Agama Sebagai Panacea, Sebutir Pil yang Menyembuhkan Segala Penyakit

Agama Sebagai Panacea, Sebutir Pil yang Menyembuhkan Segala Penyakit

Agama seolah menyelesaikan segalanya, tapi benarkah?

Agama Sebagai Panacea, Sebutir Pil yang Menyembuhkan Segala Penyakit

Keragaman yang mampu dikelola dengan baik seringkali dibanggakan sebagai salah satu bentuk keberhasilan. Dengannya kerumitan tata kelolanya dianggap dapat diatasi dan itu potret yang spektakuler. Namun kurang wajar jika gambaran tersebut semata menjadi bualan-bualan yang berujung kehampaan dan sekedar retorik.

Gambaran itu tentu tak cukup dibanggakan sebagai suatu keberhasilan. Pun sama sekali tak spektakuler. Sebab wujudnya kerap-kali dihadapkan dengan berbagai godaan dan ancaman. Keragaman yang dinilai kebanggan kerap kali dihadapkan dengan fenomena yang justru kontraproduktif dengan realitas. Konflik dan kekerasan etno-religius merebak dimana-mana.

Ujaran kebencian berbungkus retorika agama sangat mudah dijumpai. Seakan agama menjadi alasan terkuat untuk saling membenci dan melukai.

Maka edukasi publik soal pluralisme harus masuk dan mendalam. Tahun 2005 MUI mengeluarkan fatwa haram soal pluralisme. Sontak, pluralisme menjadi perbincangan panas dan perdebatan panjang. Perdebatan yang tak sekedar akademik, namun juga dimuati semangat teologis.

Bagi mereka yang mengharamkan pluralisme, paham ini dianggap perusak keimanan umat muslim. Pandangannya tergambar jelas bagaimana mereka mendefinisikan pluralisme. Bagi MUI, pluralisme agama dalam “Pluralisme, Librralisme, dan Sekularisme agama” didefinisikan sebagai suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalam sama dan karenanya setiap agama adalah relatif; oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar, sedangkan agama yang lain salah.

Pluralisme agama juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup berdampingan di surga. (Fatwa MUI Nomor: 7/MUNAS VII/MUI/11/2015). Bagi para pegiat pluralisme keagamaan yang merasa menjadi tertuduh oleh fatwa tersebut, apa yang dinyatakan MUI dalam fatwanya justru kontadiktif dengan apa yang terjadi di lapangan.

Tak ada satupun pegiat pluralisme agama yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama. Justru pluralisme lahir dari sebuah pengakuan adanya keragaman agama.

Sebagian pula berpendapat bahwa adanya paham pluralisme dengan prinsip menyamakan agama cenderung mencampur adukkan agama itu sendiri dan merusak keimanan. Justru itu bukan paham Pluralisme, itu namanya sinkretisme. Yakni sistem keyakinan yang berisi campuran dari berbagai elemen ajaran agama yang berbeda-beda. (Cliffort Geertz, The Religion Of Java)

Maka pluralisme yang semestinya adalah upaya cara berfikir secara kompleks untuk tidak sekedar meyakini semua agama sama, tapi upaya untuk mengeleminir virus phobia yang menjangkit cara berfikir hidup besama dengan berbagai perbedan. Tentu tetap dalam kometmen keimanan dan identitas.

Bagi Diana L. Eck dalam Frontiers of Faith: Religious Pluralism and Our Common Future nya, “Pluralisme bukan relativisme. Paradigma baru pluralisme tidak mensyaratkan kita untuk menanggalkan identitas dan komitmen-komitmen kita.

Pluralisme berarti meyakini perbedaan yang ada, bukan berarti harus mengisolasi diri, tapi justru berhubungan dengan yang lain. Bahasa pluralisme adalah dialog dan pertemuan, memberi dan menerima, kritik dan kritik diri.”

Jika agama sering mengkhutbahkan kebaikan, kasih sayang, perdamaian, dan segala kualitas baik dalam kehidupan manusia, ternyata juga menjadi faktor pendorong pendorong kuat dalan konflik dan kekerasan.

Logikanya, kira-kira apa sesungguhnya yang salah? Apakah Tuhan memang memerintah manusia menegakkan kebaikan dengan jalan kekerasan atau bahkan peperangan?

Jika demikian, mengapa kedua pihak yang bertikai sama-sama menganggap Tuhan dipihaknya dan mendukungnya? Atau semua konflik dan kekerasan sesungguhnya tak ada kaitannya dengan agama dan Tuhan, tapi perwujudan serakah dan sombongnya manusia dengan dalih agama dan Tuhan belaka?

Tentu jawabannya cenderung varian. Terlepas banyak kalangan yang memandang negatif terhadap agama, justru kekuatan positif yang perlu dituju adalah sebuah keimanan sebagai suatu kekuatan dalam menghadapi berbagai persoalan yang ada.

Sekalipun demikian, tak berarti menjadikan agama sebagai panacea, seperti sebutir pil yang bisa menyembuhkan penyakit. Agama tetap harus diletakkan secara proporsional dan menilainya secara relaistis. Tidak hanya kebaikannya, namun potensi destruktifnya akibat penyalahgunaan oleh orang-orang tertentu.

Maka pluralisme tak cukup sekedar mengakui fakta keragaman agama dan bagaimana kita memperlakukannya. Tentu saja itu tidak cukup. Pluralisme harus berimplikasi pada perjumpaan-perjumpaan dan membawa langkah-langkah baru yang positif dan produktif. Semisal dialog antariman. Tentu upaya tersebut tidak dalam rangka pamer, promosi kebaikan, dan meletakkan agamanya sebagai yang superrior, tidak. Namun yang sesungguhnya adalah upaya menerima kesetaraan hak spritual sehingga terbuka untuk saling memperkaya iman dan bekerjasama tanpa pamrih dalam menghadapi masalah sosial, ekonomi, politik dunia, dan lain-lain. (Al-Hujurat: 13)

Lebih vital dari itu, pluralisme tidak semata-mata mengakui adanya keragaman agama, tapi kometmen atas keragaman: bahwa setiap upaya yang cenderung merusak dan menghancurkan keeagaman agama sesungguhnya tak lain adalah menghancurkan sendi-sendi kemanusiaan itu sendiri.

Jelas bagi Eck, pluralisme bukan semata-mata soal keragaman itu sendiri, namun keterlibatan dengan keragaman. Mengakui adanya keragaman tanpa memiliki komitmen atasnya, jelas tak berarti apa-apa. Pun harus senantiasa bersikap positif, saling menjaga hak-hak keyakian, saling memahami, peduli, menghapus prasangka, serta mengeleminir sifat asumtif. Maka, “pluralism is not a given, but an achievement.”