Ahmad Dhani, Begini Loh Obsesi HTI yang Perlu Anda Pahami

Ahmad Dhani, Begini Loh Obsesi HTI yang Perlu Anda Pahami

Ahmad Dhani bilang HTI tidak akan mengubah Indonesia dan Pancasila, fakta justru sebaliknya.

Ahmad Dhani, Begini Loh Obsesi HTI yang Perlu Anda Pahami
Kata Ahmad Dhani, HTI tidak ingin mengubah negara. Benarkah?

Gimana caranya HTI mengubah Pancasila? gak mungkin!! ~ Ahmad Dhani.

Jebret. Sontak kalimat interogatif itu terngiang-ngiang dalam kepala saya. Ya, sebuah imajinasi yang ntah terlampau fakir atau polos dari orang seteras Ahmad Dhani kepada Gus Yaqut Cholil Qoumas dalam talkshow Rosi malam itu.

Sejujurnya, sekuat tenaga saya mencoba untuk tidak tertawa. Tapi ternyata iman sepaneng hamba terlampau lemah. Bayangkan, seorang punggawa Laskar Cinta yang liriknya sangat relijius dan kalau konser HTM-nya tidak semurah harga telur satu kilo itu, bisa-bisanya meragukan ambisi arus politik transnasional ala Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dalam menegakkan Khilafah Islamiyah.

Padahal, jelas-jelas HTI sempat mengalami penolakan secara masif oleh masyarakat mengenai konsolidasi Negara Islam. Hingga kegaduhan itu mencapai klimaksnya setelah status badan hukum HTI dicabut oleh Kemenkumham RI lewat Siaran Pers Kewenangan Legal Administratif Kemenkumham sebagai Tindak Lanjut Perppu Nomor 2 Tahun 2017. Dengan demikian, HTI resmi telah dibubarkan oleh pemerintah.

Sayangnya, biarpun HTI secara formal sudah dibubarkan oleh negara, namun tidak untuk ideologi Khilafahnya. Hubungan keduanya laksana present perfect continous tenses. Bukan barang baru dan masih berlangsung. Sepaket deh pokoknya.

Doktrin-doktrin setamsil tegakkan khilafah, demokrasi produk kafir, selamatkan Indonesia dengan syariah, NKRI bukan negara Islam, umpamanya, sangat mudah kita jumpai baik di jejak digital ataupun di selabaran-selebaran buletin propaganda HTI saban jumatan. Cash tanpa cicilan.

Dari sini saja kita bahkan tahu, bahwa obsesi kepada sistem khilafah otomatis membuat HTI menolak sistem pemerintahan Indonesia yang ada sekarang. Tentu, genap dengan menolak seperangkat dasar negara Pancasila, UUD 1945 dan Bhineka Tunggal Ika. Belum lagi jika ditambah potongan video yang memuat seruan “ganti sistem” bersama Mardani Ali Sera, si politisi PKS itu.

Sebetulnya, kalau saja pertanyaan di awal itu berdiri sendiri tanpa perlu dijawab secara otodidak dengan simpul “gak mungkin”, barangkali akan baik-baik saja.

Sebab, “Gimana caranya HTI mengubah Pancasila?”, tentu pertama-tama merapatkan barisan dengan gerakan yang satu frekuensi. Gerakan yang sama-sama ingin menegakkan supremasi syariah di pentas nasional tapi melalui mekanisme demokrasi ala-ala PKS. Soalnya, terang-terangan menolak demokrasi dan bersikap frontal terhadap NKRI telah terbukti gagal. Kerbau saja ndak mau jatuh di lubang yang sama.

Sejatinya, dalam hal ini saya sungguh tidak apa-apa dengan syariah itu. Masalahnya, syariah Islam kini pemaknaannya terlampau sempit dan yuridis sentris. Khilafah-able dengan watak absolut, totalitarian-sentralistik, monolitik dan pada saat yang sama sungguh antagonistik.

Sehingga, syariah yang semestinya dipahami sebagai jalan atau proses, kini bermutasi menjadi tujuan idelogi politik. Alhasil, tidak heran jika kemudian ia bersifat sektarian, diskriminatif, intoleran dan bertentangan secara sporadis dengan standarisasi hak asasi manusia.

Mau bukti?

Jika menengok negara-negara yang sudah menerapkan syariah seperti Arab Saudi, Iran, Sudan, Afghanistan, Pakistan, dan sebagainya, maka penerapan syariah Islam lebih sebagai penerapan fikih. Padahal, yang demikian itu tidak selamanya menjanjikan. Pasalnya, fikih sendiri merupakan produk sebuah interpretasi terhadap teks dan dipahami melalui konteks tertentu.

Alhasil, Karena pemahaman yang kaku terhadap syariah, hampir setiap saat di Afghanistan dan Pakistan konflik tak terhindarkan. Bom meledak pun bukan lagi sebuah guyonan di kabin pesawat. Demikian halnya dengan puluhan ribu orang meninggal di Sudan Selatan akibat perang sipil ketika sistem syariah diperkenalkan pada tahun 1983. Bahkan, konon pemberlakuan syariah Islam sebagai hukum negara oleh rezim Numeiri di Sudan tak lepas dari  kalkulasi keuntungan politis.

Akhirnya, sekali lagi, kalau saja pertanyaan di awal itu berdiri sendiri, barangkali akan baik-baik saja. Menjadi tidak biasa-biasa saja bilamana dijawab secara otodidak dengan simpul “gak mungkin”. Sebab, yang demikian itu sama saja dengan mengatakan bahwa HTI gak mungkin mengganti Pancasila.

Siapa yang mampu menjamin?

Itulah yang mungkin perlu dimengerti Ahmad Dhani dalam merenungi selentingan “kita akan gebukin kamu kalau kamu ingin ganti Pancasila. Mengubah bentuk negara”.