Pesona generasi Y atau yang lebih dikenal dengan sebutan milenials yang saat ini sedang bersinar sebentar lagi akan meredup, segolongan orang yang lahir antara tahun 80-an sampai tahun 90-an ini sebentar lagi sudah menjadi orang-orang yang tua yang kuno, dan berikutnya generasi Z lah yang akan mengambil alih kendali dunia dari tangan milenials.
Generasi Z adalah istilah para sosiolog untuk mendefinisikan segolongan manusia yang hidup setelah era millenium dalam keadaan dunia sudah ‘mellek’ internet dan bergelimang teknologi, sederhananya mereka adalah klasifikasi anak yang lahir dalam rentang tahun 2000-an dan setelahnya. Mereka yang lahir di dunia saat otoritas pemerintah atau pun dogma agama tidak lagi punya kuasa sepenuhnya mengontrol pikiran masyarakat, karena akses informasi dan pengetahuan bisa didapat dengan sangat cepat dan mudah. Tidak heran bila generasi Z ini memiliki karakter dasar yang sama, yaitu generasi yang sangat menyukai keterbukaan, kesetaraan dan kebebasan, baik kebebasan berekspresi, berkreasi atau berpendapat di ruang publik.
Menggunakan akun jejaring sosial sejak usia dini, berkenalan dengan ragam corak manusia dari penjuru dunia membuat mereka lebih memiliki karakter terbuka dari pada generasi-generasi sebelumnya, lebih menerima perbedaan dan tidak mudah kaget menemukan orang-orang yang berbeda. Mereka lahir dalam atmosfir sosial yang menyatakan bahwa perbedaan itu adalah rahmat, keniscayaan dan hukum alam yang tidak dapat dipungkiri.
Bayangkan, apabila anak yang sejak lahir hidup dalam kondisi dimana tidak ada lagi batas jaringan pertemanan karena siapapun secara instan dapat diakses dengan ‘search engine’ atau melalui media sosial, lalu agama hadir pada mereka dengan wajah yang kaku, beringas dan kasar – yang cenderung mengekang dan posesif, memagari kebebasan, gemar memicu konflik antar sesama, diskriminatif dan menganggap salah dan berdosa pada orang yang bebeda, maka apa jadinya? Penolakan terhadap ajaran agama akan terjadi sejak dari internal diri mereka sendiri, setidaknya para generasi mendatang akan terus mengintrogasi ajaran agama yang seakan-akan tidak sesuai dengan kondisi sosial yang menurut mereka sudah baik. Sanubari mereka akan berteriak dan bertanya: “Apa maksud agama? Untuk apa ada? Apakah saya harus percaya pada ‘kebenaran’ yang absurd yang hanya akan menyebabkan pertengkaran antar sesama manusia?”
Pada kenyataannya, alternatif masyarakat di banyak negara untuk hidup tidak memilih agama apapun tidak semakin surut, justru Atheisme semakin berkembang pesat di seluruh belahan dunia. Seperti yang pernah dilansir BBC pada 2015, menurut survei internasional Gallup terhadap lebih dari 50.000 responden di 57 negara, jumlah orang yang mengklaim dirinya religius turun dari 77% menjadi 68% antara tahun 2005 dan 2011, sementara mereka yang menyatakan diri sebagai Atheis meningkat 3%. sehingga diperkiraan jumlah Atheis di dunia ini mencapai 13% dan menjadi penganut terbesar nomor 3 di dunia setelah Kristen dan Islam.
“Saat ini ada lebih banyak pemeluk ateisme dibandingkan sebelumnya, baik dari segi jumlahnya maupun sebagai persentase dari manusia yang ada di dunia,” kata Phil Zuckerman, seorang professor kajian sosiologi dan sekularisme di Pitzer College di Claremont, California.
Yang mengejutkan pada survei Gallup di tanah kelahiran Islam sendiri yakni Saudi Arabia, diperkirakan ada 5% penduduk yang mengaku Atheis atau menentang ide-ide ketuhanan, persentase ini sama dengan jumlah penganut Atheisme di Amerika Serikat. Survei menyatakan Atheisme di Saudi yang kebanyakan diprakarsai oleh anak-anak muda disebabkan oleh muaknya mereka atas praktek ajaran Salafi Wahabi di Saudi yang cenderung mengekang. Secara garis besar persentase Atheis lebih tinggi di dunia Arab (22%) dibandingkan di Asia Selatan (17%) dan Amerika Latin (16%).
Hal ini juga pernah dinyatakan oleh Buya Syafii Maarif dalam bedah buku “Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan” di Universitas Airlangga, pada tahun 2015. Menurutnya, ajaran Wahabi yang dianut Saudi Arabia menjadi pendorong maraknya Atheisme di kalangan anak-anak muda Arab. Hal senada juga pernah dinyatakan Ketua Umum PP Muslimat NU Kofifah Indar Parawansa di Ponpes Bumi Aswaja, Gresik pada 2016 lalu, keprihatinannya pada negara-negara di timur tengah yang menjadi ikon awal-awal perjuangan dan penyebaran agama Islam yang justru memiliki tingkat penganut Atheisme yang relatif tinggi. Menurutnya, Ledakan Ateisme di negara-negara Timur Tengah disebabkan oleh aksi-aksi radikal yang mengatasnamakan agama.
Tidak perlu penjelasan panjang lebar sekadar tahu mengapa dunia semakin dilanda krisis teologia. Intinya, dalam kacamata subjektif agama dengan konsep ketuhanan dan kesalehan sosial di dalamnya ternyata tidak cukup menciptakan output manusia yang lebih baik, alih- alih memberikan dampak positif bagi peradaban manusia, yang ada kekacauan di dunia ini kerap kali dipicu oleh dalih ajaran agama, maka tidak heran bila Atheisme menjadi alternatif sebagian masyarakat modern.
Tren dunia yang semakin berkhidmat pada asas keterbukaan dan kebebasan mengantarkan analisa mendasar bahwa ajaran apapun yang cenderung diskriminatif, mengekang dan memicu konflik lambat laun dengan sendirinya akan ruhtuh ditinggalkan oleh penganutnya, karena setiap orang tidak akan betah hidup menjalankan dogma yang membelenggu dan melawan nurani kemanusiaannya sendiri, tidak terkecuali agama.
Pada akhirnya, agama yang selaras dengan zaman adalah agama yang ‘Rahmatan lil Alamin’ dengan konsep mengayomi dan melindungi semua, menjunjung toleransi, membuka ruang kebebasan berpendapat dan berekspresi dan menghargai keanekaragaman.
Sebagai penutup, penulis sedikit mengutip petikan syair dari Syeikh Sa’di, seorang pujangga sufistik kenamaan dari Persia “Ribuan orang yang merasa asing dengan Tuhan adalah korban dari orang lain yang merasa mengetahui Tuhan” (Gulistan, hlm. 193)