagai disiplin ilmu, terlebih ilmu-ilmu yang digunakan untuk menafsirkan Al-Qur’an. Berkat keluasan dan kedalaman ilmu serta terlahirnya kitab “Tafsir al-Maraghi”, beliau dipandang telah memenuhi syarat- syarat sebagai seorang mufassir. Bahkan beliau dinyatakan sebagai pembaharu dalam bidang tafsir, terutama mengenai metode, sistematika, dan gaya bahasa yang digunakan dalam kitab tafsirnya.
Wallahu A’lam