Sebagai seorang Muslim (yang mengaku) tradisional, berziarah dan berwasilah menjadi hal yang rutin, bahkan menjadi syarat penting ketika ada hajat tertentu. Wasilah, secara harfiah merupakan perantara, atau semua sarana yang digunakan untuk menuju kepada yang dimaksud. Habib Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Mishbah menjelaskan bahwa wasilah berarti sesuatu yang menyambung dan mendekatkan sesuatu dengan yang lain atas dasar keinginan yang kuat untuk mendekat.
Sebagaimana yang jamak dilakukan oleh Muslim tradisional, berwasilah merupakan aktivitas berdoa kepada Allah melalui perantara berkah atau karamah orang saleh tertentu. Bisa melalui karamah guru, Kiai, atau para auliya’ (jamak dari Wali, sosok individu yang diberi keistimewaan secara spiritual).
Penulis pribadi telah menjalankan tradisi ziarah dan berwasilah sejak kecil. Ke makam wali, atau kiai yang penulis istimewakan. Sehingga aktivitas ini seperti rutinitas biasa saja. Namun siapa sangka, justru pengalaman paling berkesan tentang wasilah tidak penulis temui di makam wali, atau kiai yang sering penulis ziarahi. Pengalaman menarik tentang wasilah penulis temukan di tengah umat Katolik. Sekaligus di tengah Eropa, yang digambarkan maju dan serba rasional, penulis menemukan sisi-sisi mistik yang masih hidup di tengah tradisi.
Musim panas tahun 2014, penulis mendarat di bandara Vienna setelah menempuh penerbangan dari Jakarta. Penulis berkesempatan mengikuti program summer school di Universitas Wina, Austria. Saat itu adalah pengalaman pertama penulis menginjakkan kaki di tanah Eropa. Tapi sial. Koper bagasi berisi pakaian dan barang penting lainnya tak kunjung muncul di bandara, dan setelah menghubungi pihak bandara, koper penulis dinyatakan hilang.
Selama program itu penulis tinggal di Altenburg, sebuah biara di pinggiran kota Wina. Sesampainya di asrama, penulis disambut oleh Katharina, salah satu panitia program. Dia menghibur penulis dengan menceritakan pengalaman bagaimana dia berurusan dengan barang hilang.
“Saya sarankan kamu berdoa kepada Santo Antonio Padova. Dia adalah Santo pelindung barang-barang kami yang hilang. Saya kehilangan cincin pernikahan saya sebanyak tiga kali, dan saya selalu berdoa kepada Santo Antonio. Cincin saya selalu kembali lewat cara yang tak terduga!” Ucapnya meyakinkan saya.
Saya tersenyum, memahami caranya menghibur saya. Dia hanya ingin memastikan bahwa semua baik-baik saja. Saya sedikit terkejut, “Wah, ternyata orang Eropa masih percaya barokah seperti itu ya!” Begitu pikir saya, karena bayangan saya orang Eropa punya cara berpikir yang rasional.
“Terimakasih banyak. Maaf, saya Muslim. Saya percaya hal semacam itu, tapi sepertinya mustahil bagi saya berdoa kepada Santo anda.” Jawab saya.
“Baik lah, saya akan berdoa kepada Santo Antonio. Saya yakin koper kamu cepat ketemu.” Katharina begitu yakin.
Benar saja. Beberapa hari setelahnya, pihak airport menginformasikan koper ditemukan dan bersedia mengantarkan koper sampai ke tangan penulis. Ternyata selama beberapa hari koper itu tertinggal di Istanbul. Katharina tertawa “Saya sudah bilang kan, Santo Antonio pasti membantu!”
Dalam sejarahnya, Santo Antonio Padova sendiri adalah Santo patron, penolong bagi mereka yang kehilangan spiritualitas. Namun pada prakteknya, dipercaya sebagai Santo yang bisa melindungi barang yang hilang. Nama Santo Antonio Padova sendiri menjadi nama gereja Katolik di daerah Kotabaru, Yogyakarta.
Pengalaman tadi membuka mata penulis bahwa kepercayaan kepada orang suci tidak terdapat dalam Islam saja. Agama lain juga mempunyai konsep orang suci serupa. Yahudi sebagai agama Abrahamik tertua, mempunyai konsepnya sendiri tentang orang suci yang disebut Tzadik. Dalam Hindu, dikenal sebuah konsep orang suci yang tersemat dalam sebutan Rshi (Resi). Begitu pun Budha, yang mempunyai konsep manusia paripurna dalam diri boddhisatva. Tradisi Katolik, sesuai cerita tadi, mempercayai konsep Santo yang juga digunakan sebagai wasilah untuk hajat tertentu.
Mengapa perlu berwasilah? Jawabannya ada pada akselerasi supaya doa kita sampai. Dalam tasawuf (mistisisme Islam), Manusia dipercaya mempunyai maqam (derajat)nya masing-masing. Manusia awam masih terhijab oleh dosa, nafsu dan keinginan duniawi. Yang menyebabkan manusia terhalang untuk sampai (wushul) kepada Allah. Dalam berdoa, belum tentu kita mampu berpikir jernih dan mampu membedakan mana yang benar menjadi kebutuhan atau keinginan semata dalam meminta sesuatu. Karenanya kita memerlukan maqam orang suci ini sebagai lompatan tercapainya hajat kita kepada Tuhan.
Berwasilah kepada orang suci merupakan tradisi yang masih hidup di tengah masyarakat agama apapun. Kekuatan dan tantangan tradisi ada pada daya tahan. Sampai kapan tradisi akan lestari atau ditinggalkan. Dalam situasi terkini, berwasilah bisa dikontekskan dengan cara melestarikan warisan lelakon dan teladan yang dibawa oleh para orang suci. Agama apapun pada dasarnya adalah inspirasi dan kekuatan moral sehingga layak untuk diambil nilai universalnya yang sesuai untuk kebaikan umat manusia.
—
Masih dari perjalanan penulis di Austria, kisah Santo Coloman menjadi contoh bagaimana kisah teladan seorang Santo bisa menjadi energi untuk mengkampanyekan nilai kemanusiaan. Stift Melk adalah salah satu biara Katolik terbesar di Austria. Santo Coloman sendiri adalah seorang Irlandia. Dia menempuh perjalanan dari Dublin, dengan niat berziarah menuju Jerusalem. Singkat cerita sampailah Santo Coloman di Austria, dengan bekal yang kian menipis. Menderita lapar yang luar biasa, Coloman menemukan kebun apel. Dia mengais-ngais tanah, barangkali ada apel yang terjatuh yang bisa ia pungut untuk makan.
Malang sekali, Coloman dituduh sebagai pencuri dan kemudian diinterogasi. Sementara ia tidak bisa bicara berbahasa setempat, sehingga dituduh sebagai mata-mata musuh kerajaan. Jadi lah musafir peziarah ini dihakimi massa dan digantung di pohon apel dengan kondisi kelaparan. Mayatnya dibiarkan tergantung di tempat selama berhari-hari.
Namun keajaiban terjadi. Bukannya membusuk, mayatnya masih utuh dan mengeluarkan aroma wangi semerbak. Melihat keramat demikian, salah satu pastor menyadari bahwa dia bukan orang sembarangan, sehingga mayatnya diabadikan di dalam biara Melk. Konon mayatnya masih utuh dalam sarkofagus sampai hari ini.
Saat penulis berkunjung, biara Melk sedang merayakan 1000 tahun Santo Coloman. Oleh pihak gereja, kisah keramat ini dijadikan kampanye untuk memerangi xenophobia, atau kecurigaan berlebih terhadap orang asing. Supaya tidak terjadi lagi manusia yang meregang nyawa hanya karena menjadi korban kecurigaan.
Sementara itu di Bekasi, Muhammad al-Zahra, seorang Muslim, dibakar hidup-hidup oleh sesama Muslim yang terbakar amarah, Sama seperti Santo Coloman, ia meregang nyawa hanya karena dituduh mencuri. Nyawa manusia sekali lagi menjadi harga yang dibayar akibat sikap curiga. Lantas dari sini kita perlu bertanya kembali, sebagai seorang yang mengaku beragama, di mana letak kemanusiaan kita?