Ahmad Dhani dan Tiga Ironi yang Menyedihkan Bagi Umat Islam (Bagian 2-Habis)

Ahmad Dhani dan Tiga Ironi yang Menyedihkan Bagi Umat Islam (Bagian 2-Habis)

Oh, Ahmad Dhani, ada ironi yang membuat kita bersedih dan bertanya-tanya

Ahmad Dhani dan Tiga Ironi yang Menyedihkan Bagi Umat Islam (Bagian 2-Habis)

Sebelum ke tulisan selanjutnya, kamu baca ini Ahmad Dhani dan Tiga Ironi yang Menyedihkan Bagi Umat Islam (Bag-1) karena dalam surat yang sama, Dhani juga menyatakan kalau NU seolah-olah mengharuskan jamaahnya menjadi pendukung Jokowi. Tentu saja ini sesat pikir yang berbahaya. Sebabnya sederhana saja, NU tidak membatasi pilihan politik—dalam pengertian praktis—kepada segenap warganya.

Sekalipun berpolitik, mengutip KH. Musthofa Bisri (Gus Mus) dalam Tafsir Khittah NU, paling tidak ada tiga jenis politik dalam pemahaman NU. Pertama, politik kebangsaan. Ya, NU sejak berdiri memang berpolitik, terutama dalam pengertian ini. Mengapa? Karena NU sangat berkepentingan dengan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Perhatian NU dalam politik jenis ini dapat dilihat, misalnya, dari sikap dan kiprahnya sejak Rais Akbarnya mencanangkan fatwa jihad melawan penjajah pada Oktober 1945; menetapkan waliyul amri adh-dharuri bisy-syaukah tahun 1952 dengan kajian fiqh yang seirus; dan masih banyak lagi yang tentu saja terdokementasi dengan baik.

Sayangnya, perhatian NU dalam upaya menjaga keutuhan NKRI itu sering tidak dipahami atau bahkan dipahami secara salah sebagai sikap oportunis. Kendati demikian—sebagaimana perjuangan mereka yang luput dari catatan sejarah selama ini—yang duniawi seperti itu tidaklah menjadi soal bagi para Kiai dan aktivis NU sejati. Karena bagi mereka, penilaian Allah sematalah yang dihitung.

Adapun politik jenis kedua adalah politik kerakyatan. Politik jenis ini, kata Gus Mus, adalah implementasi dari amar makruf nahi munkar yang ditujukan kepada penguasa untuk membela rakyat dan mustadh’afin. Dan kemudian itulah yang diambil alih oleh generasi muda melalui sejumlah LSM, ketika mereka melihat NU secara struktural kurang peduli terhadap hal-hal yang cukup penting namun belum terjamah.

Sementara, termasuk politik jenis ketiga adalah politik kekuasaan. Dan, ini tentu saja yang paling menarik perhatian. Sebetulnya ini pun cukup wajar mengingat NU pernah sukses medio 1950-an. Bahkan dalam rentang waktu relatif pendek, partai NU yang baru keluar dari Masyumi, waktu itu, mampu menduduki peringkat ketiga setelah PNI dan Masyumi.

Masalahnya, lanjut Gus Mus, tak dapat dimungkiri sejak kecamuk politik (praktis) merebak di sekujur urat nadi NU, garapan-garapan mulia lainnya di bidang pendidikan, ekonomi, sosial, dan dakwah menjadi terbengkelai. Oleh sebab itu, NU—setelah melalui beragam dinamika—kemudian memutuskan untuk kembali ke khittah perjuangan awal dan sekaligus menandai bahwa NU bukan lagi Parpol sejak tahun 1984 dalam putusan hasil Muktamar ke-27 di Situbondo.

Formulasi rumusan khittah NU di Situbondo ini sangat monumental karena menegaskan kembalinya NU sebagai organisasi sosial-keagamaan. Rumusan ini mencakup banyak hal. Salah satunya, mengutip Hamzah Sahal (2012), dalam formulasi itu ditegaskan kembali bahwa NU secara organisatoris tidak terikat dengan organisasi politik dan organisasi kemasyarakatan manapun.

Memang, khittah NU juga tidak melarang warganya berpolitik praktis, karena itu merupakan hak setiap warga negara. Tapi, yang jelas NU tidak berpolitik praktis. Mengapa? Tentu saja karena NU sekarang bukan lagi partai politik. Karenanya sekali lagi, tudingan secara tersirat Dhani dalam suratnya bahwa seolah-olah NU membatasi warganya dalam konteks gerak dan/atau preferensi politik sama sekali tidak berdasar.

Terakhir, tidak kalah krusial, Dhani dalam suratnya juga mengandaikan kalau dirinya adalah “NU pengikut Hadratussyekh Hasyim Asy’ari”. Ini tentu sangat fatalistik. Sebab, yang demikian itu sama saja mengatakan bahwa selain Dhani atau yang berseberangan dengan pandangannya seolah-olah bukan pengikut Kiai Hasyim Asy’ari, pendiri NU.

Padahal, seawam-awamnya warga NU saja, itu ya orang yang hidupnya penuh dengan keluwesan, kesantaian, dan tidak suka pertikaian. Apalagi NU yang benar-benar pengikut Hadlrotus Syaikh Hasim Asy’ari, pastilah sikapnya penuh dengan prinsip-prinsip tawasuth (moderat), i’tidal (berkeadilan), tasamuh (toleran), dan tawazun (seimbang). Sementara, itu semua nyaris tidak terdapat dalam sosok Dhani empat tahun terakhir ini.