Beberapa hari yang lalu seorang teman membagikan foto seorang anak yang sedang memegang senjata dengan caption “Anak Sholeh Idaman Orang Tua”. Selain caption tersebut, dibumbui juga beberapa hadis yang menjelaskan faidah berjihad seperti dilebur dosa dan lain sebagainya.
Dengan agak dongkol, teman saya tersebut menuliskan beberapa kalimat bernada nyindir. Singkatnya, teman saya tersebut menyayangkan adanya “meme” yang ingin memprovokasi semua orang agar menjadikan anaknya sebagai teroris. Seolah-olah menjadi teroris adalah idaman semua orang tua.
Selain foto tersebut, saya menemukan beberapa foto anak dalam aksi “Bela Islam” yang diselenggarakan beberapa waktu yang lalu. Anak-anak yang mengikuti aksi tersebut membawa beberapa poster yang bertuliskan kalimat-kalimat bernada kebencian. Hal ini memunculkan polemik di sekitar masyarakat walaupun akhirnya GNPF-MUI memberikan klarifikasi dalam website resminya tentang mengajak anak-anak dalam aksi. Salah satunya adalah sebagai media bagi orang tua dalam mendidik anak-anaknya.
Namun, alasan-alasan yang diberikan GNPF tersebut tidak sepenuhnya benar. Kondisi psikologi anak, siapa orang tuanya, bagaimana pandangan orang tua, lingkungan orang tua dan sekitarnya jelas mempengaruhi konstruksi pemikiran anak-anak tersebut di masa depannya. Besar kemungkinan bahwa anak-anak yang mengikuti aksi tersebut akan berdiri dalam satu pandangan; yakni pandangan yang dibawa oleh peserta aksi entah itu orang tua yang mengajaknya ataupun orang-orang lain di sekitarnya saat aksi.
Apalagi jika orang tuanya adalah peserta aksi fanatik yang berfikir bahwa kebenaran yang dia bela adalah kebenaran yang mutlak. Tentu hal ini akan mempengaruhi pola pikir anak tersebut. Sehingga ikutlah anak tersebut dengan pemikiran orang tuanya dan jadilah anak tersebut pembenci bagi orang-orang yang berbeda dengan orang tuanya atau minimal menjauh dari orang-orang yang berbeda dengan orang tuanya.
Sama halnya dengan gambar si anak pemegang senjata; si “calon syahid” yang dibagikan teman saya dalam facebooknya. ‘Sama’ yang saya maksud adalah dalam hal terpengaruh dengan indoktrinasi lingkungan dan orang tuanya yang satu arah. Jika pemahaman satu arah yang diberikan kepada anak tersebut berlangsung dalam waktu yang lama serta tidak ada kesempatan bagi anak tersebut untuk mengetahui berbagai pandangan lain, niscaya dia tidak akan menerima perbedaan apalagi berperilaku toleran.
Anak-Anak dalam Kajian Psikologi Agama
Dalam kajian Psikologi Agama, anak-anak memiliki beberapa sifat keagamaan. Sifat-sifat keagamaan ini sangat berpengaruh besar bagi perkembangan pola pikir keagamaan si anak. Yang pertama adalah unreflective (tidak mendalam). Sifat ini menjadikan anak-anak mudah menerima semua hal yang diberikan oleh orang lain tanpa kritik. Apapun yang diterima ditelan mentah-mentah dan selalu merasa puas dengan penjelasan dan keterangan yang diberikan walaupun tidak masuk akal.
Kedua, anak-anak memiliki sifat verbalis dan ritualis. Diyakini atau tidak, sifat keagamaan yang timbul pada anak adalah dimulai dari ucapan yang diberikan kepada mereka. Kemudian mereka bertindak sesuai dengan perilaku dan tindakan yang diajarkan kepada mereka. Suatu hal yang sering diucapkan dan dilakukan oleh orang-orang yang sangat dekat dengan mereka adalah menjadi pembelajaran otomatis bagi si anak. Semakin sering orang tua dan orang-orang yang berada di dekat mereka melakukan ujaran kebencian seperti “Bunuh si A”, “Gantung si A” dan semacamnya, maka ujaran itu juga yang akan membatu di kepala si anak.
Ketiga adalah sifat imitatif. Sifat ini yang menjadikan anak sebagai peniru yang ulung. Saat orang tua ingin mengajarkan gerakan sholat pada anaknya, orang tua tak perlu menyuruh anaknya untuk menghafal gerakan-gerakan tersebut. Cukup mengajak anak sholat di belakang orang tua, maka anak akan mahir melakukan gerakan sholat tanpa susah-susah menghafal. Ketika orang tua dengan terang-terangan di depan anak membenci orang lain, maka anak akan seperti orang tuanya.
Keempat, rasa heran. Rasa heran ini sering muncul jika ada hal-hal yang baru atau hal-hal yang berbeda dengan sikap lingkungan dan keseharian mereka. Rasa ini juga mempengaruhi tindakan si anak jika tidak diarahkan dengan baik. Rasa heran ini muncul kerena belum adanya pengetahuan yang cukup bagi anak secara menyeluruh. Pengetahuan yang ia terima hanya parsial saja. Sehingga saat ada hal baru dan berbeda, si anak akan heran dan disusul dengan tindakan-tindakan selanjutnya. Entah itu tertarik untuk mempelajari hal baru tersebut atau malah menjauhi dan memusuhi hal tersebut.
Empat hal di atas adalah sifat keagamaan anak yang seharusnya bisa digunakan orang tua untuk mengarahkan si anak ke arah yang positif. Jangan sampai hanya karena keegoisan dan fanatisme orang tua, sifat-sifat tersebut malah memberikan nilai negatif kepada anak.
Membentuk Anak yang “Ramah”
Negara telah mengatur ekspresi seorang anak yang tertuang dalam pasal 6 undang-undang perlindungan anak yang berbunyi: “setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir dan berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya dalam bimbingan orang tua atau wali”. Ada beberapa kata penting yang harus kita sorot dalam hal ini. Yaitu “berfikir dan berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya”.
Dengan adanya beberapa kata yang disorot, bagaimana selanjutnya sikap orang tua? Yang seharusnya dilakukan orang tua adalah mendahulukan proses pembelajaran yang sedang dilakukan oleh si anak; Memberi kesempatan si anak untuk menempuh dan melalui pembelajaran berbagai ilmu dan tingkatannya; Mendorong dan memotivasi anak bahwa belajar adalah hal yang paling penting dan harus lebih didahulukan daripada hal-hal lain. Karena bagaimanapun juga tindak-tanduk seseorang dipengaruhi oleh kualitas ilmu yang dimiliki.
Syaikh Hasan al-Massyath salah seorang guru Sayyid Muhammad Alwi al-Maliki mengatakan: al-alim kullama ittasa’a fikruhu wa ilmuhu, ittasa’a qolbuhu wa shodruhu. (Seseorang terpelajar ketika semakin luas ilmu dan pikirannya, maka semakin luas pula hati dan dadanya) yakni mudah menerima perbedaan, dan tidak mudah menyalahakan, menyesatkan, membid’ahkan, apalagi mengkafirkan.
Begitupula dengan anak-anak, jika selalu ditempa dengan berbagai keilmuan dan mendorongnya untuk tetap belajar maka suatu saat nanti dia akan mengetahui apa yang seharusnya ia lakukan. Ia pasti mengetahui mana yang benar dan mana yang salah.
Orang tua seharusnya memberikan kepada anaknya pena dan buku bacaan keilmuan bukan malah memberikan senapan. Mereka juga seharunya mengajak anak mereka masuk sekolah dan pesantren bukan malah mengajaknya perang dan semacamnya. Apalagi sampai anak-anak mendengarkan dan melihat ujaran dan perilaku kebencian yang berpotensi untuk ditiru dan membekas di kepala sang anak.
Islam sebenarnya telah mengatur hal-hal yang seharusnya dilakukan oleh orang tua kepada anak. Hadis yang menjelaskan pendidikan orang tua kepada anak yang pertama adalah perintah untuk melaksanakan sholat ketika umur tujuh tahun. Hal ini bisa berarti pendidikan keagamaan secara menyeluruh bukan hanya sholat. Karena sholat juga berkenaan dengan hal-hal lain. Misalkan wudhu, thoharoh, membaca Al-Quran. Karena sholat tidak sah tanpa hal-hal tersebut. Bukan serta merta langsung diajarkan berjihad, berperang, membenci orang yang berbeda dan lain sebagainya.
Hal yang harus diperhatikan selanjutnya adalah sekolah, madrasah atau pesantren yang akan digunakan si anak menuntut ilmu. Pastikan bahwa di tempat tersebut si anak dididik oleh seorang guru yang tidak hanya mengerti ilmu agama tapi juga memahami ilmu kenegaraan dan kebangsaan. Hal ini sebagai langkah preventif agar anak tidak mudah disetir dengan isu-isu yang bernuansa agama saja.
Sebenarnya masih banyak hal lain yang bisa dilakukan orang tua untuk mendidik si anak dengan ramah melalui agama. Karena agama adalah rahmat dan selalu mengajarkan keramahan bukan kemarahan. Tentunya tidak hanya ramah dalam berperilaku tapi juga ramah dalam memahami perbedaan.
M. Alvin Nur Choironi, Penulis adalah Editor in Chief di Jurnal Kulminasi, Jurnal Multidisiplin Keilmuan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Sekretaris Pusat Forum Komunikasi Mahasiswa Tafsir Hadis se-Indonesia 2015