Saya membaca kitab unik, yang berjudul Nawadir al-Fuqaha, karya Muhammad bin al-Hasan at-Tamimi al-Jauhari (wafat tahun 350 H atau sekitar 961 M). Bukan hanya judul dan isi kitabnya yang aneh, tapi juga sosok penulisnya. Gimana ceritanya?
Pertama, nawadir itu jamak dari kata nadir (نادر). Artinya: aneh, jarang, langka, berbeda sendiri, tak ada taranya, dan makna sejenisnya. Banyak yang salah mengartikannya dengan titik terendah dalam astronomi. Kalau makna terakhir ini maksudnya nazhir (نظير). Nah, dalam kitab ini, pengarangnya mencatat sejumlah pendapat yang aneh dan berbeda dari para fuqaha.
Maksudnya gini. Beliau terlebih dahulu menyebutkan kesepakatan para fuqaha dalam satu masalah, kemudian beliau cantumkan pendapat yang menyelisihi kesepakatan tersebut. Ini yang beliau maksud dengan keanehan (baca: kenadiran) pendapat para fuqaha (ahli fiqh).
Kedua, sosok penulisnya juga ternyata aneh. Muhaqqiq (editor) dari kitab ini tidak bisa menjelaskan sosok sebenarnya dari pengarang. Menurut murid pengarang yang meriwayatkan naskah kitab ini, seorang hakim bernama Abul Qasim Abdurrahman, nama pengarangnya adalah Muhammad bin al-Hasan at-Tamimi al-Jauhari. Tapi siapa gurunya, siapa muridnya dan apa saja kitab karyanya yang lain? Agak remang-remang.
Sudah nama kitabnya aneh, pengarangnya juga aneh, eh diulas isinya oleh penulis yang juga Nadir. Komplit!
Lantas apa cuplikan isi kitabnya. Saya ambil secara random saja:
وأجمع الفقهاء (أن المأموم) يقول_ بعد قول الإمام عند القيام
من الركوع سمع الله لمن حمده_: ربنا ولك الحمد, أو: ربنا لك الحمد بلا واو, وأنه لا يقول كما قال الإمام: ((سمع الله لمن حمده)) , إلا الشافعي فإنه أمره أن يقول كذلك قبل قوله: ((ربنا ولك الحمد)).
Telah sepakat para ahli fiqh bahwa makmum saat bangun dari ruku’ (setelah Imam membaca sami’allahu liman hamidah) membaca rabbana lakal hamd atau rabbana wa lakal hamd, namun makmum tidak turut membaca sami’allahu liman hamidah seoerti bacaan Imam, KECUALI Imam Syafi’i yang berpendapat bahwa makmum membaca sami’allahu liman hamidah sebelum membaca rabbana wa lakal hamd.
وأجمعوا أن النوم حال الاضطجاع يوجب الوضوء, إلّا الأوزاعي فإنه أمره به استحبابًا لا إيجابًا
Para ahli fiqh sepakat bahwa tidur terlentang itu wajib berwudhu kembali (karena wudhunya dianggap batal) KECUALI Imam al-Auza’i yang berpendapat disunnahkan saja, tidak diwajibkan.
وأجمع الفقهاء في الصدر الأول, أن من جامع في نهار رمضان
وهو صحيح ولا علة به ولاحاجة له تبيح الإفطار, عامدًا بِجِماعِهِ فيه, أن عليه مع القضاء لذلك اليوم عتق رقبة إن كان لها واجدًا, إلا إبراهيم النخعي رضي الله عنه وسعيد بن جبير فإنهما قالا: لا كفارة عليه.
Telah sepakat para ahli fiqh di periode awal bahwa siapa yang bersetubuh di siang hari dengan sengaja dalam kondisi normal (sehat, tidak ada cacat, tidak ada kebutuhan. Dengan kata lain tidak ada alasan yang dibenarkan secara syar’i), maka selain dia harus mengqadha (mengganti) puasanya di hari lain, juga terkena kafarat (membebaskan budak) KECUALI pendapat dua ulama Ibrahim an-Nakha’i dan Sa’id bin Jubair yang mengatakan: gak kena kafarat.
وأجمعوا سواهما أن ذلك المجامع إذا لم يجد رقبة أطعم ستين مسكينًا, إلا الحسن البصري/ رضي الله عنه, فإنه قال: إذا لم يجد رقبة أهدى هديًا إلى مكة
Telah sepakat para ahli fiqh selain kedua ulama di atas, (kafaratnya) jika tidak mendapati budak yang mau dimerdekakan, maka memberi makan 60 orang miskin KECUALI al-Hasan al-Bashri yang berpendapat cukup menyembelih binatang di Mekkah.
وأجمع الفقهاء في العصر الأول أن من زنا المرأة لا يبطل نكاح زوجها عنها، إلا الحسن بن أبي الحسن البصري رضي الله عنه، وإبراهيم النخعي رضي الله عنه، فإنهما قالا: إذا زنت المرأة قبل دخول زوجها عليها بطل نكاحها عنها
Telah sepakat fuqaha di masa awal bahwa sesiapa yang menzinahi perempuan maka tidak batal pernikahan antara suaminya dan perempuan tersebut KECUALI al-Hasan bin Abi al-Hasan al-Bashri dan Ibrahim an-Nakha’i dimana keduanya berpendapat hanya batal pernikahannya jika perempuan yang berzina itu belum campur dengan suaminya.
وأجمع أهل العصر الأول أن المرأة المطلقة ثلاثاً لا تحل للزوج
المطلق لها ذلك الطلاق إلا بعد خروجها من عدتها منه، وبعد زوج يجامعها، ثم يطلقها وتنقضي عدتها منه، ثم يراجعها الأول، إلا سعيد بن المسيب رضي الله عنه، فإنه قال: تحل للأول وإن لم يجامعها الثاني على نكاحه.
Telah sepakat ahli fiqh di masa awal bahwa perempuan yang ditalak tiga, tidak boleh dinikahi oleh (mantan) suaminya kecuali perempuan itu sudah menikah dengan orang lain, sudah digauli, kemudian ditalak dan selesai masa iddahnya, baru menikah ulang dengan suaminya yang pertama KECUALI Sa’id bin Musayyab yang berpendapat boleh dinikahi oleh (mantan) suami yang pertama meskipun (mantan) suami yang kedua tidak menggauli perempuan itu.
- وأجمع الفقهاء أن المرأة تضرب في الزنا جالسة، إلا ابن أبي ليلى رضي الله عنه، فإنه قال: تضرب قائمة
Telah sepakat para ahli fiqh bahwa perempuan yang dicambuk karena zina itu saat menjalani hukuman posisinya dalam keadaan duduk KECUALI Abi Laily yang berpendapat peremouan itu dicambuk dalam kondisi berdiri.
Demikianlah petikan dari kitab Nawadir al-Fuqaha ini. Saya harus buru-buru menulis dua catatan tambahan:
Pertama, adalah sebuah hal yang wajar jikalau ada perbedaan pendapat di kalangan ulama fiqh. Yang berbeda belum tentu keliru. Penggunaan redaksi “ajma’a” untuk lebih amannya tidak saya artikan sebagai ijma’, tetapi sekadar kesepakatan saja. Karena akan ada konsekuensi panjang kalau ulama di atas dianggap menyalahi ijma’. Lagipula kita harus hati-hati dalam mengklaim terjadinya ijma’.
Kedua, kitab ini tidak menyebutkan sumber rujukannya dan juga tidak membahas argumentasi masing-masing pihak. Saya menduga pengarangnya hanya bermaksud merangkum saja pendapat yang berbeda. Itu artinya, kita sebagai pembaca jangan melahap begitu saja info dari kitab ini. Kita harus cek ke kitab fiqh muqarin (perbandingan mazhab) untuk mengkaji lebih lanjut.
Tapi lumayan….baca kitab ini mampu menerbitkan selera untuk melahap nasgor dan ngopi.
Selengkapnya, klik di sini