Kemarin, ada dua topik percakapan di media sosial yang membuat pernafasan kita terganggu — akibat terengah-engah membetot emosi. Keduanya mengenai agama. Maklum, di bulan puasa para aktivis digital tidak bisa sembarangan mengunggah foto makanan; dan sebaliknya dalam keadaan lapar, sangat bergairah membicarakan agama. Bagaimana agama dibicarakan orang-orang lapar?
Percakapan pertama adalah tentang pandangan bahwa hakikat agama itu bersifat privat, dan bahwa privasinya bisa diibaratkan serahasia wilayah celana-dalam. Dalam pandangan pertama ini, ada agenda untuk membebaskan wilayah publik dari (pengaruh) agama. Kedua, pandangan yang berada di seberangnya yang meyakini bahwa agama bukan wilayah privat, sebaliknya malah berwatak publik. Mengikuti logika kedua ini misalnya, bulan puasa bahkan harus dimaklumkan sebagai “bulan komunal” — bulannya orang-orang yang merayakan kesalehannya di ranah publik.
[Jadi, bertentangan dengan pandangan pertama yang menganggap bahwa wilayah agama adalah privat, pandangan kedua menganggap bahwa agama — selain harus punya spasialitas (ruang) publik — sesungguhnya juga memiliki “temporalitas” (waktu) publik].
Sebenarnya percakapan seperti ini adalah percakapan klise mengenai isu sekularisme dan sekularisasi. Di masa lalu agama-agama mendominasi ruang-waktu publik secara total. Kita tahu, sekularisme telah melucuti ruang-waktu publik dari agama, sehingga agama akhirnya digiring ke wilayah privat. Sakralitas hanya ada di wilayah privasi individual. Itu sebabnya, wilayah publik harus didesakralisasi; dan secara khusus dibebaskan dari klaim-klaim normatif partikularistik agama-agama. Posisi ini umumnya dianut oleh kalangan liberal.
Kalangan komunitarian bertahan dari desakan sekularisasi, dan mencoba merebut kembali sebagian ruang dan waktu agama sebagai ruang-waktu publik. Komunitarianisme memang berada pada posisi mempromosikan kembalinya agama sebagai pemilik ruang-waktu publik. Hingga sekarang, perdebatan agama di Indonesia pun sebenarnya masih berkutat pada pertengkaran ini: sampai batas mana agama masih bisa ditolerir di ruang-waktu publik. Contohnya, gagasan untuk menjadikan 1 Muharam sebagai Hari Santri, juga bulan puasa sebagai “bulan komunal,” adalah upaya-upaya defensif kelompok komunitarian dari agresi kelompok liberal untuk privatisasi agama. Di sini kita harus ingat pula pandangan saling berbeda antara empat kubu intra-Islam — tradisionalis, rezimis, liberalis, dan fundamentalis.
Di pihak lain, kelompok liberal non-agama secara mutlak menganggap bahwa agama tidak boleh lagi masuk wilayah publik. Mereka didukung oleh kaum sekularis radikal, kelompok-kelompok agnostik dan ateis fundamentalis, serta kalangan spiritualis anti-agama.
Kita akan menjadi tak-realistis melihat Indonesia tanpa mau tahu perdebatan panas antar kelompok, faksi, kubu, mazhab, aliran, dan golongan — baik intra-agama, antar-agama, maupun antara agama dan non-agama — mengenai sentralitas isu-isu di atas. Menjadi masalah besar kalau masing-masing peserta percakapan sudah saling menegasikan; dan secara apriori merasa diri paling benar, apalagi dengan kenyinyiran saling melecehkan.
Indonesia adalah format yang belum selesai, termasuk menyangkut kedudukan agama di wilayah publik atau sebaliknya isu-isu publik dalam visi dan pandangan agama-agama. []