Umumnya masyarakat Indonesia mengetahui nama leluhurnya sampai tingkatan kakek-nenek. Bahkan tak jarang hanya mengenal nama bapak-ibunya, sementara nama kakeknya hanya diketahui nama panggilan dan poyokannya seperti kakek Pengki, Temon dll. Dinamai begitu sebab semasa kecilnyanya sakit-sakitan, lalu — –agar sembuh– dibawa ke “orang pintar” dan disarankan agar dinamai Pengki, Temon, dst.
Sebagai anak-cucu yang berbakti kepada orang tua yang sudah meninggal dunia, kita ingin mendoakan mereka. Apalagi mendekati bulan Ramadhan, seperti saat ini, anak cucu yang masih hidup biasa berziarah dan mendoakan ahli kubur mereka. Kebiasaan ini dilakukan sebagai pengamalan ajaran Rasulullah Saw, sebagaimana hadits yang diriwayatkan Abu Asyad as-Saidi Malik b. Rabiah:
“Rasulullah Saw pernah ditanya tentang berbakti kepada orang tua yang sudah mati: “Apa masih ada jalannya, wahai Rasulullah!” Beliau menjawab: “Yaitu mendoakan mereka, memintakan ampun buat mereka, meneruskan realisasi janji mereka, meneruskan jalinan silaturahim yang telah dirintis mereka, dan memulyakan sahabat karib mereka.” (HR. Ibnul Munzdiri). Dalam kitab al-Targhib wa al-Tarhib jilid 3 halaman 298 disebut hadits ini sanadnya Hasan dan shahih Li ghairih.
Hanya saja persoalannya, anak cucu dan peziarah yang bermaksud mengirimkan doa buat ahli kubur tidak kenal nama lengkapnya. Bolehkah menyebut nama poyokan ahli kubur, seperti Pengki dan Temon karena tidak diketahui nama aslinya? Lebih baik mana menyebut nama ahli kubur dengan panggilan bin/binti fulan/fulanah, bin/binti Adam/Hawa, karena tidak mengenal leluhurnya?
Persoalan ini pernah dikupas oleh Ibn al-Qayyim al-Jawzi dalam kitabnya, al-Ruuh halaman 5-6, Menurutnya, “telah berkata Ibn Abdul Bar bahwa telah ditetapkan hadits bersumber dari Rasulullah Saw, dimana beliau bersabda: Tidak ada seorang muslim yang melewati kubur saudaranya yang sudah dikenalnya sewaktu hidup di dunia, lalu ia mengucapkan salam padanya, terkecuali Allah akan mengembalikan ruh dalam jasad saudara yang telah mati itu agar menjawab salam yang disampaikan kepadanya.”
Ibn al-Qayyim al-Jawzi juga menukil riwayat Bukhari-Muslim seputar kebiasaan Rasulullah berziarah ke makam syuhada Uhud. Beliau panggil satu persatu nama syuhada Uhud: “Ya fulan b. fulan, ya fulan b. fulan, sungguh kalian telah mendapati janji yang Allah berikan kepada kalian secara nyata! Aku juga mendapati janji Allah kepadaku secara nyata.”
Umar b. Khattab yang saat itu bersama Rasulullah bertanya: Wahai Nabi, mengapa engkau berbicara kepada kaum yang sudah mati? Rasulullah menjawab: Demi Allah yang telah mengutusku membawa kebenaran, bukanlah hanya kalian yang lebih mendengar perkataaku, mereka juga mendengar hanya saja mereka tidak mampu menjawabnya.”
Berdasarkan riwayat Zaid b. Aslam dari Abu Hurairah ra. Beliau berkata: “Jika seorang melewati kubur orang yang sudah dikenalnya lalu ia bersalam padanya maka dijawab salamnya. Begitu pula jika melewati kubur orang yang tak dikenal lalu disampaikan salam kepadanya maka ahli kubur itupun menjawab salamnya.” Penjelasan ini selain terdapat dalam kitab al-Ruuh karya Ibn al-Qayyim juga disebut didalam kitab Sual al-Qubr karya al-Ghazali halaman 106.
Berdasarkan keterangan ini mengirimkan doa kepada ahli kubur yang tidak diketahui nama aslinya dan nama lengkapnya tidak bermasalah. Begitupun menyebut nama panggilan yang bukan nama asli ahli kubur tidak menjadi soal.
Adapun penyebutan nama ahli kubur dengan menyebut bin/binti fulan/fulanah, bin/binti Adam/Hawa terdapat penjelasan dalil yang berbeda. Berdasarkan hadits riwayat Bukhari dan Muslim ketika Rasulullah berziarah ke makam Syuhada Uhud, maka sebutan ahli kubur adalah “bin fulan”. Sedangkan menurut riwayat Said b. Abdillah al-Azaddi yang mendapatkan wasiat dari Abu Umamah al-Bahili, bahwa ia ingin diperlakukan pada saat wafatnya seperti yang dilakukan Rasulullah. Diantaranya adalah ketika ditalqin dipanggil Fulan bin Fulanah. (HR. Tabrani).
Dalam penjelasan hadits riwayat Tabrani yang bersumber dari Said b. Abdillah al-Azaddi itu juga disebut ada sahabat yang bertanya kepada Rasulullah: Ya Nabi, bagaimana jika tidak diketahui nama ibunya? Rasulullah menjawab: “nisbahkah ia kepada Hawa!”
Jadi, boleh berkirim doa kepada ahli kubur dengan menyebut nama poyokan ahli kubur, seperti Pengki dan Temon karena tidak diketahui nama aslinya. Begitupun boleh menyebut nama ahli kubur dengan panggilan bin/binti fulan/fulanah, bin/binti Adam/Hawa, karena tidak mengenal leluhurnya.
Paling penting, renungkan firman Allah Swt: “Katakan (hai Muhammad) segala puji bagi Allah dan salam kepada hamba-hamba-Nya yang Ia pilih” (QS. An-Naml: 59). Setidaknya bagaimanapun kondisi leluhur kita, mereka adalah telah dipilih Allah menjadi orang tua kita. Wallahu ‘Alam.