Indonesia adalah negara yang sangat religius. Itu satu fakta yang tak terbantahkan. Tengoklah hasil survei atau penelitian terkait tingkat kepercayaan masyarakat terhadap Tuhan di berbagai negara yang dirilis oleh berbagai lembaga penelitian, dari yang layak dipercaya, sampai yang layak ditempeleng, nyaris semuanya menempatkan Indonesia dalam jajaran negara yang paling religius.
Sebagai ilustrasi betapa religiusnya Indonesia, berdasarkan laporan survey oleh Pew Research Center, setidaknya 96 persen responden dari Indonesia meyakini keberadaan Tuhan. Itu angka yang lebih tinggi dari Kenya (95 persen) dan Nigeria (93 persen). Bayangkan, negara-negara Afrika dengan bentang alam kering dan panas seperti Kenya dan Nigeria, yang tanah dan suhu udaranya saja sudah sangat cocok bagi siapapun untuk berserah diri kepada Tuhan, ternyata masih kalah religius dibandingkan Indonesia.
Singkat kata, “DNA” spiritualitas masyarakat Indonesia adalah salah satu yang paling tokcer. Hal tersebut membuat agama dan instrumen-instrumen lainnya yang berhubungan dengan spiritualitas memegang peranan penting dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Nilai-nilai religi dan spiritual nyaris selalu mempengaruhi banyak sudut pandang, keputusan, dan kebijakan di berbagai lini kehidupan masyarakat di Indonesia.
Agama, misalnya, mampu menjadi instrumen penguat untuk memenangkan sosok tertentu dalam kontestasi politik. Rajin dan tidaknya seseorang melaksanakan sembahyang masih sering dipakai sebagai tolok ukur moralitas seseorang. Perempuan yang memakai jilbab dianggap lebih sopan dibandingkan yang tidak. Penolakan atas vaksin lebih banyak karena faktor isu mengandung babinya, alih-alih karena tingkat efektivitasnya atau komposisi zat kimianya. Dan sebagainya, dan sebagainya. Tak berlebihan jika menyebut bahwa di Indonesia, agama masih, dan tampaknya akan terus menjadi kekuatan yang sangat persuasif.
Hal tersebut sejalan dengan hasil riset yang dilakukan oleh Alvara Institute pada Desember 2021 yang menyebutkan bahwa 99,4 persen masyarakat Indonesia menganggap agama memiliki peran penting dalam kehidupan mereka.
Sayangnya, agama dan instrumen spiritual lainnya yang amat potensial dan berdaya ini masih kerap digunakan untuk hal-hal yang sifatnya destruktif. Bukan hal yang baru di Indonesia ketika agama digunakan sebagai alat untuk mengamplifikasi kebencian dan kekerasan, menguatkan eksklusivisme dan fanatisme kelompok, melanggengkan patriarki, sampai yang menjijikkan, menjadi tameng atas praktik-praktik kejahatan yang dilakukan oleh oknum-oknum “agamis” yang culas.
Peran agama sebagai instrumen yang memajukan peradaban menjadi terasa belum maksimal. Salah satu yang cukup menjadi perhatian, setidaknya dalam sepuluh tahun terakhir ini, adalah masih minimnya kehadiran agama dalam kerja-kerja ekologi. Tentu saja ini menjadi hal yang menyedihkan, mengingat nyaris semua agama, atau setidaknya agama yang diakui di Indonesia, punya ajaran-ajaran penting terkait ekologi, termasuk pesan-pesan tentang pelestarian alam.
Islam, misalnya, sebagai agama mayoritas di Indonesia, punya banyak sekali dalil yang berhubungan dengan ekologi, dari ayat “best-seller” seperti surat Al-A’raf 56: “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi”, sampai Hadits riwayatImam Bukhari dan Imam Muslim tentang menanam pohon dan sedekah yang agak jarang terdengar itu: “Tidaklah seorang muslim menanam tanaman, kemudian tanaman itu dimakan oleh burung, manusia, ataupun hewan, kecuali baginya dengan tanaman itu adalah sedekah.”
Pada praktiknya, walau agama punya banyak dalil yang mendukung kerja-kerja pelestarian alam, namun pengejawantahannya melalui perilaku para penganut agama di Indonesia memang masih belum maksimal.
Setidaknya ada dua alasan yang mendasari hal tersebut. Alasan pertama, karena memang masyarakat Indonesia belum punya pengetahuan yang memadahi tentang masalah lingkungan, terutama yang berhubungan dengan iklim. Survei yang dilakukan oleh Purpose Climate Lab pada tahun 2021 menunjukkan bahwa hanya 15 persen dari masyarakat Indonesia yang tahu banyak tentang pemanasan global, dan hanya 8 persen yang tahu banyak tentang apa itu krisis iklim. Ini fakta yang cukup menyedihkan, mengingat Indonesia nyaris selalu masuk dalam daftar 10 besar negara yang menyumbang emisi dunia terbesar dalam 170 tahun terakhir.
Alasan kedua, yang sekaligus menjadi sebab kenapa ada alasan pertama, masih minimnya peran pemuka dan pemimpin agama dalam menyampaikan pesan-pesan terkait usaha-usaha pelestarian lingkungan, padahal, masih menurut survei dari Purpose Climate Lab, pemimpin agama menempati posisi kedua dalam daftar penyampai pesan yang dipercaya oleh masyarakat. Mereka mengalahkan selebritas, keluarga, bahkan media.
Karena itulah menjadi sangat penting untuk melibatkan para pemuka agama dalam kerja-kerja ekologi. Indonesia sudah punya modal yang baik berupa tradisi keagamaan yang kuat serta masyarakat religius, yang punya tingkat ketakziman luar biasa terhadap para pemuka agama, maka akan menjadi gerakan yang luar biasa ketika para pemuka agama bisa ikut bergerak dalam menyebarkan pesan-pesan terkait kepedulian lingkungan.
Dalam berbagai bidang di luar ekologi, nilai-nilai keagamaan toh sudah terbukti mampu menjadi kekuatan yang besar. Tren busana muslim, misalnya, tumbuh dengan sangat pesat dalam dua puluh tahun terakhir. Industri halal juga makin menggeliat. Yang paling kentara, aset keuangan syariah di Indonesia terus tumbuh dari tahun ke tahun. Semua itu bisa terjadi tentu saja karena adanya semangat yang masif dari masyarakat untuk menjadi pemeluk agama yang baik (menutup aurat, makan makanan halal, menjauhi riba dan gharar, dll).
Nah, jika agama bisa tampil menjadi kekuatan yang besar dalam berbagai bidang di luar ekologi, maka bukan mustahil jika di masa depan, agama pun akan menjadi pendorong utama dalam kerja-kerja pelestarian alam, perbaikan dampak perubahan iklim, serta upaya-upaya ekologi lainnya.
Kunjungan saya ke Pesantren Al-Imdad dan Pesantren Lintang Songo di Bantul menguatkan keyakinan saya atas hal itu. Di Pesantren Lintang Songo, misalnya, santri di sana bisa mandiri secara pangan. Oleh pengasuhnya, Kiai Heri Kuswanto, para santri dididik dengan penuh kedisiplinan agar benar-benar bisa menanam tanaman pangan. Mereka diyakinkan bahwa muslim yang mandiri adalah muslim yang baik.
Sementara itu, para santri di Pesantren Al-Imdad juga punya kesadaran tinggi untuk mengumpulkan sampah rumah tangga yang mereka pakai untuk kemudian diolah kembali. Hal tersebut bisa terwujud sebab Pengasuh Pondok, Kiai Habib Abdul Syakur, selalu menanamkan kepada para santri: bahwa seorang seorang santri itu harus “Salih”, alias Sadar Lingkungan Hidup.
Baca Juga, Ekologi Spiritual, Pemuliaan terhadap Alam, dan Musik Dangdut Hari Ini
Dampak perubahan iklim yang makin kentara tampaknya harus menjadi peluit yang keras. Sudah saatnya ruang-ruang keagamaan dipenuhi oleh diskusi dan perbincangan tentang iklim dan lingkungan. Pengajian bukan hanya diisi oleh dalil-dalil tentang iman dan taqwa, namun juga dalil-dalil tentang pelestarian alam. Khotbah jumat harus bisa menjelma menjadi orasi ekologi agar bisa mengajak hadirin sidang jumat yang berbahagia untuk tidak melulu menjadi manusia yang doyan berbuat kerusakan di muka bumi.
Di Indonesia, masalah lingkungan dan ekologi akan selalu menjadi masalah yang rumit dan melelahkan, namun agama dan spiritualitas seharusnya bisa tampil menjadi salah satu solusi. Saya yakin betul dengan hal itu, sebab di Indonesia ini, hanya ada dua cara untuk membuat orang-orang berhenti membuang sampah sembarangan di sebuah tempat. Pertama, letakkan saja kijing dan nisan, sehingga orang mengira itu adalah makam dan orang tidak akan berani membuang sampah di sana. Kedua, pasang banner dengan tulisan yang siapapun orang yang mengaku bertuhan, akan dibuat takut karenanya: “Ya Allah, percepatlah ajal orang yang membuang sampah di sini.”