Betapa agungnya budi baik orang tua kepada setiap kita. Sederhana, tanpa adanya mereka, juga tanpa budi baik mereka, maka takkan ada kita, kita takkan menjadi besar dan mungkin cerdas dan hebat seperti kita sekarang ini.
Wajar, masuk akal, bila sampai ada hadis yang sangat masyhur ini:
Dari Abdullah bin ‘Amr Ra, Kanjeng Nabi SAW bersabda, “Ridha Allah ada dalam ridha orang tua (kepada anaknya) dan benci Allah ada dalam benci orang tua (kepada anaknya).” (HR. Tirmidzi).
Suatu malam, saya ngetwet begini: “Minta maaflah pada orang tua, insya Allah itu jadi awal bagi jalan ridhaNya, semoga lalu dimudahkanNya hajatmu, dibukaNya kesulitanmu, dikaruniakanNya rezeki-rezeki dari berbagai jalan dan arah yang tak terduga….”
Saya tahu–walau tak pernah mengalami sendiri—bahwa ada sebagian orang, anak, yang kurang beruntung karena pernah mengalami tindakan dan perilaku kurang baik dari orang tuanya. Sebagiannya lalu menjelma kekecewaan, kebencian, kemarahan, dan bahkan dendam yang menahun. Mereka sungguh mengalami kesulitan untuk membina, atau memulai, hubungan baik dengan orang tuanya, apalagi untuk memohon doa restu dan ridha mereka –sebagaimana yang saya maksud, yang saya dasarkan pada hadis Abdullah bin ‘Amr di atas.
Benarlah, ada sejumlah orang yang memention saya dan bertanya, “Bagaimana bila orang tualah yang telah berbuat buruk kepada anak, menyia-nyiakan anak, dan sejenisnya? Mohon arahan keterangannya….”
Saya menarik napas dalam-dalam.
Sungguh rasa prihatin saya memancar begitu ruah. Diam, saya doakan mereka yang mengalami masa lalu kurang menyenangkan begitu, semoga Allah Ta’ala mengampuni orang tuanya dan melebarkan kesabaran di hati anaknya, dan suatu hari dipertemukan dipersatukan selayaknya hubungan manis penuh cinta orang tua dan anak, amin.
Saya teringat Qur’an surat Luqman ayat 15:
“Dan jika keduanya (orang tua) memaksamu untuk mempersekutukan Aku (Allah Ta’ala) dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya dan (tetap) pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepadaKu, kemudian hanya kepadaKu lah kalian kembali, maka Aku akan memberitahu kalian atas apa-apa yang telah kalian perbuat.”
Mari kita pahami bahwa tidak ada satu dosa pun, maksiat pun, yang tidak diampuni oleh Allah Ta’ala sepanjang si pelaku bertaubat kepadaNya. InnaLlaha yaghfirud dunuba jami’an, sesungguhnya Allah Ta’ala mengampuni segala dosa. (QS. Az-Zumar 53). (Membaca ayat ini mesti diteruskan kepada dua ayat berikutnya, yakni Az-Zumar 54 dan 55).
Hanya ada satu pengecualian, tegasnya hanya ada satu dosa dan maksiat yang tak diampuni oleh Allah Ta’ala, yakni kufur iman kepadaNya atau menyekutukanNya (syirik). Ini adalah dosa terbesar, yang obatnya hanya satu: bersyahadat (lagi) dan tak mengulanginya lagi –bukan sekadar taubat biasa.
Saking parahnya dosa kufur dan syirik ini, saking bencinya Allah Ta’ala kepada perbuatan tersebut, sampai-sampai al-Qur’an tak lagi menyebut perbuatan kufur dan syirik ini dengan danbun, dosa, tetapi disebut “dhalalun mubin” (kesesatan yang sangat terang nyata) atau “dhalalun ba’id” (kesesatan yang sangat jauh atau keterlaluan).
Sekarang, dengan clue pemahaman tersebut, perhatikanlah bagaimana Allah Ta’ala dalam surat Luqman 15 di atas tetap memerintahkan kita untuk berbuat baik kepada orang tua. Silakan ulangi membacanya dan renungkanlah dalam-dalam.
Dikarenakan orang tua menyuruh kita untuk menyekutukan Allah Ta’ala –dosa yang paling parah dan keterlaluan—jelas kita tak boleh mematuhinya. Tetapi, sekali lagi, perintahNya terang betul bahwa kita, sebagai anak, mesti tetap berbuat baik kepada mereka.
Anggaplah ada orang tua yang menelantarkan anaknya di masa lalu. Dan itu Anda. Benar-benar literally menelantarkan, tak bertanggung jawab, pemarah, ngamukan, ringan memaki, bahkan memukul, dan sejenisnya. Bahwa itu adalah keburukan orang tua, iya; bahwa dengan perbuatan-perbuatan buruk tersebut mereka menanggung dosa, iya; bahwa mereka akan menerima hukuman dari Allah Ta’ala kelak di akhirat (jika tak memohon ampunanNya dan menebus maaf), iya.
Sebagian orang lalu membuat istilah terhadap orang tua berperangai buruk begitu, yakni orang tua durhaka–kata mereka karena faktanya tak hanya anak yang bisa durhaka, tetapi orang tua pun bisa begitu pula.
Jika orang tua Anda pernah berbuat begitu buruknya kepada Anda, ketahuilah kini dengan berdasar clue pemahaman tadi (Luqman ayat 15) bahwa derajat seluruh perbuatan buruk mereka mestilah tetap didudukkan di bawah kekufuran dan kesyirikan. Sekali lagi, tidak ada salah, dosa, dan maksiat yang lebih tinggi lagi daripada kufur dan syirik. Jika mereka bertobat, beristighfar, dan menebus salahnya kepada anak yang telah disakiti, maka selesailah urusan dosa mereka. Demikianlah posisi orang tua.
Kini, posisi Anda sebagai anak. Jangankan kepada salah, dosa, dan maksiat orang tua yang (umpama) pernah menelantarkan Anda, bahkan jika orang tua Anda menyuruh Anda kufur kepada Allah Ta’ala, Anda tetap mesti bersikap baik kepada mereka. Sama sekali tidak ada opsi untuk tidak berbuat baik kepada orang tua, seburuk apa pun kelakuan mereka….
Tentu saja buat sebagian orang, anak, ini sungguhlah berat, sangat berat. Tetapi, ya begitulah hukum yang telah ditetapkan Allah Ta’ala….
Bahwa lalu bentuk dan cara Anda untuk terus berusaha dan berjuang bisa bersikap baik kepada orang tua yang pernah lalim kepada Anda begitu musykilnya untuk sama, serupa, dan sepadan dengan bisa los baiknya Anda kepada orang yang baik kepada Anda, tentu itu hal wajar nan manusiawi belaka. Tentu itu bagian dari sifat nature manusia. Kita semua bisa memahaminya. Namun, pada pokoknya, hukum yang mesti selalu dijunjung ialah jangan sampai anak terjatuh pada derajat tidak berbuat baik kepada mereka.
Akhirnya, apa pun itu bentuknya, caranya, sepanjang sikap Anda kepada orang tua masih dalam lingkup baik, kiranya ia telah bisa diterima sebagai sikap baik anak kepada orang tua. Itulah kiranya yang terpenting, yang terpokok.
Jika Anda meminta ilustrasi yang terang, secara umum kita bisa beri gambaran begini: sepanjang seorang anak tidak sampai memutus tali silaturrahim, tali kekeluargaan, dengan orang tuanya, insya Allah itu telah bisa disebut baik–walau kita pun paham secara general bahwa sikap begitu belaka tidaklah ideal; ya semoga seiring waktu lalu bisa menjadi lebih baik, lebih ideal, lebih baik, lebih ideal, amin.
Suatu hari, Kanjeng Nabi Saw didatangi seorang bapak tua yang mengeluhkan anaknya yang menolaknya memberikan uang yang dipintanya. Dengan airmata berlinang, bapak tua ini berkisah bagaimana ia telah membesarkan anaknya dengan penuh berat dan perjuangan, lalu kini di kala sepuhnya ia tak mendapatkan balasan kebaikan yang diinginkannya dari anaknya.
Kanjeng Nabi Saw lalu memanggil si anak. Si anak yang telah menjadi lelaki kuat itu mengatakan bahwa sebetulnya bapaknya ini telah dipenuhi kebutuhannya, tetapi ia suka meminta ini dan itu lagi sehingga ditolaknya.
Kanjeng Nabi Saw lalu dawuh, “Engkau dan seluruh harta yang engkau miliki adalah milik bapakmu.”
Inilah kira-kira derajat ideal dedikasi dan pengabdian anak kepada orang tuanya. Sekali lagi, idealitas ini jikapun masih terasa musykil buat sebagian orang saat ini –apalagi yang pernah mengalami trauma masa lalu—seyogianya (setidaknya) tetap dirawat secara spirit untuk terus berusaha meningkatkan kualitas baiknya kepada orang tuanya.
Memang, ada hadis lain lagi yang memperlihatkan bahwa tidak serta merta menjadi kemutlakan penuh bagi anak untuk memenuhi literally semua keinginan dan permintaan orang tuanya jika ia tak memiliki kemampuan atas hal tersebut atau ada tanggungan kewajiban lain pada dirinya yang juga sama pokok dan pentingnya untuk dipenuhi, seperti tanggungan nafkah istri dan anak-anak. Bahwa anak tetap punya kewajiban untuk memperjuangkan memenuhi permintaan orang tuanya, iya; namun ejawantahnya tentulah tidak bisa dibakukan secara general mesti begini begitu karena setiap kita punya kotaknya masing-masing.
Saya teringat kepada kisah dua sahabat terkemuka Kanjeng Nabi SAW yang pernah mengalami “urusan pahit” dengan orang tuanya, tepatnya ibu. Yakni Mush’ab bin Umair Ra dan Saad bin Abi Waqash Ra.
Ketika Mush’ab bin Umair Ra masuk Islam di Mekkah, lalu diketahui orang tuanya, ibunya sangat marah dan benci kepada anak yang sungguh sebelumnya amat sangat disayanginya. Dengan beragam cara si ibu berusaha keras membuat Mush’ab bin Umair Ra kembali kepada kaum musyrik Quraisy. Bahkan termasuk mengurungnya di dalam rumah kosong dalam waktu yang sangat lama, menghentikan semua pemberian, termasuk makanan dan minuman, dan merundungnya dengan sangat keras tidak mengakuinya sebagai anaknya lagi.
Mush’ab bin Umair Ra tetap kokoh dalam iman dan Islamnya; ia bergeming atas semua tindakan buruk ibunya yang sangat luar biasa buruk itu, dan tetap memperlihatkan sikap hormat kepadanya. Betul, sikap hormat selayaknya anak kepada ibunya, walau dalam hal keimanan itu menolak tuntutan ibunya untuk kembali musyrik.
Saad bin Abi Waqash Ra juga mengalami pertentangan sengit dan keras dari ibunya –meski tak sehebat kerasnya ibu Mush’ab bin Umar Ra. Saad bin Abi Waqash Ra tetap dalam pendiriannya untuk mempertahankan agama Islam yang telah dimasukinya, dan pula tetap memberikan penghormatan kepada ibunya.
Di antara cara ibu Saad bin Abi Waqash Ra untuk menekan putranya ialah melakukan mogok makan. Literally mogok makan yang sangat gawat.
Saad bin Abi Waqash Ra berusaha membujuk ibunya agar menghentikan aksinya itu. Berkali-kali ia mendatangi ibunya, merayunya –semua ini menjadi bagian dari cara si anak untuk tetap memberikan hormat dan sayang kepada orang tua.
Saad bin Abi Waqash Ra berkata kepada ibunya yang telah berhari-hari mogok makan dan berjanji akan terus tidak makan minum sampai meninggal atau putranya keluar dari Islam, “Wahai ibu, meskipun rasa sayangku kepada ibu sangat kuat dan tak berkurang sedikit pun, tetapi cintaku kepada Allah Ta’ala dan RasulNya Saw lebih kuat lagi. Demi Allah, jika ibu memiliki seribu nyawa, lalu satu persatu nyawa itu lepas dari tubuh ibu, aku takkan meninggalkan agamaku ini.”
Riwayat teguhnya iman Saad bin Abi Waqash Ra ini, sekaligus tetap hormatnya ia kepada ibunya, merupakan asbabun nuzul (sebab turunnya ayat) bagi surat Luqman ayat 14-15.
Sedulur semua, andai ada di antara Anda yang tinakdir membaca bagian ini, dan Anda adalah orang yang memiliki masa lalu kurang manis dengan orang tuanya, dan kini masih menyimpan kecewa, marah, benci, dan bahkan dendam kepada orang tuanya, saya doakan Anda untuk bisa segera diparing keridhaan hati kepada masa lalu kurang baik dari orang tua itu.
Pertama, yakinilah selalu bahwa tidak ada satu peristiwa dan kejadian yang mungkin luput dari qadha’ dan qadar Allah Ta’ala –ya termasuk masa lalu murung Anda. Buruknya perilaku orang tua Anda di masa lalu merupakan ketetapanNya kepada mereka, sebagai ujian buat mereka; dan posisi Anda sebagai anak yang jadi korban dari sikap-sikap buruk orang tua itu pula merupakan ketetapanNya, luyabluwakum ayyukum ahsanu ‘amalan, untuk mengujimu siapakah di antara kalian yang paling baik amal perbuatannya. Semua adalah bagian dari ujian Allah Ta’ala, entah itu dalam wujud kenikmatan maupun penderitaan, aasykuru am akfur, apakah aku bisa bersyukur ataukah malah kufur….
Kedua, segala ketetapan takdir dari Allah Ta’ala bersanding dengan segala ketentuanNya dalam wujud hukum syariat agama Islam ini. Hukum syariat ini takkan pudar, atau dibuat pudar, atau dipudar-pudarkan, hanya karena dirasakan tidak cocok dengan keinginan Anda. Segala ketentuan Allah Ta’ala dalam syariat ini –termasuk perintah bersikap baik kepada orang tua, dalam segala keadaannya—ya begitulah adanya, tak berkurang atau bertambah. Maka kepatuhan setiap kita kepada ketentuan syariatNya menjadi batu ujian pula bagi seberapa takwanya kita kepadaNya –termasuk dalam hal-hal yang hawa nafsu kita kurang/tidak menyukai.
Ketiga, obatnya adalah sabar, dan terus berjuanglah dalam bersabar, dan berpegang teguhlah kepada tali Allah Ta’ala, dan bertakwalah kepada(syariat)Nya, semoga Anda (kita semua) menjadi orang-orang yang beruntung (QS. Ali Imran: 200).
Keempat, Allah Ta’ala menyerukan agar kita berusaha bisa membalas dengan kebaikan kepada keburukan yang ditimpakan kepada kita –apalagi kepada orang tua sendiri, yang bagaimanapun berkatnyalah kita bisa ada dan hidup di dunia ini, seburuk apa pun mereka. Balasan kebaikan kita kepada keburukan orang di mata Allah Ta’ala sungguh tak pernah sama nilainya, derajatnya, dan pahalanya. Dan, barakah balasan kebaikan kita kepada orang yang berbuat buruk itu –apalagi orang tua—adalah Allah Ta’ala akan mengakurkan, mendamaikan, antara dua orang yang bermusuhan (ini di dunia), apalagi barakah di sisiNya langsung.
“Dan tidaklah sama kebaikan dan keburukan itu. Balaslah (keburukan) dengan hal yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. Sifat-sifat baik tersebut tidaklah dianugerahkanNya melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerakanNya melainkan kepada orang-orang yang memiliki keuntungan yang besar. Dan jika setan mengganggumu dengan suatu gangguan (godaan), maka mohonlah perlindungan kepada Allah Ta’ala. Sesungguhnya Allah Ta’ala Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Fushhilat: 34-36).
Perhatikanlah itu, renungkanlah itu, lalu pelan-pelan action: segeralah minta doa restu dan ridha kepada orang tuamu. Semoga Allah Ta’ala senantiasa menguatkan dan menolong Anda (kita) semua. Amin ya Rabbal ‘alamin. ShallaLlah ‘ala Sayyidina Muhammad wa alihi wa shahbihi wa ummatihi ajma’in.
Dari Anas bin Malik Ra bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Apabila seseorang (anak) enggan mendoakan kedua orang tuanya, maka niscaya rezeki anak tersebut di dunia akan terputus.” (HR. Al-Dailami).