Agama seluruhnya mengajarkan kebaikan dan kelembutan. Tidak ada agama yang mengajarkan keburukan dan kekerasan. Mestinya setiap pemeluk agama menampilkan kebaikan agama itu dalam laku kesehariannya. Namun faktanya, sebagian pemeluk agama mempertontonkan keburukan, kekerasan, dan kejatahan atas nama agama.
Hampir seluruh agama besar di dunia ini, ada saja pemeluknya yang menggunakan agama untuk kekerasan. Asef Bayat mengatakan, konservatisme, radikalisme, fundamentalisme, dan ekstrimisme bagian dari fenomena over religiusitas yang menjadi trend global dan melibatkan kebanyakan agama-agama besar di dunia.
Biasanya yang melakukan kekerasan itu adalah pemeluk agama mayoritas dalam suatu wilayah. Kekerasan atas nama agama di India misalnya, kebanyakan pelakunya adalah pemeluk agama Hindu. Kekerasan terhadap muslim di Myanmar pelakunya pemeluk agama budha. Teror bom di Indonesia pelakunya kebanyakan muslim.
Karenanya, kita tidak boleh menstigmasisasi agama tertentu sebagai agama kekerasan. Agama apapun di dunia ini berpotensi menjadi kekuatan jahat, ketika pemeluknya tidak lagi mengindahkan nilai-nilai kebaikan di dalam agama. Hal ini sebagaimana ditegaskan Charles Kimball dalam bukunya When Religion Becomes Evis (Kala Agama Menjadi Bencana).
Seperti dijelaskan Azyumardi Azra, Kimball dalam buku itu menulis mengapa agama besar di dunia ini bisa menjadi kekuatan merusak dan menakutkan. Merujuk pada pengalaman Yudaisme, Kristiani, dan Islam, ada beberapa hal yang membuat pemeluknya berpotensi untuk melakukan kejatahatan atas nama agama:
Pertama, klaim kebenaran absolut oleh individu dan kelompok, atau merasa benar dengan pendapat sendiri.
Kedua, penetapan waktu sekarang sebagai paling pas bagi individu atau kelompok yang mengklaim memiliki restu Tuhan untuk mengakhiri segala kemungkaran.
Ketiga, taklid buta pada pemahaman, ketentuan praktik keagamaan, dan komando tertentu.
Keempat, menghalalkan cara apapun untuk melakukan perubahan yang diyakini diperintahkan.
Kelima, pemakluman jihad (holy war) terhadap individu tau kelompok yang dianggap menyimpang dari agama sendiri atau untuk menyucikan dunia dari kemungkaran.
Kalau diperhatikan, ketidakbiasaan menerima pandangan yang berbeda menjadi sebab utama dalam aksi kekerasan atas nama agama. Padahal, dalam agama apapun, perbedaan adalah keniscayaan yang harus diterima. Kita boleh meyakini apa yang kita pahami sebagai sebuah kebenaran, tapi yang tidak boleh memaksa orang lain untuk menerima pandangan kita, dan menganggap apa yang dipahami orang lain sebagai sebuah kesalahan.
Kemudian, dalam konteks bernegara, setiap permasalahan harus diselesaikan berdasar aturan yang berlaku di negara tersebut, sekalipun negara yang ditempati tidak merujuk pada al-Qur’an dan hadis. Kekerasan sering terjadi apabila pemeluk agama tertentu main hakim sendiri menyelesaikan masalah yang sebenarnya bukan wewenang mereka.
Agama seringkali dijadikan topeng oleh oknum tertentu agar banyak orang terpengaruh dengan propaganda kekerasan yang mereka usung, dan doktrin agama termasuk yang paling efektif mempengaruhi cara berpikir orang lain. Apalagi, kejahatan yang dibungkus dengan agama, kata Muhammad Najih Arromadloni (Gus Najih), akan terlihat mulia. Misalnya, membunuh seorang itu kejatahan besar, tapi jika dibungkus dengan jihad, bisa jadi suatu hal dipandang mulia. Memukul orang itu perbuatan jahat, tapi bila dibungkus dengan amar makruf nahi munkar, itu menjadi suatu hal yang mulia. Berzina itu kejahatan, tapi ketika dibungkus dengan jihad nikah menjadi mulia. Merampok kejahatan, bila dibungkus dengan ghanimah jadi mulia.
Karena agama tidak pernah mengajarkan kekerasan dengan alasan apapun, kita harus curiga dan jangan terpengaruh oleh individu atau kelompok yang mengajarkan kekerasan atas nama agama.
*Artikel ini didukung oleh Protect Project, UNDP Indonesia, Uni Eropa, dan UNOCT