
Beberapa hari yang lalu, salah seorang teman mengirim link postingan di X tentang salah seorang warga yang mendapati Stadion Sultan Agung Bantul penuh dengan sampah. Setelah ditelusuri, ternyata sebelumnya, stadion digunakan untuk acara sholawatan. Gambar yang diposting di X ini menuai beragam respons dari warganet. Beberapa ada yang ikut menyayangkan sampah yang ditinggal begitu saja setelah acara, tapi ada juga yang menormalkannya dan berpendapat bahwa panitia sudah membayar uang sewa dan masyarakat hanya ingin mencari hiburan dan mendapat berkah.
Sebagai negara dengan beragam agama dan kepercayaan, masyarakat Indonesia memang sering melaksanakan ritual atau kegiatan keagamaan di ruang publik. Tak heran, negeri ini memiliki banyak tanggal merah, karena masing-masing agama memiliki hari raya dan pemerintah menjadikan setiap perayaan ini sebagai hari libur. Beberapa perayaan kegiatan keagamaan di Indonesia memang sering dilaksanakan secara komunal. Beberapa kali mendapati sampah yang berserakan pasca acara. Tentu hal ini memunculkan beragam pertanyaan, mengapa beberapa acara keagamaan berakhir dengan sampah yang berserakan? Apa agama bisa menjadi solusi atas kerusakan lingkungan?
Peran Agama
Sejumlah ilmuwan mencoba mencari solusi lain untuk menghadapi perubahan iklim dan kerusakan lingkungan. Mereka memulai menganalisis peran aktor-aktor non-state yang bisa menjadi inisiator dalam menyuarakan kelestarian lingkungan. Salah satu hal yang kemudian dibahas adalah peran faith-based actors (FBA) atau aktor berbasis agama. Peran FBA dalam Tulisan Doris Fuchs dan Katharina Glaab dengan judul Green Faith? The Role of Faith-Based Actors in The Global Sustainable Development Discourse disebut hampir terlupakan. Padahal integrasi antara ilmu pengetahuan dan agama dapat menghasilkan perspektif ekologi yang berbeda. Tetapi, kemudian aktor agama mulai dilibatkan dalam sejumlah aksi melawan kerusakan lingkungan.
Sejumlah agama terlibat dalam pertemuan yang membahas mengenai persoalan lingkungan. Pada tahun 1986, para pemuka dari lima agama dunia (Budha, Kristen, Hindu, Islam, dan Yahudi) menyampaikan pesan-pesan lingkungan dari masing-masing agama dalam perayaan ulang tahun ke-25 World Wildlife Fund (WWF) International di Assisi, Italia dan pada 2012, sejumlah aktor keagamaan menyuarakan pandangannya terhadap kerusakan lingkungan pada perhelatan KTT Rio+20 yang diselenggarakan oleh PBB.
Selain itu sejumlah aktor muslim juga pernah bertemu dalam The Muslim Seven Year Action Plan on Climate Change Action (M7YAP) di Turki pada 2009 dan First International Conference on Muslim Action on Climate Change di Bogor pada 2010.
Terlibatnya aktor keagamaan dalam persoalan lingkungan membantah anggapan sejumlah teori yang menyatakan agama tidak tumbuh dalam ruang publik, tapi ia tumbuh dalam ruang privat. Hal-hal yang dianggap sebagai simbol modernitas seperti kemajuan teknologi dan ekonomi, justru dianggap sebagai sumber kerusakan lingkungan. Di sini, posisi aktor agama menjadi jelas, sebagai pembawa argumen etis agar umat memahami pentingnya etika pengelolaan lingkungan dan sebagai jembatan antara ilmu pengetahuan (lingkungan) dan ajaran keagamaan.
Pandangan Sejumlah Tokoh Muslim
K.H. Ali Yafie dalam bukunya Merintis Fikih Lingkungan merumuskan 6 hal untuk menghadapi sistem ekonomi yang tidak berkelanjutan. Keenam hal tersebut adalah 1) perlindungan jiwa raga (hifẓ al-nafs) adalah kewajiban utama, 2) kehidupan dunia bukanlah tujuan, melainkan titian menuju kehidupan akhirat, 3) produksi dan konsumsi harus sesuai dengan standar kebutuhan layak manusia (ḥadd al-kifayah), melampaui batas standar kebutuhan layak manusia dilarang, 4) keselarasan dan keseimbangan alam mutlak ditegakkan, mengganggu dan merusak ekosistem sama dengan menghancurkan kehidupan seluruhnya, 5) semua makhluk adalah mulia (muhtaram), siapa pun dilarang mengeksploitasi semua jenis makhluk yang menyebabkan kehidupannya terganggu, dan 6) manusia adalah pelaku pengelolaan alam semesta yang menentukan kelestarian kehidupan. Sementara K.H. Sahal Mahfudz melalu Nuansa Fiqih Sosial menekankan pentingnya hubungan antara ekonomi dan spiritualitas agar tidak berujung pada eksploitasi sumber daya alam.
Fachruddin Majeri Mangunjaya menyebut Islam memiliki kontribusi positif terhadap konservasi lingkungan melalui ajaran dan doktrin keagamaan. Haidar Bagir menyebut dua hal penting mengapa kita perlu membicarakan persoalan ekologi dan agama di Indonesia: pertama kondisi hutan sebagai paru-paru dunia terancam rusak dan kedua agama memainkan peranan penting dalam sejumlah bidang kehidupan di Indonesia. Dengan demikian, mempromosikan etika lingkungan berdasarkan ajaran agama dinilai begitu penting, karena dapat mendorong perilaku masyarakat agar lebih peduli terhadap lingkungan dan alam.
Ambivalensi Peran Agama
Setelah mengetahui peran agama dalam menghadapi kerusakan lingkungan, lantas bagaimana peluangnya? Apa agama bisa menjadi saluran yang efektif?
Mary Evelyn Tucker dan Haidar Bagir menyebut hubungan agama dan lingkungan hidup bersifat ambivalen. Tucker mengomentari bahwa beberapa ajaran agama menunjukkan kepedulian terhadap lingkungan hidup, tetapi di satu sisi, tradisi agama menganggap bumi atau dunia tidak terlalu penting. Dalam tradisinya, umat beragama cenderung condong terhadap urusan akhirat. Dalam contoh kasus di atas misalnya, masyarakat berdatangan ke acara keagamaan untuk mencari hiburan sekaligus keberkahan. Bahkan sejumlah tokoh agama sering meneriakkan dzikir dan doa untuk keselamatan negeri dalam acara tersebut. Tetapi di sisi lain, pasca acara sampah dibiarkan berserakan. Hal ini menunjukkan bahwa umat lebih condong terhadap persoalan akhirat dan mengabaikan keselamatan bumi.
Sementara itu Haidar Bagir menjelaskan bahwa agama bisa menjalankan dua peran sekaligus, yakni sebagai sumber progresif untuk keadilan tetapi juga dapat menjadi sumber penghambat. Sebagai sumber keadilan, agama menyediakan panduan dan sumber moral untuk hidup berkelanjutan dan tidak mengeksploitasi sumber daya alam. Sebagai penghambat, agama bisa dimanfaatkan oleh sejumlah pihak untuk melegitimasi degradasi lingkungan dengan mengatasnamakan kemaslahatan. Hal ini seperti tambang batu bara yang dibagi kepada ormas keagamaan dengan tujuan kemaslahatan dan pemberdayaan ekonomi umat.
Agama di satu sisi memang sebagai sumber inspirasi bagi upaya pelestarian lingkungan. Ajaran agama memuat panduan dan sumber moral bagi umat dalam menjalankan hubungan antara manusia dengan Tuhan dan manusia dengan makhluk lainnya, termasuk alam. Tetapi agama yang cenderung fokus pada orientasi akhirat dan memanfaatkannya untuk legitimasi degradasi lingkungan menunjukkan sejumlah tantangan besar yang perlu diatasi.
(AN)